Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hebohnya Surau Kami

25 Desember 2019   14:13 Diperbarui: 26 Desember 2019   10:07 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Saya kadang menyimpulkan sendiri, beragama itu memang ada levelling-nya. Ada orang tua namun masih seperti anak SMP dalam memahami agama. Pernah aku ngurusi ikatan remasa masjid (2013-2014) di RW 12, desa Waringin Jaya, kecamatan Bojonggede, kadang anakanak SMP itu nanya hal aneh seperti sajadah di masjid. Katanya sajadah itu ada yang haram karena kalau dilihat seperti gambar monyet. Sehingga saya berpikir, makanya di Quran ada perintah untuk berpikir--pun dalam soal agama.

Peristiwa heboh yang terjadi di MASK meninggalkan banyak kesan di benak setiap orang. Bapak jamaah itu sampai sampai memberikan klarifikasi saat bakda asar, akan peristiwa yang terjadi pada pengajian bakda zuhurnya. Sekali lagi saya berusaha di tengah tengah. 

Kalau saya menghubungkan kesan kedua orang tersebut dengan gaya berpikirnya, maka mereka berada pada perspektif yang berbeda. Kalau mengambil analogi Karl Popper mengenai styles of thinking, maka akan terbagi menjadi 4 (empat) tipikal manusia. Keempatnya adalah (i) Idealis, (ii) Empirisis, (iii) Eksistensialis, dan (iv) Rasional. Dari keempatnya dapat dibuat matriks dengan keterbalikan pada "Rasional vs Eksistensialis", dan satunya "Idealis vs Empirisis".

Orang "idealis" memandang bahwa dunia ini musti berjalan dengan sangat baik, amat ideal, ibaratnya damai tanpa aral melintang.

Sementara manusia "eksistensialis" akan melihat fenomena ini secara sangkan paran, atau wahyu. Kemungkinan bahwa ada unsur takdir dan sedikit keberuntungan.

Berikutnya wong Rasional, yang mengutamakan logika, menolak keberuntungan.

Sedangkan orang empirisis (karena terjemahan dari empiricism, maka penulisan bahasa Indonesianya adalah "empirisis" --bukan empiris. Orang empirisis melihat hal ini dengan mengkaitkannya sama masa lalu, adakah yuris prudensinya, lalu mengambilnya sebagai pelajaran. Untuk dicatat sebagai sejarah, dan melihat masa lalu sebagai kajian sebagai perbaikan di masa depan.

Tentunya masih banyak varian dari masing-masing gaya (styles) itu. Dan yang terjadi orang sering tidak mutlak pada keempat gaya berpikir, namun berada di persimpangan (pertautan) antara masing-masing gaya.

Bapak FM berada di kuadran rasional. Sedangkan habib GA di persimpangan antara eksistensialis dan empirisis. Tidak ketemu. Memang ada yang pantas disesalkan. Emosional si bapak jamaah. Sama lebay-nya si khotib.

Walaupun hal itu semua--bisa jadi--relatif belaka. Bapak itu bisa saja tidak merasa emosi, mungkin merasa biasa saja. Kemudian beliau katakanlah dalam memperjuangkan kebenaran. Ya, kebenaran yang diyakininya. Titik lemahnya adalah di caranya. 

Sang ustadz atau si pengkhotbah (pengisi pengajian) bisa jadi tidak merasa lebay. Karena beliau membaca riwayat dari sebuah kitab. Dan memaparkan apa adanya. Titik lemahnya, beliau kurang mengetahui kondisi kebatinan jamaah sekalian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun