[caption caption="Jokowi dan Ahok (Sumber: Liputan6.com)"][/caption]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) langsung turun ke lokasi bom Sarinah. Tindakannya hanya beberapa jam pasca kejadian yang menewaskan tujuh orang tersebut.
Reaksi publik sangat beragam. Namun, ketimbang yang nyinyir dan menganggap hal itu hanya pencitraan, lebih banyak rakyat yang memuji kedua pemimpin tersebut. Publik menganggap Jokowi dan Ahok tidak takut mendatangi tempat yang masih hangat dengan darah korban.
Hal yang tidak dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumnya, yang di mata publik kerap telat mengunjungi lokasi bencana atau "menghilang" ketika ibukota dikepung banjir yang berdampak terhadap kemacetan parah di berbagai wilayah.
Saya tidak bermaksud memuji Jokowi atau Ahok dalam bekerja untuk rakyat. Yang saya ingin garisbawahi bahwa mereka adalah aktor perubahan yang mendobrak pola kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan "turun ke jalan" itu sebenarnya sudah usang. Banyak pemimpin di negara lain yang melakukannya ratusan tahun lalu. