Mohon tunggu...
yunidaalindita w
yunidaalindita w Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Uin raden mas said surakarta

menyukai olahraga, menulis, menggambar, membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Max Weber dan Hla Hart

5 November 2024   07:08 Diperbarui: 5 November 2024   07:08 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama :  Yunida Alindita Wulandari

Nim : 222111006

Kelas : HES 5A

Mata Kuliah : Sosiologi Hukum

Pemikiran Max Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA HARTT)

 

Pokok-Pokok Pemikiran Max Weber

Max Weber, seorang sosiolog dan filsuf Jerman, dikenal atas teorinya tentang birokrasi, legitimasi kekuasaan, dan hubungan antara hukum serta masyarakat. Beberapa pokok utama pemikirannya terkait hukum adalah:

1. Tipologi Kekuasaan: Weber membedakan tiga jenis legitimasi kekuasaan: tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Kekuasaan rasional-legal menjadi landasan bagi sistem hukum modern yang bersifat impersonal dan didasarkan pada aturan tertulis.

2. Hukum dan Birokrasi: Weber menyatakan bahwa hukum modern beroperasi melalui sistem birokrasi yang efisien dan terorganisir dengan baik, di mana hukum diterapkan secara obyektif tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.

3. Hukum Formal dan Substantif: Menurut Weber, hukum dapat dilihat sebagai formal (berdasarkan aturan-aturan formal) atau substantif (berdasarkan nilai-nilai keadilan atau moralitas). Hukum formal seringkali lebih diutamakan dalam sistem modern, meskipun Weber juga melihat keterbatasan dalam pendekatan yang terlalu kaku.

4. Rasionalisasi Hukum: Weber berpendapat bahwa hukum di dunia modern semakin rasional, di mana keputusan-keputusan didasarkan pada aturan-aturan yang jelas dan konsisten, bukan pada pemikiran irasional atau personal.

Pokok-Pokok Pemikiran H.L.A. Hart

H.L.A. Hart adalah seorang filsuf hukum asal Inggris yang dikenal sebagai pelopor aliran positivisme hukum. Beberapa pokok pemikiran utama Hart meliputi:

1. Primary dan Secondary Rules: Hart membedakan antara aturan primer (aturan yang mengatur perilaku) dan aturan sekunder (aturan yang mengatur bagaimana aturan primer dibuat, diubah, atau dihapus). Ini memperlihatkan sistem hukum sebagai sesuatu yang kompleks dan terstruktur.

2. Rule of Recognition: Hart memperkenalkan konsep "rule of recognition", yaitu aturan yang diakui sebagai sumber utama legitimasi hukum dalam suatu sistem hukum. Ini menjadi landasan bagi legalitas aturan dalam sistem hukum suatu negara.

3. Legal Positivism: Sebagai seorang positivis hukum, Hart meyakini bahwa hukum adalah sistem aturan yang terpisah dari moralitas. Hukum tidak harus selalu mencerminkan nilai-nilai moral, tetapi lebih merupakan produk kesepakatan sosial yang diakui dalam suatu masyarakat.

4. Penekanan pada Prosedur dan Kewenangan: Hart menekankan pentingnya prosedur yang benar dalam sistem hukum, di mana aturan dibuat, diterapkan, dan ditegakkan oleh otoritas yang sah, bukan atas dasar keyakinan pribadi atau moral tertentu.

 Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart dalam Konteks Indonesia

Pada masa kini, pemikiran Weber dan Hart dalam melihat perkembangan hukum di Indonesia. Berikut analisisnya:

1. Birokrasi dan Rasionalisasi Hukum (Weber): Sistem hukum di Indonesia berusaha untuk bersifat birokratis dan formal. Namun, dalam praktiknya, banyak kritik terhadap birokrasi hukum Indonesia yang dianggap lambat dan kurang efisien, sehingga pemikiran Weber tentang kebutuhan akan birokrasi yang rasional dan efisien menjadi relevan sebagai acuan reformasi birokrasi di lembaga hukum.

2. Kekuasaan Rasional-Legal (Weber): Sistem hukum Indonesia secara formal bersandar pada kekuasaan yang bersifat rasional-legal, tetapi dalam praktiknya masih ada ketergantungan pada figur pemimpin yang memiliki kekuatan kharismatik. Ini menunjukkan bahwa pendekatan Weber tentang pentingnya rasionalitas hukum masih perlu ditingkatkan agar hukum benar-benar independen dan objektif.

