"Ada apa, Mbak?" tanyaku sambil menyentuh pelan kakinya yang nempel di kakiku.
"Aku ki dosa ya, Yun? Ak ki dosa opo ora?" tanyanya bingung sambil matanya entah menatap apa.
"Lha kenapa, to?"
"Aku tak crito, yo? Tapi aku ojo mbok salahke," katanya ragu-ragu memelas.
"Ha... ha... ha...!" aku tertawa, "Opo, sih? Marake kepo!" kutatap wajahnya.
"Aku ki loro ati karo bapak'e bocah-bocah. Bagaimana tidak? Dulu, pas si Rofik mau lahiran tau ndak? Bapak'e ki minta kalungku. katanya mau buat tambahan usaha. Aku tahu pas itu bengkel cat mobilnya memang lagi banyak langganan. Eh, tahunya apa, coba? Ternyata kalung itu dijual untuk ngongkosi lahirannya si Rofi. Padahal pas itu aku kan juga nglahirin si Nug. Aku cari biaya sendiri utang sana sini. Sementara, uang kalungku dipakai dia. Habis lahiran, aku pulang sendiri, ngurusi awakku sendiri. Dia ndak pulang blas! Dia ngurusi istri mudanya! Siapa yang ndak sakit hati, Yun??! Siapa coba??!" dia berhenti sejenak mengatur nafasnya, menahan air matanya lalu melanjutkan, "Jadi tiap kali aku lihat wajahnya si Rofi, aku keingat terus. Sakit hatiku duh... sampai sekarang ndak berkurang-kurang." Lalu dia berhenti, mengusap-usap air mata yang sekarang berjatuhan dengan kerudungnya. Aku diam saja. Bersimpati pada perasaannya. Aku belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Tapi kalau dia 'korban' poligami, aku sudah tahu lama. Aku kira dia baik-baik saja. Ha! Baik-baik saja, emang ada wanita yang dipoligami baik-baik saja? Â
      Setelah puas menangis dia bertanya lagi, "Aku dosa ndak?"
"Yo, dosa, " jawabku sambil tersenyum. Lalu aku cium pipinya sebagai tanda sayang dan simpati.
"Kita tidak bicara tentang dosa dan salah dulu ya, Mbak,' kataku pelan banget, takut melukai hatinya.
"Begini, kejadiannya sudah duapulun tahun lalu, kan?" aku melanjutkan, "duapuluh tahun menyimpan sakit hati, hasilnya apa?" dia diam.
"Kok eman-eman ya, Mbak, hati kita yang sempit itu hanya dipenuhi penyakit. Aku paham, pas kejadian sampai beberapa waktu pasti sulit banget kondisine. Aku paham. Tapi kan itu sudah lama sekali. Bisa ndak kalau diakhiri. Maaf ya, Mbak, kalo aku hanya bisa ngomong. Tapi kan waktu berlalu, anak-anak tumbuh. Kehidupan tetap berlangsung. Kita masih diberi umur dan pasti berakhir cepat atau lambat. Lha kan rugi banget kalau kita tiba-tiba mati kok hati kita masih bengkak dengan penyakit. Maaf, lho, Mbak. Eman-eman tenan iki. Mbak Tik orang baik, dalam keadaan kekurangan pun masih suka menolong, sabar sama anak-anak. Mau diduakan bertahun-tahun. Apa ndak rugi kalau rusak pahala gegara sakit hati?"