Saya kemukakan di mading fakultas, dua puluh tahun yang lalu, bahwa dalam menggalang kebersamaan sering para Kepala Negara RI memakai terminologi "common enemy" atau musuh bersama untuk mempersatukan rakyatnya. Presiden pertama, Ir Sukarno, cenderung memakai pihak luar negeri sebagai musuh bersama. Beliau memakai istilah "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika, Jepang kita tepang". Kemudian kata-kata beliau dengan "Go to hell with your aids" yang menolak bantuan hutang luar negeri, dengan alasan kemandirian.
Selain itu Bung Karno juga menyuarakan Ganyang Malaysia karena dianggap Malay antek kolonialisme. Itu semua menyiratkan bahwa Presiden Sukarno memakai pihak luar negeri sebagai musuh bangsa.
Presiden kedua, Haji Muhammad Soeharto, berkebalikan 180 derajat dengan pendahulunya. Beliau cenderung memakai pihak dalam negeri sebagai musuh. Cap komunis dan pki sering ditempelkan bagi mereka yang berseberangan dengannya. Lawan-lawan politik, bahkan dulunya teman, disingkirkan dengan isu "golongan kiri". Sampai muncul Petisi 50 sebagai kumpulan orang-orang yang berbeda politik, yang kemudian dicekal (cegah tangkal) dengan asumsi akan menjelek-jelekkan RI di luar negeri --yang membahayakan iklim investasi di republik ini. pak Harto memakai dalam negeri sebagai musuh.
Presiden ketiga, Prof. BJ Habibie, mungkin masih terlalu singkat untuk dirumuskan perspektifnya. Tetapi beliau pernah menggunakan cap "OTB" atau organisasi tanpa bentuk bagi mereka --terutama mahasiswa- yang berusaha demo dan mengkritik kebijakannya. Habibie sama dengan presiden pendahulunya, memakai pihak dalam negeri sebagai musuh. Menurut tabloid Detik waktu itu, Habibie memang sangat mengidolakan pak Harto dengan menyebut, "Dalam bidang politik, guru saya adalah 'profesor' Soeharto".
Presiden keempat, Gus Dur, menjadi pertanyaan: kira-kira musuh macam mana yang dipilihnya. Ketika berhadapan dengan anggota legislatif menganalogikan " DPR seperti taman kanak-kanak". Kemudian memecat para anggota kabinet yang dianggap berseberangan, dan dapat diibaratkan mengacak-acak militer. Perilaku Gus "presiden" Dur --panggilan versi pak Kiki a.k.a Dr Hermawan Sulistyo dari LIPI- bisa dianggap bahwa ...beliau memakai dirinya sendiri sebagai musuh. Seorang demokrat sejati, merelakan pribadinya untuk menjadi musuh bersama, demi persatuan bangsa. So presiden pertama memakai luar negeri sebagai musuh bangsa, presiden kedua memakai dalam negeri sebagai common enemy, demikian pula presiden ketiga. Sedang presiden keempat memakai dirinya sendiri sebagai musuh bersama.
Kalau mau lanjut ya, di luar konteks tulisan mading tersebut, barangkali Presiden kelima, ibu Megawati Soekarno Putri, menjadikan suaminya sebagai musuh. Presiden keenam, bapak SBY, menjadikan pengurus partainya sebagai musuh --sehingga muncul peristiwa Hambalang. Kalau presiden ketujuh? Menjadikan khilafah sebagai musuh hehehe.
Masih tentang singkatan "Notonagoro". Sesudah Suharto semestinya adalah orang yang namanya berakhiran "Na". Tetapi yang terjadi sehabis Suharto ternyata Habibie, bagaimana penjelasannya? Pak Damarjati Supadjar, almarhum adalah gurbes Filsafat UGM, dalam hal ini menjawab sebagai berikut. Habibie itu nama lengkapnya adalah Baharudin Jusuf Habibie. Kalau menulis huruf "baharudin" dalam aksara jawa adalah "Baharudina" dengan Na yang dipangku. Tetap cocok dengan "Na".
Kemudian mengapa pesawat CN 235 tidak begitu laku, dan bahkan ditukar dengan beras ketan Thailand? Karena namanya Tetuko, alias "sing TEka ora tuku tuku, sing TUku ora teko teKO". Hla kalau N250 alias Gatotkaca? Karena ada IMF maka namanya menjadi GAgal TOTal KACAu balau. Â
Penutup
Walau bagaimanapun, pengaruh orde baru atau Orba memang sangat kental dalam diri Habibie. Namun dia memang the last man standing, ia berupaya untuk mengikisnya. Salah satunya dengan cara: mengikis kejaiman (jaim: Jaga Image). Jadi beliau orang terakhir (last man) yang menjaga ke-jaim-an menteri era Orba, kemudian merubahnya sama sekali. Beliau seorang menteri namun tidak sungkan untuk membawa kamera sendiri dan memfoto suatu acara kenegaraan dengan berjumpalitan, tidak mengenal malu. Atau ketawa ngakak karena kesalahan yang dibuat diri sendiri. Beliau berupaya mempelopori "blusukan" dengan cara, naik kereta dari Bandung ke Jakarta, lalu menyapa para penumpangnya. Beliau tetap manusia yang berupaya membalas budi ke orang yang pernah berjasa dalam kehidupannya. Selamat jalan pak BJH
Foto di bawah ini adalah suasana menjelang sholat ghaib di masjid agung Sunda Kelapa, Menteng Jakarta, hari Jumat Legi 13 September 2019 (13 Muharram 1441 H). Doa dari para jamaah pasca jumatan, ditujukan ke almarhum Prof Dr Ing BJ Habibie, insyaallah husnul khatimah Â