Namun karena arus urbanisasi yang semakin kencang membuat lahan-lahan pertanian, terutama yang berlokasi di pinggir area perkotaan, dipandang tidak lagi memiliki “value” sebagai lahan pertanian. Lahan-lahan tersebut dipandang memiliki potensi untuk dikembangkan, entah sebagai perumahan ataupun area komersial, sehingga lahan tersebut memiliki value sebagai lahan pertanian melainkan value sebagai lahan yang potensial untuk berkembang.
Naiknya value lahan ini ditandai dengan naiknya harga tanah, yang mencerminkan willingness to pay dari pembeli (potensial) terhadap value yang dimiliki oleh sebuah lahan. Nah berhubung kenaikan value dari lahan ini terjadi begitu saja dan sering terjadi tanpa adanya investasi ataupun usaha dari pemiliknya, maka kenaikan value itu tidak seharusnya menjadi hak si pemilik lahan ataupun pengembang. Kenaikan value itu harus diambil kembali (atau dalam bahasa Inggris istilahnya “should be captured back”) oleh publik untuk kemanfaatan seluruh masyarakat, seperti yang ditulis oleh Fainstein (2012).
Soal CSR sebenarnya negeri ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas. Undang-undang perseroan terbatas mensyaratkan perusahaan untuk menyisihkan 10% dari labanya untuk digunakan bagi aktivitas CSR. Lain halnya dengan kontribusi pengembang, atau bentuk-bentuk lain dari land value capture ini. Bisa dibilang land value capture ini masih under-utilized di Indonesia. Pun Pajak Bumi dan Bangunan yang juga merupakan salah satu bentuk dari land value capture belum dimanfaatkan secara optimal.
Pada saat negeri ini memasuki era desentralisasi, pemerintah kota dan daerah dituntut untuk lebih kreatif dalam mencari sumber-sumber pendanaan sehingga ke depannya tidak lagi bergantung pada inter-governmental transfer, yang dalam konteks Indonesia hadir dalam wujud DAU dan DAK. Land value capture ini dipandang sebagai kebijakan yang potensial untuk diterapkan untuk meng-generate income bagi pemerintah kota dan daerah. Kontribusi kebijakan land value capture ini terhadap kebutuhan pendanaan pemerintah daerah cukup signifikan apabila melihat pengalaman di Negara-negara lain.
Contoh Negara yang menerapkan kebijakan kontribusi pengembang adalah Brazil, dengan Sao Paulo sebagai pionirnya. Bagi penggemar sepakbola nama kota ini tentu tidak asing lagi. Tidak hanya melahirkan pemain sepakbola berbakat, kota ini juga melahirkan sebuah kebijakan yang kemudian banyak ditiru oleh kota-kota lainnya di seantero Brazil. Nama kebijakan yang diluncurkan oleh kota ini adalah CEPACS. Istilah ini merupakan singkatan dari bahasa Portugis, yang artinya kurang lebih “sertifikat untuk melakukan pembangunan melebihi ketentuan maksimum yang ditetapkan oleh pemerintah kota”. Mekanisme kerja dari CEPACS ini adalah pemerintah menetapkan area-area sebagai Urban Operation (UO) dengan membatasi ketinggian bangunan di area tersebut.
Bila pengembang ingin membangun melewati batas ketinggian bangunan di area tersebut, pengembang harus mendapatkan CEPACS tersebut dan menyertakannya saat mengurus perijinan kepada pemerintah kota. CEPACS tersebut diperjual belikan dan pendapatan dari penjualan CEPACS ini masuk ke pemerintah kota. Nah, pemerintah kota menggunakan hasil penjualan CEPACS ini untuk melakukan program perbaikan rumah-rumah kumuh di area yang disebut sebagai “ZEISS” alias Zone of Economic and Social Spatial Interest.
ZEISS ini merupakan area-area kumuh yang terletak di tengah kota. Perbaikan permukiman dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang ada di area ini tetap mendapatkan akses pekerjaan di area perkotaan. Berbeda pada umumnya kebijakan perbaikan rumah kumuh yang memindahkan penghuninya ke pinggiran kota, melalui penetapan ZEISS ini warga miskin perkotaan tidak terputus aksesnya dari aktivitas ekonomi di perkotaan.
Dalam penerapan CEPACS ini pernah ada pula pengembang yang nakal. Dalam kasus West Plaza misalnya, seorang pengembang ingin membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua bangunan mall yang dipisahkan oleh sebuah jalan milik publik. Jembatan tersebut oleh si pengembang disebut dibangun sebagai syarat untuk menyediakan jalur evakuasi bila terjadi kebakaran di gedung tersebut, meskipun kenyataannya jembatan tersebut memiliki nilai ekonomis karena akan menghubungkan dua bangunan mall yang besar tersebut dan si pengembang juga berencana menyewakan petak-petak di jembatan tersebut kepada pengembang.
Hal ini terendus oleh pemerintah kota, yang akhirnya bernegosiasi dengan si pengembang untuk meminta kontribusi pengembang dalam jumlah yang besar. Pada akhirnya si pengembang bersedia membayar kontribusi pengembang tersebut dan pemerintah kota mengalokasikannya untuk memperbaiki permukiman kumuh di area ZEISS.
Mengenai soal legal atau illegal, itu semua akan kembali ke persoalan ada atau tidak adanya dasar hukum dalam membuat kebijakan. Ini adalah persoalan klasik, karena sudah jamak bila peraturan ataupun hukum dibuat mengikuti perkembangan jaman. Soal legalitas tindakan Ahok ini akan menimbulkan debat yang berkepanjangan antar ahli hukum. Secara etika tidak ada yang salah dari tindakan Ahok yang mendanai pembangunan kota Jakarta dengan dana CSR dan kontribusi pengembang, dan bahkan kekuatan sumber dana tersebut dalam mendanai pembangunan sudah banyak mendapatkan tempat di berbagai Negara.