Tanpa derap. Rajutan masa telah banyak membawakan segala makna, segala rasa, segala bimbang yang menghantui, membayang-bayangi. Masa yang kerap menjumpakan pada mimpi-mimpi malang. Juga kenyataan. Aku ingin bersama keheningan, menjauh dari gemericik minyak kelapa panas dan gesekan sodokan pada dada kwali yang hitam, membuatku berkerut kering kecoklatan. Tapi aku tak mampu pergi, asal bersamamu saja, selayaknya sebuah garis yang tak patut kuputusi.
Aku adalah bawang, begitulah kau menyebutku dengan tawa yang menenangkan hatiku. Katamu aku punya cinta yang berlapis-lapis. Aroma yang kau suka dalam setiap rebusan hangat yang membuatku lusuh meninggalkan keharuman. Tak mengapa, untuk kau nikmati saja. Itu sudah cukup membahagiakanku. Hidup adalah penyerahan dan cinta butuh pengorbanan.
“Aromamu membuatku merindumu,” ujarmu suatu ketika. Ucap yang membuatku terus bertahan dalam harap yang dalam. Meski terhempas kadang. Biarkan saja. Sudah terlalu lama aku teriris dan aku menemukanmu kini, menjadi belahan hatiku di antara lapisan-lapisan menuju inti. Bagaimana aku bisa berkilah dari tetapnya hatiku.
Bagaimana aku menyebutmu? Cabe? Yah! Kau menyebut dirimu sebagai cabe dengan pedas yang menggetarkan. Pedas yang membuat lidah berkeluh. Rasa yang menghangatkan dan memaksa desis dari bibir kemerahan. Kecanduan menjadi lekat dalam aliran nadi. Setelah sendiri dalam sendu yang menyanduiku, kini aku candu pada cintamu. Menjadi darahku. Meski harga cabe sedang menurun, dan imporannya membanjiri negeri, membuat tangis para petani. Aduh, ikut pula bawang busuk diselundupkan dari negeri jiran, mafia beraksi, pedagang kecil memelas rugi, mana pak menteri? Mana? Ah, makin kurasai kau begitu berarti dari segala harga.
“Aku adalah bawang, lapisan-lapisan bergelombang, kasarnya rela dikuliti, membuat keperihan pada bola matamu. Masa yang kurasakan bukan efek bias. Mengalirlah air mata yang sesungguhnya, keperihan hati. Dulu aku mengalaminya begitu lama, berganti-ganti, seperti lapisan-lapisanku kini,” Ujarku di bawah hujaman pisau tajam yang membelahi pelan. Kau menatapku lama. Ada iba terbersit di hatimu. Iba yang tak kuinggini membungkus cintamu. Aku tak mau dikasihani. Aku ingin dicintai dengan ketulusan. Tanpa penghianatan dan sekali lagi, bukan karena iba.
“Aku akan tetap bersamamu, tetap di hatimu,” katamu meyakinkaku ketika tangan kasar itu mempertemukan kita pada sebuah mangkuk kaca bersih dengan tulisan ‘Made in China’, dititik ini nasionalismeku berkobar, entahlah, kita selalu dipertemukan di sebuah mangkuk imporan, meski itu di sebuah kampung terpelosok sekalipun. Atau dihaluskan oleh ‘blender’ buatan Jepang yang membuatku pusing. Entahlah, tanah ini kebanjiran impor saja, suatu saat kita akan berteduh di bawah pohon yang bertuliskan ‘Made In USA’, lucu bukan? Hanya karena bersamamu, aku bisa tersenyum melewatinya.
Aku suka pedas dalam setiap santapan. Membuat butiran peluh di keningku. Ada hampa mengosongi hatiku setiap kali tak melihatmu. Hambar yang semakin membuatku mengerti betapa cintamu berarti. Entah mungkin aku akan di olok-olok oleh garam dapur atau lengkuas layukarena ini, tapi biarkan saja mereka. Aku hanya ingin denganmu saja.
“Mari kita mewarnai dunia dengan rasa. Menghapus hampa yang tiba di setiap kuah asin yang mengernyit.” Kau mengajakku bermimpi. Aku punya mimpi, kau juga begitu. Cita yang berbeda dengan visi yang sama. Menghadirkan rasa.
“Aku takut,” ujarku sendu.
“Takut?”
“Takut kehilanganmu.”