Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Kunci Kemenangan JPN dan CHN (Uber/ Thomas Cup 2018)

5 Juni 2018   01:57 Diperbarui: 5 Juni 2018   02:03 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: xinhuanet.com

Saat final, Jepang menundukkan Malaysia dengan sangat tipis 3-2, padahal Jepang pemainnya istilah kata belum matang saat itu. Di final Tago kalah sama LCW, untung ada juara dunia yunior JPN yaitu Kento Momota yang mengalahkan chong wei "yang lain" yaitu Chong Wei Feng, dan tanpa diduga Takomi Ueda yang mengalahkan Daren Liew (juara France Open) di partai kelima. Artinya apa? Jepang saat juara tahun 2014 sebenarnya pemainnya tidak berperingkat tinggi. Bisa jadi merata namun tidak top position rangkingnya.

Tahun 2016 ketika Denmark juara juga kondisinya tidak terlalu bagus peringkat pemainnya, alias rangking tidak begitu tinggi. Hanya Axelsen dan Jan O Jorgensen serta "veteran" Boe/ Mogenrsen yang istilahnya bagus. Cuma barangkali karena menghadapi tunggal tunggal yunior Indonesia di final sehingga kemenangan Denmark semuanya dari partai tunggal. 

Tahun 2016 itu tuan rumah Tiongkok sayangnya kandas 1-3 dari Korsel di perempat final. lagi lagi Chen Long kalah (sama Son Wan Ho) ditambah lepasnya ganda pertama Zhang Nan/ Fu Haifeng dari LYD/ YYS sehingga memberatkan ganda coba coba kedua Tiongkok.

Sehingga kemenangan faham "kemerataan ranking tinggi" -demikian peristilahan kami- terhadap fenomena juara Uber Jepang dan Thomas China, itu amat sangat berbeda dengan kampiunnya Jepang 2014 dan Denmark 2016. Walau bisa jadi sih sama dengan Uber China saat juara 2012-2016 (sering diibaratkan Tiongkok bisa saja membentuk dua tim Uber dan bertemu di final) namun untuk Thomas kali ini berbeda.

Hal ini bisa jadi pelajaran untuk tim Indonesia. Memang sudah merata namun belum cukup. Barangkali analoginya "equity is necessary but not sufficient". Akan tetapi harus merata dengan posisi ranking yang tinggi. PBSI harus punya banyak pemain top, kalau bisa lima-limanya sehingga mampu merebut Thomas Cup -dan uber barangkali. 

Waktu tahun 2014 Indonesia juga menempati unggulan pertama, namun kandas oleh "ganda bukan bukan" dari Malaysia (Tan Boen Hong dan pasangan dadakan) sehingga memberatkan tugas tunggal kedua saat itu yaitu Hayom Rumbaka. Maka dari itu: high ranking players is a must. 

Selain itu, hasil menggembirakan saat BATC (badminton asia team cup) yang dihelat dua bulan sebelum ajang Thomas Uber cup tidak bisa jadi patokan. Seperti diketahui PBSI juara BATC tahun 2016 dan 2018, namun keok saat putaran finalnya. 

Semoga tahun 2020 nanti paradigma "kemerataan top ranking" ini, atau apalah namanya bisa dipakai sehingga PBSI bisa jadi juara kembali. Atau gak usah jauh jauh deh, tahun depamn 2019 saat ajang Sudirman Cup, kita tunggu hasilnya. Jayalah bulutangkis Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun