olahraga nasional atau Haornas. Maaf kalau late post ini atikel. Tapi ada satu yang terngiang di mata/ telinga saya. Yaitu terkait pernyataan Menteri Olahraga.
Seminggu yang lalu -tepatnya hari Jumat Pon 12 Syafar 1444- adalah hariDari beberapa bacaan online yang saya simak. pada peringatan Haornas tersebut, Menpora Zainudin Amali dalam sambutannya di menggarisbawahi perihal yang pernah disampaikan Presiden Jokowi pada tahun 2020. Bahahwa Presiden telah memerintahkan kepadanya dan seluruh stakeholder olahraga nasional untuk melakukan review total terhadap ekosistem pembinaan prestasi olahraga nasional.
Dari pernyataan Menpora tersebut, artinya dibuka lebar pintu untuk perbaikan pembinaan olahraga di republik ini. Mungkin sudah banyak saran perbaikan dilontarkan oleh insan olahraga tanah air. Biasanya menyangkut penciptaan kompetisi, pembibitan atlet muda, dan keberlangsungan pasca atlet.
Saya memiliki beberapa saran untuk pembinaan olahraga Indonesia ke depan.
Sedangkan Wapres pada acara Haornas kemarin menyatakan bahwa olahraga adalah hal penting dalam pembangunan Sumber Daya Manusia. Saya sering mendengar analogi ini. Bahwasanya hanya ada 2 (dua) momentum ketika lagu kebangsaan sebuah negara dikumandangkan di luar negeri. Pertama saat Presiden melakukan kunjungan kenegaraan, lalu kedua kala seorang atlet mendapatkan emas sebuah ajang OR lintas cabang (multi event).
Pada sisi individu, olahraga juga bisa menjadi salahsatu kanal penanggulangan kemiskinan. Kita sering mendengar cerita tentang atlet kaya raya yang masa kecilnya menderita dalam kemiskinan. Maka di wilayah timur, sektor olahraga ini juga bisa menjadi tools untuk mengurangi kemiskinan kronis.
Contoh yang terkini misalnya Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, keduanya peraih emas bulutangkis Olimpiade Tokyo 2020. Apriyani masa kecilnya sering membantu orang tuanya jualan sayur di Konawe, Sulawesi Tenggara. Kalau Greysia pernah pindah ke Manado karena ibunya yang single mom (ayah meninggal saat Grey usia dua tahun) tidak kuat hidup di Jakarta.
Banyak contoh untuk perlu disebut, misal kita dulu pernah mendengar kesuksesan sprinter kita era 80-an Purnomo Muhammad Yudhi (almarhum). Purnomo saat SMP harus menitipkan sepatu ke temannya di Ajibarang, Banyumas. Karena rumah jauh dari sekolah dan hanya memiliki 1 (satu) buah sepatu.
Berlari tiap hari dari rumah ke sekolah membuat Purnomo menjadi sprinter yang sukses menembus semifinal Olimpiade Los Angeles 1984 dan beberapa emas SG sesudah itu. Kesuksesan Purnomo berlanjut di dunia kerja sampai menduduki level direktur di sebuah perusahaan bisnis olahraga.
Sedangkan dari dunia internasional, mungkin sejarah petinju Mike Tyson dari kawasan kumuh Brooklyn, USA, yang membawanya menjadi juara dunia dan kaya raya sekarang. Demikian pula dengan petenis yang baru saja pensiun, Serena Williams.
BEBERAPA SARAN
Saran saya: Kita perlu konsen ke cabor (cabang olahraga) atletik. Juga ke bagian Timur Indonesia. Dua minggu sebelum Haornas ini Presiden kita meresmikan sekolah sepakbola bernama Papua Football Academy (PFA). PFA berlokasi di Kota Timika, Papua, merupakan sekolah formal dan pelatihan sepak bola bagi putra Papua yang ingin mengembangkan ilmu sepak bola guna melahirkan siswa-siswa yang kompetitif, kreatif, serta berdaya saing.
PFA diikuti oleh 30 putra Papua setelah melalui proses seleksi pencarian bakat yang kompetitif dan transparan. Adapun siswa yang terpilih akan memperoleh beasiswa penuh selama 2 tahun untuk belajar sepakbola.
Memang tidak salah langkah Presiden meresmikan sekolah sepakbola di Jayapura. Dan tentunya perlu apresiasi tersendiri dalam pemilihan Papua menjadi tuan rumah PON tahun lalu (semestinya tahun 2020 namun karena wabah pandemi baru terselenggara tahun 2021). Tetapi ada perihal yang dilupakan bahwa semestinya bukan sepakbola.
