Mohon tunggu...
Arjuna Al Ichsan Siregar
Arjuna Al Ichsan Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergelut di dunia jurnalis sejak tahun 2003 hingga 2018. Kini menjalankan amanah sebagai anggota Bawaslu Kabupaten Sleman periode 2018 - 2023.

Wartawan 2003 - 2018. Kini aktif menjadi anggota Bawaslu Kabupaten Sleman 2018 - 2023.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

PKL, Sang Pahlawan Ekonomi

18 November 2016   17:51 Diperbarui: 18 November 2016   20:05 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engkong, begitu saya biasa memanggilnya. Sudah enam tahun terakhir saya mengenal pria yang bernama Sahari ini. Usianya sudah tua. Hal itu terlihat dari giginya yang ompong dan kulitnya yang mengeriput.

Dahulu, biasanya sehabis jam deadline redaksi saya mampir ke warung tenda miliknya, memesan kopi favorit dan mie rebus guna mengobati lelah pikiran dan perut yang keroncongan. Kebetulan, warung tenda kaki lima milik Engkong terletak pas di sisi kiri depan kantor saya di Jalan Johar, Menteng, Jakarta Pusat. 

Sehabis menyantap mie rebus dan sesekali menyeruput kopi, saya tak langsung beranjak dari tempat duduk, melainkan turut menikmati suasana malam di ibu kota sambil mengobrol dengan Engkong dan pembeli warung yang kebetulan sedang bersantai. Ngobrol tentang apa saja soal kehidupan. Mulai mengobrol soal isu kabar terhangat di Jakarta sampai soal keseharian Engkong di kampungnya di daerah Tangerang bila kebetulan tak sedang mendapat giliran jaga warung di Jakarta.

Pernah Engkong memamerkan foto bersama seorang pramugari kepada kami. Ya, foto itu diambil saat Engkong sedang berada di pesawat dalam perjalanan menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi, sekitar tahun 2011 lalu. Saat itu, Engkong melaksanakan ibadah umrah untuk memenuhi hasratnya naik haji yang belum mendapatkan kesempatan kloter terbang meski telah mendaftar sejak beberapa tahun lalu. Biaya umrah sendiri didapatkan Engkong dari menabung hasil jualan warung kaki limanya di Jakarta ditambah hasil jual tanah di kampung halaman. “Biaya seluruhnya sekitar Rp30 jutaan lah,” cerita Engkong saat itu.

Warung kaki lima Engkong meninggalkan kesan tersendiri bagi saya pribadi. Di warung ini saya mengenal beragam karakter manusia lengkap dengan peliknya kehidupan yang dijalani. Dari warung Engkong, saya mendapatkan kisah perjalanan hidup seorang tukang sate yang gigih salat malam dan berjualan hingga memiliki lima rumah kontrakan dan sudah berkali-kali naik haji. Dari warung Engkong pula saya mendapatkan kisah hidup seorang penarik Bajaj yang sudah sebatang kara, gigih mencari penumpang untuk mendapatkan rupiah demi memenuhi hajatnya mempercantik nisan dan kuburan istrinya di Tegal, Jawa Tengah, yang terlebih dahulu mendahuluinya.

Sejak kantor pindah dan tutup pada 2014 lalu, saya sudah jarang nongkrong di warung Engkong. Suatu waktu, Jumat, 5 Agustus 2017, saya menyempatkan waktu minum kopi di warung Engkong. Ada yang berubah dari warung Engkong. Warung yang dulunya dilengkapi tenda biru sebagai peneduh dan meja kecil panjang tempat pembeli meletakkan mangkok mi saat bersantap makanan, kini sudah tak ada lagi. 

Lemari kayu kaca tempat menyimpan rokok dan barang dagangan lainnya sudah berganti lemari aluminium kaca. Bila dulu Engkong berjualan mengandalkan tenda, meja, dan lemari kayu kaca, kini berubah hanya lemari aluminium kaca dan empat buah kursi plastik plus dua buah kotak plastik es atau cool box yang biasa digunakan pedagang menyimpan minuman dingin. 

Seketika saya penasaran. Saya pun bertanya kepada Engkong ke mana perginya alat-alat jualan yang belasan tahun ini diandalkannya berjualan di sebagian lahan trotoar Jalan Johar. “Kemarin kena razia Satpol PP Pak, petugas dari kecamatan,” keluh Engkong. Saya pun mencoba memberi saran untuk menebus barang-barang dagangan yang dirazia itu ke kantor kecamatan. Namun, Engkong menolak karena sudah tiga kali kena razia. Ia lebih memilih untuk mengikhlaskannya. “Biarlah Pak. Kalau dihitung-hitung saya sudah rugi Rp5 juta lebih Pak karena razia ini,” keluh Engkong kembali.

Saat bercerita tentang warungnya yang dirazia, Engkong memang tampak sedikit kesal dan marah, meski saya tetap berusaha untuk menenangkannya.

Setelah dirazia, Engkong memilih untuk membeli sebuah lemari aluminium kaca berukuran 1X1 meter seharga Rp2 jutaan sebagai gantinya. Ya, sudah hampir 56 tahun ini ia berjualan kaki lima di sepanjang Jalan Johar Menteng dan tampaknya semangatnya untuk bekerja tak akan pernah surut meski terkena razia. Kini, Engkong berjualan kaki lima di bawah teriknya panas matahari tanpa tenda.

Sebagai jurnalis yang biasa meliput di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), saya pun mencoba berpikir liar soal wacana pertumbuhan ekonomi dan inovasi pemerintahan daerah. Pemerintah, baik pusat mau pun daerah, kini tengah gencar-gencarnya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah daerah (pemda) pun didorong untuk melahirkan gagasan-gagasan dan program inovatif guna mendukung pertumbuhan ekonomi di daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun