Tidak hanya  sampai disitu saja, membudidayakan serangga lebih ramah lingkungan karena  serangga menghasilkan lebih kecil greenhouse gases (GHGs) berupa gas methan maupun emisi amonia dibanding ternak konvensional.
Pada serangga methan hanya dihasilkan oleh sekelompok serangga tertentu saja seperti kecoa dan rayap.
Serangga juga sangat efisien dalam menyerap nutrisi pakan sehingga imbangan antara input pakan  dengan pertumbuhan sangat efisien. Sebagai contoh jangkrik 12 kali lebih efisien dibanding sapi, 4 kali lebih efisien dibanding domba, dan setengah kali lebih efisien dari ayam dan babi dalam menghasilkan jumlah protein yang sama.
Secara ekonomi budidaya serangga tidak memerlukan teknologi yang canggih  sehingga tidak membutuhkan investasi maupun lahan yang besar. Disamping itu saat ini  budidaya serangga dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi kandang vertikal sehingga menghemat tempat.
Kajian lengkap tentang serangga sebagai edible insect telah dirilis FAO pada tahun 2013 dengan judul buku "Edible Insects Future Prospects for Food and Feed Security".
Konferensi ini diselenggarakan secara rutin per dua tahun dan dihadiri seluruh ilmuwan dunia pemerhati serangga  dengan bidang kajian serangga sebagai pangan, pakan dan juga sebagai sumber energi terbarukan.
Saat ini pengembangan serangga di dunia termasuk Indonesia sangat pesat. Paling tidak ada sekitar 1900 spesies serangga yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan (Van Huis et al. 2013).
Gencarnya promosi pengembangan serangga sebagai sumber pangan dunia  dan sebagai sumber protein masa depan, menjadikan tantangan tersendiri bagi umat muslim karena adanya  keraguan terkait  kehalalannya.