Mohon tunggu...
Yuni Akbar
Yuni Akbar Mohon Tunggu... Guru - English Lecturer

Yuni Akbar adalah pemerhati dialektika bahasa dalam ranah logika sosial, psikologi dan pendidikan. Penggiat Gerakan Literasi. Dan sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Waktu Terus Berlalu

25 Maret 2023   08:40 Diperbarui: 25 Maret 2023   09:12 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                     

Jarum jam menunjukkan angka 4. Aku sudah siap di dapur dengan segala sayur dan lauk yang akan kuolah. Aku mulai dengan tempe yang kucelup adonan tepung. Sementara tempe masuk penggorengan, aku beralih mempersiapkan pernik-pernik sayur sop. Kompor sebelah dinyalakan, rebus air hingga mendidih, masuk potongan ayam disusul wortel dan kawan-kawan.  Kolak pisang kolang-kaling sudah matang dari tadi. Aroma pandannya menyebar membuat sulungku mengendus-enduskan hidung.

"Mamah...!" panggilnya sambil menatapku lama. Dia masih kelas 3 SD. Aku tahu mata beningnya minta ijin mencicipi. Aku menggeleng pelan, sambil tanganku masih sibuk memasak.

"Bentar, lagi." Jawabku.

"Lapar..." rengeknya.

"Tidak. Itu kan karena nyium bau aja. Sana main sama adik. Apa mau bantuin Mama masak?"

Dia diam saja, bertahan berdiri menyender meja dapur. Aku bisa saja mengijinkannya berbuka. Tapi sayang, tinggal 1,5 jam lagi. Aku yakin dia mampu.

            Baru saja si sulung sampai pintu dapur hendak keluar, si bungsu masuk. Hampir bertabrakan. Dengan cakapnya yang masih cadel, dia berteriak-teriak,

"Maam... empeh... empeh goyeng...!" tangannya menunjuk penggorengan. Lalu mendekat dengan cepat, mencoba meraih tempe goreng yang masih ada di di tirisan.

"Masih panas, Den... hati-hati..!" cegahku sambil menjauhkan tangannya dari area kompor.

"Empe goyeng...! Empe goyeng...!" teriaknya tak mau melepas pandangan dari tempe.

"Oke... oke... satu aja, ya?" kataku sambil mengambilkan sepotong tempe, lalu menggendongnya keluar dapur. Sulungku tidak jadi keluar, diam menyender di meja dapur seperti semula. Diam memberengut. Sorot matanya menuntut. Akhirnya aku ambilkan piring kecil, kuletakkan 2 potong tempe. Juga segelas kecil air putih.

"Ea mau buka sekarng?" aku mencoba membuatnya ragu. Dia menatapku. Seakan bertanya, 'Aku masih kecil, bolehkan?' aku tersenyum.

"Bismillah dulu," kataku sambil menyodorkan gelas dan piring tempe itu. Wajahnya  langsung berubah gembira. Dengan cepat diambilnya kedua benda kerinduannya itu lalu menghilang masuk kamar.

"Empe goyeng... agi... Mamamah..." baru  saja konsen ke masak, si bungsu sudah masuk dapur lagi. Akhirnya tempe goreng satu piring kubawa ke depan TV untuk mengamankan dapur.

            Begitu tiap sore kedua bocilku selalu wira wiri seperti setlikaan di dapur ketika aku masak untuk berbuka. Si bungsu yang baru 3 tahun itu pecinta gorengan sejati. Apa saja yang aku buat pasti akan dinikmatinya dengan riang gembira. Tempe goreng, tahu goreng, bakwan dan terutama pisang goreng. Mulutnya akan glowing berminyak-minyak setelah makan. Biasanya aku terus memandikannya sambil menunggu adzan maghrib.

"Ea...! Maem...!" panggilku dari depan kamar si sulung ketika adzan berkumandang. Diapun keluar sambil membawa piring tempe dan gelas yang masih utuh. Aku menatapnya tak percaya! Dia menengadahkan kepalanya sambil ketawa-ketawa. Lalu sengaja menubrukkan badannya ke kakiku. Senyum riangku dijawabnya dengan gembira,

"Aku ndak maem. Aku bisa puasa sampek maghrib hehe... Hehe..." katanya renyah dengan tawa manja.

"Alhamdulillah wa syukurilah...!" ucapku, "Ea memang keyen...!"

          Dan kamipun makan bersama dengan segala hidangan sederhana yang kusiapkan sendiri. Lalu kami ke masjid. Lalu pulang makan lagi. Lalu ke masjid untuk sholat isya' dan tarawih. Lalu pulang makan lagi. Lalu tadarus sebentar. Lalu main di tempat tidur sampai tertidur. Dan besoknya sudah sahur lagi. Begitu seterusnya sampai enambelas tahun kemudian.

            Aku tak lagi memasak tiap sore selama ramadhan sebab sulungku sudah bekerja di Jakarta. Bungsuku sudah disibukkan kuliah dan memilih tinggal di kos. Sedang aku memilih makan seadanya. Kadang membeli ketika pulang kerja, kadang merebus mie instan, kadang minum manis dan kurma beberapa. Adzan maghrib berkumandang, sendirian aku duduk di dapur yang dulu selalu diramaikan celoteh dan lari-lariannya anak-anak, kini sepi. Betapa cepatnya waktu berlalu.

            Sesungguhnya, memang demikian siklus hidup manusia. Lahir, tumbuh untuk melakukan amal-amal, lalu mati. Adakalanya ketika sedang sendirian begini aku berpikir tentang kematian. Kurasa semakin umur bertambah, semakin dekat pula ajal datang. Sambil menyeruput kopi jahe hangat pembuka puasa, ingatanku hinggap pada satu ayat di Al Quran surat Ar Rum ayat 54, "Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa."  Lemah salah satunya ditandai dengan lebih mudah lelah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Ini sangat terasa. Kalau dulu pulang kantor, tanpa istirahat langsung urusan bersih-bersih rumah, menemani anak belajar masih nyambi setlika dan sebagainya bahkan sampai malam  baru istirahat. Sekarang, pulang kerja duduk dulu, minum dulu baru urusan rumah. Kalau capek ditinggal istirahat, kerjakan sekenanya saja. Sudah tidak terlalu mementingkan kerapian, kebersihan dan keindahan rumah, yang penting badan terjaga istirahat hingga tidak sakit.

           Sesungguhnya aku takut jatuh sakit. Aku tidak ingin menjadi renta dan sakit-sakitan hingga menjadi beban bagi orang lain. "Dan (ada pula) diantara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun) sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya."  Aku memohon pada Allah agar dijauhkan dari keadaan ini. "Allahumma aafinii fii badanii Allahumma 'aafiinii fi sam'ii Allahumma 'aafinii fii basharii." Ya Allah, sehatkanlah badanku. Ya Allah sehatkanlah pendengaranku. Ya Allah sehatkanlah penglihatanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau.

              Menjadi tua adalah kewajiban yang harus dijalani sebab ia milik waktu. Tidak ada seorangpun yang bisa menghentikan waktu. Ia terus berjalan membawa ajal bagi tiap-tiap jiwa. "Kullu nafsin dzaiqatul maut." Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.  Seberapapun orang menjaga kesehatan, ini ikhtiar yang harus dilakukan, catat ya. Tetapi ajal akan datang pada saatnya. Dan ini sudah ketetapan yang semua orang dipaksa tunduk. Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." Maka siapaun harus siap kapanpun untuk pulang, kembali pada sang Khalik, "wa ilallahi turja'ul umur" hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan. Tentu dengan segala pertanggungjawabannya sebagai makhluk yang berakal, "Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka." Maka tugasku untuk sampai ajal adalah memenuhi catatan itu dengan berbuat sebaik yang aku mampu sebab ada ayat berbunyi "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." Menjadikan diri lebih baik amalnya dengan orang lain tentu tidak mudah karena bisa jadi ujub. Tetapi menjadikan amal diri lebih baik dari amal sebelumya itu yang harus selalu diingat. Inipun tidak mudah karena manusia selalu dalam iman yang naik turun. "Yaa Muqollibal quluub, tsabbit qolbi 'alaa diinik."  Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.

             Iqomah sudah beberapa menit berlalu. Kopi jaheku sudah habis. Tempe goreng masih sepotong. Aku mengakhiri berbuka sendiri, beranjak dari permenungan lalu  berwudhu melaksanakan sholat maghrib.

Catatan:

  • Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa."  (QS. Ar Rum: 54)
  • Kullu nafsin dzaiqatul maut (penggalan QS 3. Ali Imron : 185)
  • Dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya." ( QS. Al-Hajj : 5)
  • Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al Jumuah : 8)
  • wa ilallahi turja'ul umur. (Penggalan QS. Al Baqarah: 110)
  • Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. (QS Al-Isra': 13)
  • Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantar kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al Mulk: 2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun