[caption caption="Gedung depan Kementerian Dalam Negeri Jakarta"][/caption]Siapa yang tak tahu Mas Tjahjo? Ya…, sejak ia diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo, nama Mas Tjahjo selalu santer terdengar di media televisi dan media elektronik, bahkan sering menghiasi halaman surat kabar.
Saya pribadi, mungkin dapat dikatakan baru mengenal sosok Tjahjo Kumolo yang akrab disapa Mas Tjahjo. Tepatnya, saat ia pertama kali bertandang ke kantor barunya di Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta, 27 Oktober 2014 silam, memberikan arahan untuk pertama kalinya sebagai Menteri kepada para bawahannya di Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri. Saat itu, saya bertugas meliput acara yang bersejarah tersebut sebagai wartawan di media online zonalima.com, yang memang tak sepopuler detik.com, kompas.com, atau kelompok Jawa Pos Grup, JPNN.com.
Awalnya, jujur saya sempat beranggapan bahwa Mas Tjahjo adalah sosok pemimpin yang protokoleristik dan harus selalu dilayani. Maklum, ia adalah politisi dan mantan elite partai yang kini jadi penguasa, mantan Sekretaris Jenderal, mantan tangan kanannya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ibarat seorang bos yang harus selalu dilayani oleh para bawahannya.
Namun, penilaian sekilas itu terbantahkan ketika ia mengatakan, “Panggil saya Mas Tjahjo saja.” Sebuah ungkapan yang sebagai orang awam saya membacanya bahwa Tjahjo ingin selalu dekat dengan siapa saja, tak hanya dengan para bawahannya, namun juga dengan rakyat. Mas Tjahjo sangat paham bahwa kini ia memimpin Kemendagri, sebuah institusi yang memang memiliki fatsun memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada rakyat, membawa pesan suci pemerintahan bahwa aparatur adalah pelayanan masyarakat dan harus selalu dekat dengan rakyat.
“Kemendagri adalah porosnya pemerintahan,” pesan itu lah yang selalu didengung-dengungkan Mas Tjahjo dengan harapan kelak ia dapat menata seluruh institusi pemerintah daerah agar memberikan pelayanan yang terbaik, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan selalu dekat dengan rakyat.
Ungkapan kedua yang amat berbekas di hati saya saat pertemuan awal itu adalah ketika Mas Tjahjo mengatakan bahwa ia tak ingin dikawal ajudan hingga mobil pengawal, voorijder, dengan suara sirinenya yang terkadang cukup mengejutkan dan memekakkan telinga para pengendara yang apes berpapasan di jalan raya.
Sekali lagi, itu adalah sebuah pesan yang hendak disampaikan Tjahjo bahwa ia ingin selalu dekat rakyat dan tak mau merepotkan, apalagi menambah beban masyarakat. Meski, ia berhak melakukannya sebagai orang dekatnya Kepala Negara.
Namun, akhir-akhir ini, tampaknya sikap, gaya kepemimpinan, dan kerendahhatian Mas Tjahjo kepada masyarakat tampak mulai pudar di benak saya ketika membaca tulisan, “Jaket Dilepas”. Ya…, tulisan itu kini selalu terpampang di depan pintu gerbang Kemendagri, mulai pagi hingga sore. Saya lantas berpikir, “Wah…, jangan-jangan Mas Tjahjo hendak mengusir masyarakat yang bertamu ke kementeriannya secara halus.”
Lihat saja, para pengendara sepeda motor yang sudah berpeluh keringat di jalanan ibu kota, stress menghadapi macetnya jalanan, dan harus memakai dua bahkan tiga lipat baju dan jaket guna mengamankan badan dari polusi debu jalanan ibu kota, dan semuanya harus dibuka sesaat sebelum masuk ke kantornya Mas Tjahjo. Tentu itu kegiatan yang cukup merepotkan.
Pikiran buruk saya pun semakin menguat ketika kebijakan Menteri Tjahjo itu hanya ditujukan kepada pengendara sepeda motor semata. Kalau tak patuh, ya petugas pengamanan dalam (Pamdal) Kemendagri siap menindaknya. Sementara, pengendara mobil roda empat, masih bebas masuk ke area Kemendagri tanpa pengecekan apa pun, bahkan boleh nggak buka kaca. Apalagi bila itu mobil pejabat Kemendagri atau pejabat pemerintahan lainnya, Pamdal Kemendagri pun siap memberikan hormat, tangan diangkat, secara cuma-cuma. Sementara, para pengendara sepeda motor, ya tetap harus melepas jaket jika tetap mau masuk ke kantor Mas Tjahjo, bila tidak harus siap ditindak.
Saya pun berpikir, memang apes nasib rakyat sebagai pengendara motor yang kebetulan memang sedang berencana ingin datang ke Kemendagri. Tak terkecuali, saya dan kawan-kawan wartawan lainnya yang setiap harinya harus datang ke Kemendagri untuk menjalankan tugas meliput, harus siap menanggung apes. Kecuali suatu hari sudah bernasib baik dan kutukan itu berubah, berlenggang kangkung memasuki area Kemendagri karena sudah menumpangi Avanza, Ayla, Agya, Xenia, atau KIA.
Pengalaman sedih dengan Pamdal Kemendagri ternyata bukan hanya saya saja yang merasakan. Teman-teman wartawan lain yang seprofesi pun mengeluhkan kebijakan Mas Tjahjo dan Pamdal-nya yang cukup galak itu. Ketika mendengar saya sedang menyusun tulisan ini, wartawati dari Republika pun turut bercerita ketika saat itu ia pernah diminta melepas baju Cardigan yang sedang dipakainya ketika hendak masuk ke Kemendagri.
Sekilas memang Cardigan mirip jaket, tapi ia bukan lah jaket. Bagi wartawati berjilbab di Kemendagri, sesekali memang memakai Cardigan ketika meliput. Sepintas, saya pun berkhayal, “Bagaimana jadinya ya bila Jilbabers melepas Cardigan dan hanya memakai kaos lengan pendek saja? Nggak lucu kali ya....”
Sebagai seorang juru warta, saya pun sempat tertarik untuk menelisik lebih jauh soal adanya kebijakan melepas jaket bagi pengendara motor yang hendak masuk dan bertamu ke kementerian Mas Tjahjo. Kabar burung yang beredar menyebut kebijakan itu mulai ada sejak meletusnya peristiwa Bom Sarinah Jakarta, awal 2016. Guna mengantisipasi penyusup dan pelaku teror di Kemendagri, kebijakan itu pun dilakukan.
Soal antisipasi teror ini, terus terang saya sependapat. Gedung pemerintahan memang harus diselamatkan dari berbagai aksi teror dan pengrusakan. Namun, pendapat itu akhir-akhir ini mulai terbantahkan, ketika upaya cegah dini dan deteksi dini melalui kebijakan melepas jaket hanya berlaku bagi pengendara sepeda motor, sementara pengendara mobil bebas berlenggang kangkung masuk ke area Kemendagri tanpa pemeriksaan.
Informasi lain pun terdengar, kabarnya kebijakan melepas jaket itu muncul setelah adanya pergantian pucuk pimpinan di Pamdal Kemendagri yang kini dikomandani seorang marinir. Ah…, soal ini saya nggak mau ambil pusing. Bagi saya, tetap saja nggak nyambung antara sikap, gaya kepemimpinan Mas Tjahjo yang selalu ingin dekat dengan rakyat dan wartawan dengan Pamdalnya yang selalu ‘menindas’ para tamu pesepeda motor, bahkan pejalan kaki sekali pun yang sedang berhajat ke Kemendagri.
Kebijakan yang tak adil karena adanya perbedaan antara pesepeda motor dengan pengendara mobil. Nggak subtantif, karena kebijakan melepas jaket itu hingga kini tidak ada argumentasi yang tepat dan mendasar yang bisa meyakinkan saya sebagai wong cilik, dan bukan pejabat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H