Masa Kecil
Sobur pemuda kelahiran Tasik Malaya  tahun 1994 ini menghabiskan masa kecil dan remajanya di kampung kelahirannya.
Lahir dari seorang Ibu yang bernama Engkon Koniah Ayahnya bernama Iding (almarhum) yang eninggal ketika Sobur berusia 5 tahun sehingga Sobur kecil kehilangan sosok ayahnya.Â
Ketika SD ibunya memasukkan dia ke pondok pesantren. Selama 6 tahun dia belajar dan  tinggal di pesantren. Hanya sesekali dia pulang kalau liburan sekolah atau pas dia  sakit.
Kesenangannya di bidang olahraga menuntunnya menjadi jawara. Â Dari SMP sampai SMA dia mengikuti olahraga Pencak Silat Pajajaran yang sangat terkenal di wilayah Jawa Barat. Karena kemampuannya yang luar biasa dan beberapa kali ikut lomba pencak silat tingkat kabupaten dan provinsi menang, maka dia dipercaya untuk melatih Pencak Silat Pajajaran.
Kejuaran Pencak Silat di Negara Sakura
Sobur yang memiliki tinggi semampai, badan yang tidak terlalu besar, kalau bicara pelan dan selalu disertai senyum ini jago  main silat.  Tidak sia-sia karena ketekunannya dia berhasil menjadi juara 1 lomba pencak silat se-provinsi Jawa Barat. Ketika ada kejuaraan lomba pencak silat se -Asia dan Eropa di Jepang tahun (2010) dia terpilih mewakili kontingen Indonesia dan berhasil meraih juara 2. Namun, kemenangannya tidak membuatnya senang, karena hasil dari perjuangannya tidak diapresiasi maksimal, apa yang seharusnya menjadi haknya tidak diberikan secara utuh oleh tim yang membawanya ke kancah pertandingan internasional tersebut. Dia merasa seolah-olah dirinya hanya dimanfaatkan saja. Sayangnya pemuda Sobur  saat itu belum begitu paham tentang MOU. Sehingga keikutsertaannya tidak tertulis  hitam di atas putih dengan pihak yang berwenang. Sejak itulah dia tidak mau mengikuti kejuaran international. Dia hanya fokus kepada mengajar pencak silat di kotanya yang jumlah muridnya sudah ratusan.
Menjadi Tukang Bubur
Jadi orang yang berhasil adalah cita-citanya. Cerita kemenangannya mengikuti lomba pencak silat di Jepang terdengar oleh jajaran ABRI dan POLRI. Banyak tawaran datang agar dia mau mengikuti pendidikan dan bekerja di jajaran  militer dan POLRI. Namun, semua ditolaknya karena keinginannya menjadi guru agama. Maka pada tahun 2015 dia merantau ke daerah Bogor dengan bekal uang 200 ribu rupiah yang diberi ibunya. Sesampainya di wilayah Bogor tepatnya di Parung-Bogor, dia putar otak bagaimana bisa bertahan hidup di luar daerahnya.  Kemudian dia nekad berjualan bubur ayam dan bubur kacang hijau. Uang tabungan yang dikumpulkan selagi dia SMP-SMA habis untuk modal berjualan bubur.
 "Alhamduliah selama berjualan 1 tahun modal kembali." ungkapnya. Namun malang baginya,  petugas Satpol PP melarang dia berjualan di daerah tersebut. Walaupun sebelumnya  preman pasarnya (orang yang menjual gerobak bubur kepada Sobur) memberi jaminan kalau tempat dia berjualan aman. "Kalau ada Satpol PP yang mengusir, cari saja aku." kata Si preman kepada Sobur.  Petugas Satpol PP datang mengusirnya, dia ingat ucapan Si preman, maka preman tersebut dicarinya. Namun usahanya sia-sia. Akhirnya Sobur  dengan berat hati memindahkan tempat berjualannya ke tempat yang dekat dengan kontrakannya. Namun pembelinya tidak seramai saat dia berjualan di sekitar pasar. Semakin hari jualannya tidak pernah habis. Lama-kelamaan jualannya tutup.
Mengayuh Sepeda
Setelah usaha buburnya tutup, Sobur tidak putus asa. Dia masih tetap berusaha mencari usaha baru yang bisa menopang hidupnya. Jiwa "enterpreneurnya" tidak membuatnya 'kapok' berjualan. "Rugi diusaha itu biasa, yang penting jangan putus asa." ungkapnya. Dari sisa tabungannya dia berjualan ice cream.  Satu setengah juta  dia gunakan  untuk modal investasi di perusahaan ice cream. Dari perusahaannya dia mendapat 1 unit  sepeda ontel, boks ice cream, dan ice creamnya. Setiap hari dia berkeliling dengan sepedanya menawarkan ice cream sejauh 15-25 km. Usahanya membuahkan hasil. Lama- kelamaan dia dipercaya oleh perusahaannya untuk mengembangkan usahanya. Pesanan datang dari mana saja. Terutama dari orang yang punya hajat seperti manten, sunatan, dll. Karena semakin banyak pesanan dan banyak yang mau bergabung berjualan Sobur kini banyak memiliki anak buah.
Kuliah di STAIMÂ
Kuliah di  Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Muklisin (STAIM) Ciseeng , Bogor adalah pilihannya untuk mewujudkan cita-citanya menjadi guru agama. Sobur memilih kuliah di STAIM karena waktu kuliahnya  di sore hari. "Saya pagi sampai siang berjualan, sorenya saya kuliah," paparnya. Dari hasil usahanya berjualan ice cream dia mampu membiayai hidupnya dan membayar biaya kuliahnya. Tidak lupa dia menyisihkan untuk orang tuanya di kampung.Â
Dijodohkan
Setiap berapa bulan sekali dia pulang kampung menengok orang tuanya yang sudah menua sambil mengajar murid-nya pencak silat yang sudah dibinanya. Karena kesibukannya di Bogor, dia tidak bisa mengajar  setiap bulan. Oleh sebab itu dia memakai asisten untuk menggantikannya mengajar silat.
Suatu ketika ibunya menyuruhnya pulang, sesudah sampai di rumahnya, dia terperanjat, dalam hatinya bertanya  "ada  acara apa, mengapa ada tenda di depan rumah orang tuanya?" pertanyaannya belum terjawab,  ibunya langsung menyodorkan setumpuk  berkas untuk di bawa ke  ke kelurahan dan KUA. Sobur masih bertanya-tanya, "maksudnya berkas ini untuk apa ya, Bu?" Tanyanya pada Ibunya.  "Ini  berkas kebutuhan pernikahanmu nanti!" jawab ibunya. "Pernikahanku? Dengan siapa?"  Aku masih mau menyelesaikan kuliahku dulu, Bu!" Mengapa ibu suruh aku menikah dengan gadis yang belum pernah aku kenal sebekumnya !" Sobur mencoba menjelaskan keinginannya ke ibunya kalau bisa perjodohannya ditunda. Namun, ibunya memaksanya.
 "Setelah menikah kamu masih bisa melanjutkan kuliahmu. Ibu juga sudah tua, ibu ingin cepat menimang cucu!" kata ibunya setengah memaksa. Sobur tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti kehendak ibunya. Sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara yang sangat sayang  ke ibunya, dia tidak mau membuat ibunya sedih. Dia paham sekali sebagai anak yang pernah mondok di pesantren dia tahu artinya "birulwalidayni."  Bagaimana dahsyatnya efek dari seorang anak yang patuh kepada kehendak orang tua. Dia ingat ajaran ustad dan ustazahnya di pondok "rido Allah adalah ridho orang tua murkanya Allah adalah murkanya orang tua".  Sobur tidak mau mendapat murka ibunya yang akan berdampak pada murka-Nya.
Akhirnya  Sobur resmi menikah dengan gadis pilihan orang tuanya saat dia masih kuliah di  semester 3.  Istrinya yang bernama Agnitu Yauma Rahmah  ternyata juga masih kuliah di UIN Bandung.  Karena  niat ingin membahagiakan orang tuanya,  perkawinannya penuh dengan kebahagiaan dan keberkahan.  Lengkap sudah kebahagiaan Sobur setelah tahun 2018  dikarunia seorang putra yang diberi nama Muhammad Naufal Zalim Ramadhan
Menjadi Guru Agama Â
Sambil kuliah selain berjualan es krim, ternyata  setelah menikah Sobur mendapat tawaran mengajar agama Islam di salah satu SMP dan SMA di daerah Bogor. Tawaran tersebut tidak disia-siakan oleh Sobur. Dia harus mencari rezeki yang lebih lagi karena dia sudah punya keluarga yang harus diberi nafkah. Sobur sangat bersyukur kepada Allah atas kemurahan-Nya,dia diberi kemudahan mendapat rezeki. Rezeki itu datang tak disangka-sangka, "Min haistula yahtasib."  Selama menjadi guru di SMP dan SMK dia sangat menikmatinya. Murid-muridnya sangat senang diajar olehnya. Jelas mereka senang diajar oleh Pak Guru  Sobur yang sabar dan murah senyum.
Munaqosah Skripsi
Setelah beberapa bulan Sobur  menyelesaikan skripsinya yang sudah diujikan pada  tanggal 10 Desember 2020 yang lalu , kini Sobur bisa bernapas lega, tangan mengepal, senyum mengembang, jerih payah, tetesan peluhnya  yang selama ini dirasakan dan dikeluarkan  berbuah manis. Panggung Wisuda menantinya,  Toga dan Baju wisuda melambai-lambai ke hadapannya.  Gelar sarjana (S1) yang diidamkannya sebentar lagi diperolehnya. Sobur membayangkan naik ke atas panggung wisuda, berjabat tangan dan mengucapkan salam ta'dzim, serta terima kasih  dengan Ketua STAIM AL-Mukhlisin  Ciseeng Bogor, Drs. Nanang Isom, M.Si.,  dan para dosen kehormatan STAIM. Berkat bimbingan dan arahan,  serta kesabaran beliau-beliau, hingga Sobur berhasil menyelesaikan kuliahnya  dan meraih  cita-citanya
 Sobrun pemuda soleh, yang gigih, tak kenal lelah dalam mengais rezeki dan menuntut ilmu dapat dijadikan contoh bagi generasi melenial saat ini,  bahwa tak ada keinginan yang tidak bisa dicapai asal kita mau berusaha. "Rezeki harus dicari, ilmu harus digapai agar hidup kita bahagia dan sejahtera" ungkapnya mengakhiri perbincangannya.
Berbekal rasa percaya diri, tidak mudah putus asa, dan tidak meniggalkan perintah-Nya, serta tidak melanggar larangan-Nya, itu lah kunci suksesnya.
Yunia Kusminarsih.#pegiatliterasi#guru, dosen di Pesantren Al-Nahdlah,  serta Perguruan Tinggi Swasta  (STAIM Ciseeng-Bogor)  dan PTIQ Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H