Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panleukopenia Survivor

22 Februari 2020   08:01 Diperbarui: 22 Februari 2020   08:03 3824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rawat inap saja Dok," jawabku mantap. Kubayangkan betapa sulitnya memberikan obat untuk kucing. Belum lagi memberinya makan ketika dia terus menerus menolaknya. 

"Baiklah, kita akan siapkan infusnya ," lanjut dokter yang kemudian  meminta bantuan perawat memasang jarum infus ke kaki Jelly. Kucing jantan berusia delapan bulan itu hanya pasrah .

Sebelum pulang, dokter itu memberikan penjelasan tambahan. "Masa kritisnya lima hari. Kalau dia berhasil melewati masa kritis, kemungkinan sembuhnya besar.  Berdoa saja ya !"

Kata terakhir itulah yang kupegang. Berdoa. Aku pun tak henti  berdoa  ketika dulu Lily dirawat di sini, tetapi Allah menghendakinya kembali pada usia 3 tahun.  Barangkali sudah dianggap  cukup menemaniku .  Kali ini aku tak ingin kehilangan kucing lagi.

Kutemani Jelly ke ruang rawat inap. Dia ditaruh di kandang warna ungu lalu ditempatkan di ruangan besar bersama kucing-kucing lain yang juga sedang sakit. Mereka menempati kandangnya masing-masing dengan tambahan tiang infus di sampingnya. Ada seekor kucing yang sangat cerewet di ujung ruangan. Kucing persia berwarna coklat yang nampaknya lebih muda dari Jelly. Barangkali dia ingin menyapa Jelly yang baru datang.

Aku mengelus kepala Jelly sebelum meninggalkannya.  Kubisikkan padanya kata-kata semangat dan berpesan agar mau makan. Kuharap dia mengerti apa yang kukatakan.  Setidaknya vibrasi suaraku mengisyaratkan harapanku yang besar untuk kesembuhannya. Dia berjalan pelan-pelan di dalam kandangya yang sempit. Pengalaman pertama baginya dimasukkan kandang. 

Di rumah dia bebas berjalan ke sana ke mari, bermain bola dengan saudara-saudaranya dan sering melompat ke atas printer ketika aku mengeprint sesuatu. Melihat kertas ke luar dari printer adalah kesenangannya.  Wajahnya nampak keheranan  dan kadang-kadang dua kaki depannya mencoba masuk ke arah ke luarnya kertas.

Setiap jam tujuh pagi aku akan mendapat informasi perkembangan kondisi Jelly dan sorenya akan mendapatkan perincian biaya perawatannya. Saat-saat menjelang jam tujuh pagi itu sangat menegangkan. Di hari pertama, hingga jam tujuh lewat  belum ada WA masuk. Kondisi ini membuatku sangat  cemas.  Sejam kemudian WA baru masuk.

Selamat pagi, Jelly masih lesu, ada muntah disertai cacing beberapa kali, suhu normal, belum mau makan. Kondisi masih dipantau sangat intensif. Terima kasih. 

Begitulah setiap pagi, selama  sepuluh hari, aku  menunggu jam tujuh dengan harap-harap cemas.  Seringkali aku merasa pusing dan mual  disertai dada berdebar-debar. Seekor kucing telah mengaduk-aduk perasaanku. Bahkan dia juga membuatku semakin rajin beribadah. 

Setiap Subuh dan Maghrib aku akan sholat berjamaah di masjid. Aku berkeyakinan, doaku akan cepat sampai dan dikabulkan Allah jika aku berdoa di rumahNya. Sesudah sholat wajib yang lima waktu itu aku selalu memohon kepada Allah  Sang Maha Penyembuh untuk menyembuhkan Jelly. Aku juga memintaNya mengijinkanku memelihara Jelly dalam waktu lama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun