Terdiamlah Indu sejenak, ditepoknyalah kepala kecilnya itu pelan, lalu mengacak-ngacak rambutnya. Galau merasuki hatinya, sudah sore begini ayahnya belum pulang dan sudah seminggu ini bapaknya jadi buah bibir orang. Baginya ayahnya adalah kebanggaan, bertanggung jawab untuk setiap kebutuhannya, bahkan tadi subuh ayahnya bersusah payah menjahiti sepatunya yang sudah mirip mulut buaya supaya layak dipakainya ke sekolah, sepasang sepatu yang didapati ayahnya di sebuah tong sampah bulan lalu sewaktu memulung, menjahitnya pun memakai benang bekas tali ikatan karung beras. Ah, seandainya kartu sakti yang di ceritakan guru-gurunya itu bisa di dapat bapaknya, tambah saktilah sedikit keadaanya.
“Bagaimana ini sekarang, ibu jadi sedih, Ndu?”
“Ibu jangan besedih,”
“Lalu?”
“Kita tunggu saja ayah pulang.”
***
Di tempat lain, di sebuah gang yang mengantarai dua gedung tinggi, duduklah seorang bapak paruh baya, berambut agak gondrong tak terawat, berpakaian lusuh dengan celana pendek penuh tambalan dan sepatu kain yang juga penuh tambal. Terduduk bersandar pada dinding gedung di samping gerobaknya yang berisi barang bekas hasil pulungan, tampak lelah di wajahnya yang kurus, sesekali dia menyeka keringat di dahinya, tatapanya memandang kosong dinding gedung lain di depannya.
“Belum cukupkah kerasnya hidupku ini, ya Allah. Kenapa aku harus menanggung semua cobaan ini? Aku bukan koruptor, bukan mafia, bukan pengamat bayaran, juga bukan politikus yang biasa aku baca di koran-koran bekas yang kudapat. Tetapi kenapa semua ini harus terjadi padaku, ya Allah,” ujarnya dalam hati, lalu menjambak rambutnya pelan dan menangis sesengukan.
Terbayang olehnya beberapa hari yang lalu, ketika seorang staf kantoran menanyakan identitasnya, sewaktu mengurus surat keterangan keluarga miskin di kantor kelurahan, tersenyum sinis memandanginya ketika dia menyebutkan namanya. Lalu tetangga-tetangganya yang mendadak tampak menertawainya setiap kali melewati mereka, menyebut-nyebut KPK dan Polisi, tak seperti biasanya. Belum lagi pemberitaan di televisi yang terus membicarakannya, dan koran-koran bekas yang dikumpulinya, dibacanya dengan mengejanya pelan-pelan, maklum cuma lulus SD di kampung halamannya dulu, satu-satunya sekolah yang hanya memiliki dua orang guru tua pikun yang masih bertahan mengajar, di koran-koran itu juga menuliskan namanya. Dan anak-anak dekat rumahnya selalu meneriakinya setiap kali melewati rumahnya.
Di tengah penatnya itu, tergianglah wajah isterinya, perempuan yang sangat dicintainya, putri bungsu penghulu kampung yang dibawanya kawin lari, karena mendadak hendak dijodohkan dengan seorang haji kaya yang sudah beristri tiga.
Ah, terlalu lama kekasih hatinya itu berhidup susah denganya, tak mampu dia membahagiakannya, malahan bulan lalu dirinya sempat terpikat mata dengan Ati, janda kembang yang sudah setahun ditinggal mati suaminya, tapi itupun tak jadi, keburu ketahuan, dan kini dirinya memperhadapkan keluarganya lagi pada kasus besar yang tak diinginkannya. Tak terbayang betapa terluka hati isterinya itu menanggung ini semua. Betapa hinanya dia sebagai lelaki. Lalu teringatnya pula pada Indu, anak lelakinya yang bercita-cita ingin menjadi anggota DPR, bagaimana itu bisa berlaku, tak punya harta mereka untuk membagi-bagi sembako dan amplop serta kartu nama bertempel foto yang menghampiri rumahnya setiap Pemilu. Terasa berat di hatinya membayangkan keluarganya menanggung ini semua.