SARAN BERIKUTNYA
Dulu era orde baru kita kenal istilah pemassalan atau membuat massal sebuah olahraga. Salah satu slogan yang terkenal adalah "mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga". Di mata beberapa pelawak istilah tersebut tergolong unik, sehingga diplesetkan untuk jangan hanya umum olahraga tetapi spesifik, misalnya tinju. Jadinya: Mari memasyarakatkan tinju dan meninjukan masyarakat.
Kembali ke istilah pemassalan. Mungkin kita perlu langkah yang revolusioner. Untuk anak-anak dan/ atau remaja, wajibkan saja misalnya "one student two sports" yang berarti anak-anak musti menekuni setidaknya 2 (dua) cabor. Atau mungkin bukan "menekuni" tapi memilih. Satu anak, dua cabor.
Jangan terspesialisasi dulu. Menurut David Epstein dalam bukunya "Range: Why Generalist Triumph in a Specialized World" (dan juga buku laris: The Sports Gene) para atlet yang menunda spesialisasi seringkali lebih baik daripada rekan-rekan mereka yang berspesialisasi, yang mencapai level yang lebih rendah. Ini berbeda dengan pandangan atau pemikiran Malcolm Gladwell tentang "10.000 hours rule", yang intinya adalah sangat amat spesialis banget.
David Epstein mengedepankan late specialization -dikatakannya bahwa melakukan spesialisasi di akhir atau di ujung itu justru lebih bagus. Selama si calon spesialis tersebut sudah berkecimpung dengan pekerjaan atau sudah terekspos dengan lebih banyak dimensi.
Atau mungkin atletik yang tergolong ilmu dasar karena masih umum ini (lari lempar dan lompat)
Sekali lagi jangan ke sepakbola saja. Juga jangan hanya ke pulau Jawa. Adanya peringatan Haornas 2002 kemarin mestinya mengembalikan marwah sports kita ke dasar olahraga, ke induknya olahraga, yaitu cabang olahraga atletik. Dan ke kawasan timur Indonesia tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H