3. Rule of Recognition dan Legal Positivism (Hart): Pemikiran Hart tentang rule of recognition menjadi penting dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia, di mana ada hukum adat, hukum Islam, dan hukum nasional. Hart menawarkan kerangka yang dapat membantu menavigasi pengakuan aturan-aturan hukum dalam masyarakat yang majemuk, khususnya untuk mengakomodasi perbedaan budaya dan nilai.

4. Aturan Primer dan Sekunder (Hart): Indonesia memiliki berbagai peraturan yang mendasari sistem hukum nasional, termasuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Menggunakan konsep aturan primer dan sekunder Hart, kita dapat menganalisis bagaimana peraturan-peraturan ini saling berinteraksi dan menilai apakah aturan sekunder sudah mampu mendukung pengembangan hukum yang responsif dan akuntabel.

Analisis Pemikiran Weber dan Hart terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia

Pemikiran Weber dan Hart dapat menjadi panduan dalam memperkuat reformasi hukum di Indonesia. Dengan merujuk pada Weber, Indonesia perlu terus mendorong rasionalisasi dan efisiensi dalam proses penegakan hukum, misalnya dengan digitalisasi sistem peradilan. Selain itu, penggunaan konsep Hart dapat membantu dalam memperkuat otoritas hukum nasional sambil mengakomodasi pluralisme hukum yang ada. Kombinasi pendekatan rasional-legal ala Weber dan aturan-aturan yang tegas dan diakui secara sah ala Hart dapat membantu menciptakan sistem hukum yang lebih adil, responsif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam.

Max Weber dikenal dengan pendekatan sosiologisnya terhadap hukum, terutama dalam konsep rasionalisasi dan tipe otoritas. Weber membedakan tiga jenis otoritas, yaitu otoritas tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Hukum modern menurut Weber bersifat rasional-legal, di mana hukum seharusnya berdiri secara objektif dan tidak tergantung pada individu tertentu.

Di Indonesia, pengaruh pemikiran Weber tampak pada upaya membangun sistem hukum yang modern dan birokratis. Hukum yang diterapkan di Indonesia semakin mengarah pada bentuk hukum tertulis yang objektif dan mengedepankan aturan baku. Namun, masih terdapat tantangan dalam mewujudkan hukum yang benar-benar rasional-legal, karena kuatnya pengaruh budaya lokal, hukum adat, dan praktik informal lainnya yang dapat menciptakan konflik antara hukum negara dengan hukum adat.

Selain itu, rasionalisasi hukum Weber mengarah pada independensi lembaga peradilan dan birokrasi. Di Indonesia, ini terlihat dalam upaya memperkuat independensi lembaga-lembaga hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, praktik nepotisme dan politisasi sering kali mengganggu ideal rasional-legal tersebut.

H.L.A. Hart berfokus pada analisis konsep hukum melalui pendekatan positivisme hukum. Ia membedakan hukum menjadi primary rules (aturan primer) dan secondary rules (aturan sekunder). Aturan primer mengatur tindakan yang diizinkan atau dilarang, sedangkan aturan sekunder mengatur cara menafsirkan, mengubah, dan menerapkan aturan primer. Menurut Hart, sistem hukum yang matang memerlukan kombinasi kedua jenis aturan ini.

Di Indonesia, konsep primary dan secondary rules tampak dalam peraturan yang ada di tingkat undang-undang dasar, undang-undang, hingga peraturan-peraturan teknis. Konstitusi UUD 1945 sebagai aturan tertinggi berfungsi sebagai dasar dari secondary rules yang mengatur pembentukan, perubahan, dan pelaksanaan hukum lainnya. Sementara itu, aturan primer ditemukan dalam undang-undang yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Namun, tantangan yang muncul dalam hukum Indonesia sering kali terletak pada penerapan aturan sekunder yang belum konsisten. Misalnya, dalam perubahan undang-undang yang terlalu sering atau dalam interpretasi hukum yang cenderung tidak konsisten oleh hakim. Selain itu, kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan menunjukkan lemahnya aturan sekunder dalam mengontrol dan memastikan penerapan aturan primer yang efektif.

 

REFERENSI

Ananda Suadamara, "Hukum dan Moralitas", Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 24, No 3, Juli 2006.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun