Apa yang menarik dari selembar undangan pernikahan? Bagi saya yang paling menarik adalah nama gelar sarjana di belakang nama pasangan pengantin. Â
Sering saya menemukan gelar-gelar yang kurang populer. Misalnya, baru-baru ini tetangga saya menikahkan anak perempuannya yang bergelar S.Par.Â
Saya baru tahu ada gelar seperti itu. Ternyata dia lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata. Otak saya langsung menebak kepanjangan S.Par adalah Sarjana Pariwisata
Menariknya lagi adalah nama mempelai laki-laki tidak diikuti gelar apapun. Bagi saya ini kurang etis, seolah ingin menunjukkan calon istri lebih berpendidikan.Â
Begitu juga dengan pasangan besannya, dari pihak laki-laki bergelar sarjana sementara dari pihak perempuan hanya nama tanpa embel-embel gelar. Kesannya, mereka bukan pasangan besan yang sepadan karena perbedaan tingkat pendidikan.
Kenapa masyarakat kita sangat memuja gelar akademis? Bahkan seolah menjadi kewajiban untuk mencantumkan gelar kesarjanaan di dalam undangan pernikahan.Â
Salah seorang calon wisudawan di kampus saya mengatakan kalau  salah satu motivasinya untuk mendapatkan gelar sarjana adalah agar bisa ditulis di dalam undangan pernikahan.Â
Setidaknya untuk mendapatkan pengakuan publik bahwa dia berhasil di bidang pendidikan. Di samping juga untuk membanggakan kedua orangtuanya. Fenomena ini terjadi karena masyarakat kita menentukan kualitas seseorang berdasarkan gelar akademis.Â
Masyarakat menilai seseorang berdasarkan standar ini karena percaya bahwa tingginya gelar menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Padahal gelar akademis bukan satu-satunya kunci kesuksesan seseorang.
Meskipun demikian, para orangtua tetap mencantumkan gelar sarjana anaknya di dalam undangan pernikahan. Hal ini bisa dijelaskan dari sudut pandang stratifikasi sosial yang dibuat oleh masyarakat dan kelas sosial yang terbentuk karenanya.Â
Salah satu dasar stratifikasi sosial adalah ukuran ilmu pengetahuan yang akan dilihat dari gelar kesarjanaan seseorang. Stratifikasi sosial membedakan atau mengelompokkan anggota masyarakat ke dalam kelas sosial tertentu.
Seseorang yang memiliki gelar sarjana Strata 1 misalnya, akan menempati kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan lulusan Program Diploma yang bergelar Ahli Madya atau lulusan SMA.Â
Dari sini terlihat bahwa penghargaan masyarakat terhadap seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikannya. Menunjukkan tingkat pendidikan lewat gelar sarjana sang anak adalah cara orangtua menempatkan anak-anak mereka dalam kelas sosial yang tinggi.
Sebenarnya tidak semua pasangan yang akan menikah ingin memamerkan gelar yang diperolehnya dari bangku kuliah. Sayangnya mereka sering kalah beradu argumen dengan kedua orangtuanya yang bersikeras memajang gelar sarjana sang anak.Â
Alasannya, mereka sudah bersusah payah membiayai kuliah. Apakah salah mengumumkan kepada publik pencapaian yang telah diraih anaknya di bidang akademis?Â
Sebuah pencapaian yang layak dibanggakan. Bahkan gelar itu pula yang akan meningkatkan status sosial mereka di mata masyarakat. Hanya sedikit orangtua yang mau berlapang dada meniadakan gelar sarjana anaknya dalam undangan pernikahan. Itu juga berarti mereka harus menekan egonya untuk tidak memajang gelar sarjana yang dulu setengah mati didapatkannya.
Tidak ada yang salah ketika gelar akademis dicantumkan dalam undangan pernikahan. Tidak juga ada yang merasa dirugikan. Itu bukanlah sebuah kebohongan publik.Â
Gelar sarjana itu asli dan benar milik pasangan pengantin itu. Sebuah pertanyaan yang mengusik adalah apa manfaatnya menuliskan gelar akademis di dalam undangan pernikahan?Â
Sekadar pengumuman kepada publik bahwa pasangan pengantin adalah kaum intelektual. Sebuah kebanggaan karena menempati status sosial yang cukup tinggi di dalam masyarakat. Ataukah kebutuhan pada pengakuan terhadap keberhasilan orangtua dalam mendidik anak-anaknya?Â
Gelar akademis tidak selalu berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan seseorang. Ada yang punya gelar sarjana tetapi menganggur. Sebaliknya yang lulusan SMA berhasil menjalankan bisnis hingga meraih kekayaan berlimpah.Â
Bahkan orang-orang ternama yang menjadi miliarder seperti Mark Zuckerberg, pendiri Facebook dan Bill Gates, penemu Microsoft yang tak memiliki gelar akademis. Gelar akademis ternyata bukanlah segalanya. Tanpa gelar akademis bukan penghalang untuk meraih kesuksesan dan kekayaan.Â
Lantas bagaimana jika pasangan pengantin yang bergelar akademis tertentu ternyata belum bekerja? Apakah masih membanggakan untuk mengumumkan gelarnya kepada khalayak luas?Â
Bukankah lebih membanggakan jika tetangga atau kenalan orangtua mereka mengetahui ternyata sang pengantin ini bekerja di perusahaan besar yang bisa dipastikan bergaji besar juga. Padahal di dalam undangan pernikahannya tidak menyebutkan gelar sarjananya.
Mestinya gelar akademis digunakan untuk urusan akademis dan pekerjaan. Seorang dosen wajib mencantumkan gelarnya karena gelar menjadi dasar penentuan kenaikan pangkat dan jabatannya.Â
Gelar juga menunjukkan kompetensi keilmuannya. Penentuan gaji karyawan di sebuah perusahaan juga dibuat berdasarkan tingkat pendidikannya.Â
Pada situasi seperti inilah urgensi gelar dipertimbangkan sehingga wajib disertakan. Sedangkan bagi calon pengantin, untuk apa gelar sarjana harus ditampilkan dalam undangan pernikahan?Â
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini karena sudah biasa dilakukan di dalam masyarakat. Kalau mau jujur mengakui sebenarnya gelar itu untuk kebanggaan, pengakuan, dan status sosial.
Saya membayangkan di masa depan tidak ada lagi calon pengantin yang pamer gelar akademis di dalam undangan pernikahan. Dengan demikian masyarakat tidak lagi menilai kualitas seseorang dari gelar akademisnya.Â
Selain itu, tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa minder jika disandingkan dengan pasangan atau besan yang tidak sepadan gelarnya.Â
Menunjukkan sederet gelar sarjana tanpa mempertimbangkan bahwa pasangan, mertua atau besan tidak memiliki gelar yang seimbang justru merupakan keegoisan dan kesombongan seseorang. Bukankah tindakan tersebut seperti sengaja dilakukan untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari lingkungan masyarakat?
Mencantumkan gelar akademis dalam undangan pernikahan menurut saya tidak bermanfaat. Seringkali malah menjadi tidak etis jika kedua belah pihak tidak memiliki gelar yang seimbang.Â
Masyarakat akan menilai mereka hanya dari hal-hal yang kasat mata seperti gelar akademis tersebut. Tidak secara objektif menilai kualitas manusia dari karakter dan kepribadiannya.Â
Padahal dalam tradisi Jawa untuk mencari jodoh lebih menekankan pada asal usul seseorang yang dikenal dengan istilah bibit, bebet, bobot. Bibit adalah biji yang dikaitkan dengan penyakit bawaan.Â
Bebet adalah asal-usul keturunan seseorang sedangkan bobot adalah kelakuan atau perangainya. Coba lihat, gelar sarjana sama sekali bukan merupakan syarat yang dipertimbangan dalam mencari jodoh.
Mengagungkan gelar sarjana berarti harus menunggu lulus kuliah untuk menikah. Konvensi masyarakat menentukan standar usia pernikahan adalah setelah lulus sarjana.Â
Padahal menyegerakan menikah untuk menghindari fitnah itu lebih utama dari pada harus menunggu seseorang lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana. Sah-sah saja menikah selama dalam masa kuliah. Asalkan sudah memenuhi syarat usia menikah, mereka bisa melakukan pernikahan.
Jika kebiasaan menuliskan gelar akademis dalam undangan pernikahan ini tetap bertahan dan terus dilanjutkan, kita akan menjadi bagian dari masyarakat pemuja gelar yang tidak menghargai kualitas seseorang dari pencapaian lainnya di luar pencapaian akademis.Â
Alangkah naifnya kita dalam menilai seseorang. Seolah gelar sarjana adalah segalanya dalam hidup ini. Sampai-sampai di manapun dan kapanpun harus selalu kita bawa. Tidak berani menjadi diri sendiri, seorang manusia yang berkarakter kuat dan tetap percaya diri tanpa harus menunjukkan gelar sarjana yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H