Di era lampau, Papua merupakan lumbung salah satu cabang olahraga yang saat ini dilupakan. Yaitu atletik. Wilayah Papua -bersama dengan daerah timur lainnya yaitu Maluku dan NTT- pernah menyumbang pelari yang preatasinya sampai ke level Asia.
Kita dulu mengenal para atlet cabor atletik dari bumi Papua. Ada Geraldus Maeno Balagaize, Timothius Sokai Ndiken, lalu "manusia terkuat Asia Tenggara" Frans Mahuse karena juara dasalomba, then Osianus Kahol, dan Vincent Gebze dan Ponsianus Kahol.
Sedangkan barisan mantan atlet dari Indonesia Timur lainnya misalnya dari Maluku yaitu Emma Tahapary (sempat menjadi anggota tim Asia di kejuaraan dunia atletik nomor estafet, era 80-an), Henny Maspaitella, Martha Lekransy, Irene Joseph, dan Viera Hetharie.Â
Demikian juga Alex Resmol, Julius Leuwol, dan Novi Persulessy. Mereka ini ratu dan raja lintasan pada masa lalu. Kini posisi mereka digantikan pelari lebih muda seangkatan Alvina Tehupeiory. Dari NTT yang lejen adalah atlet marathon Eduardus Nabunome (almarhum tahun 2020).
Prioritas ke bagian Timur harus dipertahankan. Namun sasaran jenis olahraganya harus lebih tepat. Sepakbola memang menjadi olahraga nomor satu di Indonesia (bahkan di dunia kalau dilihat dari jumlah fansnya). Namun apabila dilihat dari sumbangannya kepada medali di ajang multi event, maka atletik jauh lebih banyak.Â
Seperti di Sea Games/ Asian Games/ Olimpiade, atletik memberi porsi medali sampai hampir 50 buah. Seperti SG di Hanoi beberapa bulan lalu, dari 47 medali emas atletik, Indonesia hanya mendapat 3 (tiga) buah. Bandingkan dengan tuan rumah Vietnam yang mampu meraih 22 emas, kemudian Thailand 12 keping emas. Atau malah dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing mendapatkan 5 (lima) emas.
Dulu kita memiliki Bob Hasan (almarhum) sebagai ketua umum PASI. Banyak sumber menyebutkan bahwa Bob Hasan mengeluarkan kocek dari kantung sendiri untuk membiayai perlombaan atletik di Nusantara ini.Â
Memang berbeda dengan 3 (tiga) olahraga games yang sangat populer di Indonesia -yaitu sepakbola, bulutangkis, dan bola voli- yang ibarat kata dilempar ke pasar pun sudah ada supply-demand yang pihak swastapun mau berebutan mendanai, Namun untuk atletik, sepertinya keterlibatan negara harus lebih besar.
SARAN BERIKUTNYA
Dulu era orde baru kita kenal istilah pemassalan atau membuat massal sebuah olahraga. Salah satu slogan yang terkenal adalah "mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga". Di mata beberapa pelawak istilah tersebut tergolong unik, sehingga diplesetkan untuk jangan hanya umum olahraga tetapi spesifik, misalnya tinju. Jadinya: Mari memasyarakatkan tinju dan meninjukan masyarakat.
Kembali ke istilah pemassalan. Mungkin kita perlu langkah yang revolusioner. Untuk anak-anak dan/ atau remaja, wajibkan saja misalnya "one student two sports" yang berarti anak-anak musti menekuni setidaknya 2 (dua) cabor. Atau mungkin bukan "menekuni" tapi memilih. Satu anak, dua cabor.
Jangan terspesialisasi dulu. Menurut David Epstein dalam bukunya "Range: Why Generalist Triumph in a Specialized World" (dan juga buku laris: The Sports Gene) para atlet yang menunda spesialisasi seringkali lebih baik daripada rekan-rekan mereka yang berspesialisasi, yang mencapai level yang lebih rendah. Ini berbeda dengan pandangan atau pemikiran Malcolm Gladwell tentang "10.000 hours rule", yang intinya adalah sangat amat spesialis banget.
David Epstein mengedepankan late specialization -dikatakannya bahwa melakukan spesialisasi di akhir atau di ujung itu justru lebih bagus. Selama si calon spesialis tersebut sudah berkecimpung dengan pekerjaan atau sudah terekspos dengan lebih banyak dimensi.
Atau mungkin atletik yang tergolong ilmu dasar karena masih umum ini (lari lempar dan lompat)
Sekali lagi jangan ke sepakbola saja. Juga jangan hanya ke pulau Jawa. Adanya peringatan Haornas 2002 kemarin mestinya mengembalikan marwah sports kita ke dasar olahraga, ke induknya olahraga, yaitu cabang olahraga atletik. Dan ke kawasan timur Indonesia tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H