Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Kunci Kemenangan JPN dan CHN (Uber/ Thomas Cup 2018)

5 Juni 2018   01:57 Diperbarui: 5 Juni 2018   02:03 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: xinhuanet.com

Sudah 10 hari sejak kemenangan tim uber Jepang dan tim thomas Tiongkok (sekarang Selasa Legi 05 Juni 2018/ 19 Ramadhan 1439 H) yang bertempat di Bangkok Thailand. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kemenangan mereka? Apa yang membedakan dari ajang Thomas Uber sebelumnya. Tulisan singkat ini berusaha membahas hal tersebut.

Mengutip berita yang disebut dalam bangkokpost.com  -dengan judul Japan defeats Thailand in Uber Cup final- bahwasanya 

"Thailand's fairytale run at the Uber Cup ended on Saturday when the women's badminton team lost the tournament final 3-0 to top-seeded Japan. The victory in the best-of-five contest was the first in the biennial tournament by Japan in 37 years. Thailand had gone into the final on a high after defeating defending champions China 3-2 on Friday evening, with Busanan Ongbamrungphan winning the deciding singles match for a second consecutive day. The final was Thailand's first in five appearences in the Uber Cup tournament."

Kemudian di macaudailytimes.com dalam judul CHINA WINS ITS 10TH THOMAS CUP TITLE AFTER JAPAN SCARE disebutkan 

"China last won the tournament in 2012. Japan started in style when Kento Momota stamped his authority over Rio Olympic gold medalist Chen Long 21-9, 21-18, his second win over the fourth-ranked player after the Asian Championships final last month in Wuhan. Liu Cheng and Zhang Nan put China back on track with a 21-10, 21-18 win over Takuto Inoue and Yuki Kaneko. Third-ranked Shi Yuqi beat No. 14 Kenta Nishimoto 21-12, 21-17 as China took the lead before Li and Liu sealed victory. Japan reached both the Thomas and Uber Cups finals. Its women's team beat Thailand 3-0 for their sixth Uber Cup win on Saturday." 

Artinya Jepang musti menunggu 37 tahun dan Tiongkok cukup 6 tahun.

Kemerataan dalam ranking top dunia, itulah kunci kemenangan JPN dan CHN. Keempat pemain tunggal Uber masuk deretan 15 dunia, dan ketiga pasanganya masuk 10 besar bahkan. Demikian pula Tiongkok, ketiga pemain tunggalnya masuk 10 besar dunia, dan kedua pasang gandanya masuk 5 besar dunia. Berbeda dengan Indonesia yang tidak ada pemain tunggalnya masuk jajaran 10 besar dunia, dan hanya ganda Kevin/ Marcus yang menempati peringkat sepuluh besar (atau malahan nomor satu dunia).

Demikian pula dengan negara semifinalis lainnya, tim Thomas Jepang hanya memiliki Kento Momota (peringkat 12), tim Thomas Denmark hanya Victor Axelsen (nomor satu) dan sebenarnya Boe/ Morgensten -tapi salah satu pemain diantaranya absen ke Bangkok. Sedangkan tim uber Thailand hanya Ratchanok Inthanon dan ganda putrinya (yang malah dichange pasangannya). 

Sebenarnya tim uber Tiongkok yang sedikit di bawah Jepang, karena CHN punya Yu Fei dan He Bingjiao di sepuluh besar serta ganda Qichen/ Yifan pasangan nomor wahid putri dunia. 

Sayangnya Bingjiao jarang diturunkan, dan mungkin karena gap yang terlalu tinggi maka pemain veteran Liu Xuerue dipasang kembali sebagai pemain ke tiga. Hasilnya? Xuerue sering kalah, termasuk kekalahan dengan yunior kita Ruselli Hartawan. Sejarah baru yang buruk bagi Uber Tiongkok, pertama kali sejak tahun 1984 gagal ke final (bayangkan selama 34 tahun ke final mulu').

Kemerataan tim Thomas  China ini sangat berbeda dengan fenomena Jepang saat juara thomas 2014 dan Denmark saat juara 2016. Jepang tahun 2014 termasuk beruntung memiliki Kenichi Tago yang mengalahkan Chen Long, kemudian gandanya juga menang, dan ditutup Momota yang mengalahkan Du Pengyu. Di semifinal saat itu JPN mengalahkan Tiongkok dengan 3-0. 

Saat final, Jepang menundukkan Malaysia dengan sangat tipis 3-2, padahal Jepang pemainnya istilah kata belum matang saat itu. Di final Tago kalah sama LCW, untung ada juara dunia yunior JPN yaitu Kento Momota yang mengalahkan chong wei "yang lain" yaitu Chong Wei Feng, dan tanpa diduga Takomi Ueda yang mengalahkan Daren Liew (juara France Open) di partai kelima. Artinya apa? Jepang saat juara tahun 2014 sebenarnya pemainnya tidak berperingkat tinggi. Bisa jadi merata namun tidak top position rangkingnya.

Tahun 2016 ketika Denmark juara juga kondisinya tidak terlalu bagus peringkat pemainnya, alias rangking tidak begitu tinggi. Hanya Axelsen dan Jan O Jorgensen serta "veteran" Boe/ Mogenrsen yang istilahnya bagus. Cuma barangkali karena menghadapi tunggal tunggal yunior Indonesia di final sehingga kemenangan Denmark semuanya dari partai tunggal. 

Tahun 2016 itu tuan rumah Tiongkok sayangnya kandas 1-3 dari Korsel di perempat final. lagi lagi Chen Long kalah (sama Son Wan Ho) ditambah lepasnya ganda pertama Zhang Nan/ Fu Haifeng dari LYD/ YYS sehingga memberatkan ganda coba coba kedua Tiongkok.

Sehingga kemenangan faham "kemerataan ranking tinggi" -demikian peristilahan kami- terhadap fenomena juara Uber Jepang dan Thomas China, itu amat sangat berbeda dengan kampiunnya Jepang 2014 dan Denmark 2016. Walau bisa jadi sih sama dengan Uber China saat juara 2012-2016 (sering diibaratkan Tiongkok bisa saja membentuk dua tim Uber dan bertemu di final) namun untuk Thomas kali ini berbeda.

Hal ini bisa jadi pelajaran untuk tim Indonesia. Memang sudah merata namun belum cukup. Barangkali analoginya "equity is necessary but not sufficient". Akan tetapi harus merata dengan posisi ranking yang tinggi. PBSI harus punya banyak pemain top, kalau bisa lima-limanya sehingga mampu merebut Thomas Cup -dan uber barangkali. 

Waktu tahun 2014 Indonesia juga menempati unggulan pertama, namun kandas oleh "ganda bukan bukan" dari Malaysia (Tan Boen Hong dan pasangan dadakan) sehingga memberatkan tugas tunggal kedua saat itu yaitu Hayom Rumbaka. Maka dari itu: high ranking players is a must. 

Selain itu, hasil menggembirakan saat BATC (badminton asia team cup) yang dihelat dua bulan sebelum ajang Thomas Uber cup tidak bisa jadi patokan. Seperti diketahui PBSI juara BATC tahun 2016 dan 2018, namun keok saat putaran finalnya. 

Semoga tahun 2020 nanti paradigma "kemerataan top ranking" ini, atau apalah namanya bisa dipakai sehingga PBSI bisa jadi juara kembali. Atau gak usah jauh jauh deh, tahun depamn 2019 saat ajang Sudirman Cup, kita tunggu hasilnya. Jayalah bulutangkis Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun