Bukan Ahok rasanya kalau tidak bikin heboh. Sejak dulu Gubernur DKI yang satu ini memang kerap bikin heboh di media massa, terkait kebijakannya maupun terkait karakter personalnya. Orang yang satu ini memang unik, lain daripada yang lain. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, dan cenderung meledak-ledak terkadang dianggap menyalahi etika komunikasi publik.
Tidak sekali dua kali telinga orang dibikinnya memerah karena ucapannya yang tanpa tedeng aling-aling. Begitu pula ketika membicarakan sepak terjangnya di pemerintahan. Kebijakannya banyak membuat orang kebakaran jenggot. Sampai satu titik apa yang ia kerjakan disejajarkan dengan mantan presiden Soeharto karena keberaniannya menggusur warga yang dianggap menghambat tercapainya “public interest”, dalam hal penanganan banjir dan penataan pemukiman.
Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi, semakin keras dan semakin kencang angina menerpa, dan begitulah kira-kira yang saat ini dihadapi oleh seorang Ahok. Setelah pembicaraan mengenai RS Sumber Waras mulai “fade out”, kini perbincangan baru mencuat di media. Kali ini soal kontribusi pengembang pada proyek reklamasi pantai utara Jakarta.
Saat DPRD DKI sedang membahas dasar hukum untuk mengenakan kontribusi pengembang pada pengembang yang melakukan pengembangan di area proyek reklamasi pantai utara Jakarta, kasus korupsi mencuat yang melibatkan Ketua DPRD DKI. Lalu kasus tersebut menggelinding ibarat bola salju, dan kini nama Ahok terseret. Pertama soal legalitas pungutan kontribusi pengembang tersebut, kedua soal dugaan kepentingan pribadi, atau dengan kata lain korupsi, atas penggunaan dana kontribusi pengembang tersebut dan kemudian menyangkut juga penggunaan dana CSR yang disebut-sebut sebagai sumber pendanaan besar bagi program-program pemerintahan di DKI Jakarta.
Berhubung kebetulan saya belajar dua-duanya, tiga tahun yang lalu saya sempat mengambil program studi CSR di dalam negeri dan saat ini sedang mengambil konsentrasi Urban Management and Development di negeri orang, saya tergelitik untuk memberi kontribusi pada debat yang terjadi. Saya tidak hendak memberikan judgement terhadap apa yang dilakukan Ahok, karena untuk soal itu orang yang punya background hukum punya wawasan yang lebih baik dibandingkan saya. Maksud dari tulisan ini hanya memberikan sumbangan perspektif dalam melihat kejadian yang akhir-akhir ini marak jadi perbincangan sehingga persoalan ini dapat dilihat secara lebih jernih, menuju ke inti persoalannya, dan tidak lagi mengkait-kaitkannya dengan isu-isu yang tidak substansial, seperti isu SARA.
Dua hal ini, CSR dan kontribusi pengembang, adalah dua hal yang berbeda meskipun menjawab persoalan yang sama. Dunia saat ini sedang dipusingkan oleh sebuah persoalan yang baru. Jika dulu persoalannya adalah bagaimana caranya memenuhi kebutuhan secara efektif dan efisien, persoalan yang kini muncul adalah terkait social equity, keadilan sosial.
Kesenjangan menjadi masalah besar yang dihadapi dunia saat ini. Kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia ditambah krisis pengungsi yang sempat melanda Eropa dituding sebagai akibat dari kesenjangan sosial yang terjadi. Di satu sisi sekelompok orang menimbun pundi-pundi kekayaan dengan melakukan eksploitasi kepada alam dan sumber daya manusia yang ada, di sisi lain sebagian besar orang dipaksa hidup dalam penuh keterbatasan.
Dasar filosofis dari Corporate Social Responsibility (CSR) adalah etika bisnis perusahaan dan sustainability. Seperti kita tahu bersama, ada tiga pilar utama sustainability yang sering disebut sebagai triple bottom line atau dalam bahasa yang lebih popular adalah triple “P”, yang mencakup Planet, People, Profit. Pada intinya adalah dalam menjalankan usahanya, sebuah perusahaan musti menggeser paradigma, dari semata-mata mengejar single bottom line, berupa economic profit dari sebuah perusahaan, menuju ke triple bottom line, dengan mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Cara itu dianggap mampu membuat sebuah bisnis mampu mempertahankan keberlanjutannya. Seperti yang diungkapkan oleh Elkington (2010) dalam buku Cannibal with Forks-nya, tuntutan dunia belakangan ini membuat perusahaan yang mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam usahanya akan menjadi lebih “survive” dalam menghadapi persaingan usaha.
Triple bottom line (sumber: www.ridg.com)
Di sisi lain, meskipun meng-address isu sosial yang sama, kontribusi pengembang punya dasar filosofis yang berbeda. Istilah kontribusi pengembang ini sebenarnya jamak dipakai di Negara-negara yang relative lebih maju. Kontribusi pengembang ini sebenarnya adalah nama lain dari “developer exactions” meskipun dalam prakteknya dalam kasus reklamasi pantai utara istilah ini lebih dekat dengan terminology “sale of development right” yang sukses diterapkan oleh beberapa pemerintah kota di Brazil.
Developer exactions dan sale of development right merupakan bentuk dari Land Value Capture. Dasar filosofis dari Land Value Capture lahir dari pemikiran Henry George yang memandang bahwa kenaikan nilai sebuah lahan lebih sering terjadi tanpa adanya usaha dari pengembang ataupun pemiliknya. Kenaikan nilai lahan yang terjadi lebih banyak dihasilkan oleh konstruksi sosial dalam memandang nilai (value) dari sebuah lahan. Contoh gampangnya adalah pada kasus konversi lahan-lahan pertanian. Pada mulanya dulu lahan tersebut memiliki “value” untuk aktivitas pertanian, sehingga tanah yang subur memiliki value yang lebih tinggi dibandingkan tanah yang tidak subur.
Namun karena arus urbanisasi yang semakin kencang membuat lahan-lahan pertanian, terutama yang berlokasi di pinggir area perkotaan, dipandang tidak lagi memiliki “value” sebagai lahan pertanian. Lahan-lahan tersebut dipandang memiliki potensi untuk dikembangkan, entah sebagai perumahan ataupun area komersial, sehingga lahan tersebut memiliki value sebagai lahan pertanian melainkan value sebagai lahan yang potensial untuk berkembang.
Naiknya value lahan ini ditandai dengan naiknya harga tanah, yang mencerminkan willingness to pay dari pembeli (potensial) terhadap value yang dimiliki oleh sebuah lahan. Nah berhubung kenaikan value dari lahan ini terjadi begitu saja dan sering terjadi tanpa adanya investasi ataupun usaha dari pemiliknya, maka kenaikan value itu tidak seharusnya menjadi hak si pemilik lahan ataupun pengembang. Kenaikan value itu harus diambil kembali (atau dalam bahasa Inggris istilahnya “should be captured back”) oleh publik untuk kemanfaatan seluruh masyarakat, seperti yang ditulis oleh Fainstein (2012).
Soal CSR sebenarnya negeri ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas. Undang-undang perseroan terbatas mensyaratkan perusahaan untuk menyisihkan 10% dari labanya untuk digunakan bagi aktivitas CSR. Lain halnya dengan kontribusi pengembang, atau bentuk-bentuk lain dari land value capture ini. Bisa dibilang land value capture ini masih under-utilized di Indonesia. Pun Pajak Bumi dan Bangunan yang juga merupakan salah satu bentuk dari land value capture belum dimanfaatkan secara optimal.
Pada saat negeri ini memasuki era desentralisasi, pemerintah kota dan daerah dituntut untuk lebih kreatif dalam mencari sumber-sumber pendanaan sehingga ke depannya tidak lagi bergantung pada inter-governmental transfer, yang dalam konteks Indonesia hadir dalam wujud DAU dan DAK. Land value capture ini dipandang sebagai kebijakan yang potensial untuk diterapkan untuk meng-generate income bagi pemerintah kota dan daerah. Kontribusi kebijakan land value capture ini terhadap kebutuhan pendanaan pemerintah daerah cukup signifikan apabila melihat pengalaman di Negara-negara lain.
Contoh Negara yang menerapkan kebijakan kontribusi pengembang adalah Brazil, dengan Sao Paulo sebagai pionirnya. Bagi penggemar sepakbola nama kota ini tentu tidak asing lagi. Tidak hanya melahirkan pemain sepakbola berbakat, kota ini juga melahirkan sebuah kebijakan yang kemudian banyak ditiru oleh kota-kota lainnya di seantero Brazil. Nama kebijakan yang diluncurkan oleh kota ini adalah CEPACS. Istilah ini merupakan singkatan dari bahasa Portugis, yang artinya kurang lebih “sertifikat untuk melakukan pembangunan melebihi ketentuan maksimum yang ditetapkan oleh pemerintah kota”. Mekanisme kerja dari CEPACS ini adalah pemerintah menetapkan area-area sebagai Urban Operation (UO) dengan membatasi ketinggian bangunan di area tersebut.
Bila pengembang ingin membangun melewati batas ketinggian bangunan di area tersebut, pengembang harus mendapatkan CEPACS tersebut dan menyertakannya saat mengurus perijinan kepada pemerintah kota. CEPACS tersebut diperjual belikan dan pendapatan dari penjualan CEPACS ini masuk ke pemerintah kota. Nah, pemerintah kota menggunakan hasil penjualan CEPACS ini untuk melakukan program perbaikan rumah-rumah kumuh di area yang disebut sebagai “ZEISS” alias Zone of Economic and Social Spatial Interest.
ZEISS ini merupakan area-area kumuh yang terletak di tengah kota. Perbaikan permukiman dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang ada di area ini tetap mendapatkan akses pekerjaan di area perkotaan. Berbeda pada umumnya kebijakan perbaikan rumah kumuh yang memindahkan penghuninya ke pinggiran kota, melalui penetapan ZEISS ini warga miskin perkotaan tidak terputus aksesnya dari aktivitas ekonomi di perkotaan.
Dalam penerapan CEPACS ini pernah ada pula pengembang yang nakal. Dalam kasus West Plaza misalnya, seorang pengembang ingin membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua bangunan mall yang dipisahkan oleh sebuah jalan milik publik. Jembatan tersebut oleh si pengembang disebut dibangun sebagai syarat untuk menyediakan jalur evakuasi bila terjadi kebakaran di gedung tersebut, meskipun kenyataannya jembatan tersebut memiliki nilai ekonomis karena akan menghubungkan dua bangunan mall yang besar tersebut dan si pengembang juga berencana menyewakan petak-petak di jembatan tersebut kepada pengembang.
Hal ini terendus oleh pemerintah kota, yang akhirnya bernegosiasi dengan si pengembang untuk meminta kontribusi pengembang dalam jumlah yang besar. Pada akhirnya si pengembang bersedia membayar kontribusi pengembang tersebut dan pemerintah kota mengalokasikannya untuk memperbaiki permukiman kumuh di area ZEISS.
Mengenai soal legal atau illegal, itu semua akan kembali ke persoalan ada atau tidak adanya dasar hukum dalam membuat kebijakan. Ini adalah persoalan klasik, karena sudah jamak bila peraturan ataupun hukum dibuat mengikuti perkembangan jaman. Soal legalitas tindakan Ahok ini akan menimbulkan debat yang berkepanjangan antar ahli hukum. Secara etika tidak ada yang salah dari tindakan Ahok yang mendanai pembangunan kota Jakarta dengan dana CSR dan kontribusi pengembang, dan bahkan kekuatan sumber dana tersebut dalam mendanai pembangunan sudah banyak mendapatkan tempat di berbagai Negara.
Lalu persoalan kedua menyangkut apakah dana-dana tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau adakah keuntungan pribadi yang diambil Ahok dari kedua sumber dana tersebut. Untuk yang satu ini kiranya saya pribadi percaya bahwa Ahok adalah pemimpin yang menjunjung tinggi kepentingan publik. Asalkan bisa dibuktikan bahwa tidak ada sedikitpun Ahok mengambil keuntungan dari kedua bentuk pembiayaan ini, rasa-rasanya isu kencang soal kontribusi pengembang (dan pemanfaatan dana CSR) ini akan pelan-pelan fade-out juga seperti tuduhan-tuduhan sebelum-sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H