Engkong, begitu saya biasa memanggilnya. Sudah enam tahun terakhir saya mengenal pria yang bernama Sahari ini. Usianya sudah tua. Hal itu terlihat dari giginya yang ompong dan kulitnya yang mengeriput.
Dahulu, biasanya sehabis jam deadline redaksi saya mampir ke warung tenda miliknya, memesan kopi favorit dan mie rebus guna mengobati lelah pikiran dan perut yang keroncongan. Kebetulan, warung tenda kaki lima milik Engkong terletak pas di sisi kiri depan kantor saya di Jalan Johar, Menteng, Jakarta Pusat.
Sehabis menyantap mie rebus dan sesekali menyeruput kopi, saya tak langsung beranjak dari tempat duduk, melainkan turut menikmati suasana malam di ibu kota sambil mengobrol dengan Engkong dan pembeli warung yang kebetulan sedang bersantai. Ngobrol tentang apa saja soal kehidupan. Mulai mengobrol soal isu kabar terhangat di Jakarta sampai soal keseharian Engkong di kampungnya di daerah Tangerang bila kebetulan tak sedang mendapat giliran jaga warung di Jakarta.
Pernah Engkong memamerkan foto bersama seorang pramugari kepada kami. Ya, foto itu diambil saat Engkong sedang berada di pesawat dalam perjalanan menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi, sekitar tahun 2011 lalu. Saat itu, Engkong melaksanakan ibadah umrah untuk memenuhi hasratnya naik haji yang belum mendapatkan kesempatan kloter terbang meski telah mendaftar sejak beberapa tahun lalu. Biaya umrah sendiri didapatkan Engkong dari menabung hasil jualan warung kaki limanya di Jakarta ditambah hasil jual tanah di kampung halaman. “Biaya seluruhnya sekitar Rp30 jutaan lah,” cerita Engkong saat itu.
Warung kaki lima Engkong meninggalkan kesan tersendiri bagi saya pribadi. Di warung ini saya mengenal beragam karakter manusia lengkap dengan peliknya kehidupan yang dijalani. Dari warung Engkong, saya mendapatkan kisah perjalanan hidup seorang tukang sate yang gigih salat malam dan berjualan hingga memiliki lima rumah kontrakan dan sudah berkali-kali naik haji. Dari warung Engkong pula saya mendapatkan kisah hidup seorang penarik Bajaj yang sudah sebatang kara, gigih mencari penumpang untuk mendapatkan rupiah demi memenuhi hajatnya mempercantik nisan dan kuburan istrinya di Tegal, Jawa Tengah, yang terlebih dahulu mendahuluinya.
Sejak kantor pindah dan tutup pada 2014 lalu, saya sudah jarang nongkrong di warung Engkong. Suatu waktu, Jumat, 5 Agustus 2017, saya menyempatkan waktu minum kopi di warung Engkong. Ada yang berubah dari warung Engkong. Warung yang dulunya dilengkapi tenda biru sebagai peneduh dan meja kecil panjang tempat pembeli meletakkan mangkok mi saat bersantap makanan, kini sudah tak ada lagi.
Lemari kayu kaca tempat menyimpan rokok dan barang dagangan lainnya sudah berganti lemari aluminium kaca. Bila dulu Engkong berjualan mengandalkan tenda, meja, dan lemari kayu kaca, kini berubah hanya lemari aluminium kaca dan empat buah kursi plastik plus dua buah kotak plastik es atau cool box yang biasa digunakan pedagang menyimpan minuman dingin.
Seketika saya penasaran. Saya pun bertanya kepada Engkong ke mana perginya alat-alat jualan yang belasan tahun ini diandalkannya berjualan di sebagian lahan trotoar Jalan Johar. “Kemarin kena razia Satpol PP Pak, petugas dari kecamatan,” keluh Engkong. Saya pun mencoba memberi saran untuk menebus barang-barang dagangan yang dirazia itu ke kantor kecamatan. Namun, Engkong menolak karena sudah tiga kali kena razia. Ia lebih memilih untuk mengikhlaskannya. “Biarlah Pak. Kalau dihitung-hitung saya sudah rugi Rp5 juta lebih Pak karena razia ini,” keluh Engkong kembali.
Saat bercerita tentang warungnya yang dirazia, Engkong memang tampak sedikit kesal dan marah, meski saya tetap berusaha untuk menenangkannya.
Setelah dirazia, Engkong memilih untuk membeli sebuah lemari aluminium kaca berukuran 1X1 meter seharga Rp2 jutaan sebagai gantinya. Ya, sudah hampir 56 tahun ini ia berjualan kaki lima di sepanjang Jalan Johar Menteng dan tampaknya semangatnya untuk bekerja tak akan pernah surut meski terkena razia. Kini, Engkong berjualan kaki lima di bawah teriknya panas matahari tanpa tenda.
Sebagai jurnalis yang biasa meliput di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), saya pun mencoba berpikir liar soal wacana pertumbuhan ekonomi dan inovasi pemerintahan daerah. Pemerintah, baik pusat mau pun daerah, kini tengah gencar-gencarnya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah daerah (pemda) pun didorong untuk melahirkan gagasan-gagasan dan program inovatif guna mendukung pertumbuhan ekonomi di daerah.
Lantas, saya pun bertanya, apakah ada cara atau program yang bisa disulap untuk menjadi sebuah program inovatif daerah bagi pemberdayaan PKL tanpa harus melakukan penggusuran. Saya yakin, bila keberadaan PKL dipertahankan dan diberdayakan, dalam harapan besarnya maka akan dapat menyokong pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Minimal, mengurangi laju angka pengangguran.
Saya pun mencoba berselancar di dunia maya, mencari tahu konsep penataan PKL yang inovatif di luar negeri. Sebuah berita yang dilansir sebuah media online nasional cukup menarik perhatian saya, meski ditulis 22 September 2014. Dalam artikel itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku kagum terhadap penataan PKL di Distrik Gangnam, Korea Selatan. Ahok, sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama pun tertarik untuk memperbolehkan PKL di ibu kota berjualan di trotoar dan taman seperti yang dilakukan Pemerintah Korsel dengan upaya-upaya penataan.
Selanjutnya, saya membuka tulisan lain yang dirilis media online berbeda. Lagi lagi dalam berita kedua yang dimuat pada 10 Agustus 2016 lalu, Ahok melontarkan gagasan diperbolehkannya PKL berjualan di trotoar dan taman dengan sejumlah syarat.
Sejenak saya termenung. Apa yang salah dengan Engkong sehingga harus kehilangan barang dagangan dan tenda kaki limanya kalau bos ibu kota saja sudah setuju memperbolehkan PKL seperti Engkong berjualan di trotoar jalan dan taman?
Saya hanya mencoba menebak. Mungkin jawabannya karena keinginan Gubernur DKI itu baru sebatas wacana inovatif, meski telah digulirkan dua tahun lalu sepulangnya dari Korsel. Pemikiran itu belum mewujud pada sebuah kebijakan nyata yang bila diundangkan dua tahun lalu mungkin tak akan berujung pada razia tenda kali lima Engkong di Jalan Johar. Bisa jadi pula, pernyataan Gubernur Ahok itu untuk menenangkan hati dan menarik simpati para PKL yang tergusur menjelang digelarnya Pilkada DKI 2017 mendatang.
Tapi, apa pun jawabannya, keberadaan PKL tetap harus diberdayakan dan dipertahankan. Sebab, warung kaki lima lah yang menjadi andalan mereka bertahan hidup dan menata masa depan anak-anak mereka. Melalui warung kaki lima pula mereka mampu menggeliatkan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Melalui warung kaki lima pula, mereka mampu menutup celah pengangguran. Melalui warung kaki lima pula, mereka tetap terus bekerja dan berkarya. Melalui warung kaki lima pula, mereka menyampaikan pesan buat anak-anak mereka, Pokoke Kerja Le…
Ya, peran Engkong dan PKL lainnya kini tak dapat dipandang sebelah mata. Mereka juga pahlawan ekonomi yang sama hebatnya dengan para pahlawan devisa, Tenaga Kerja Indonesia. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H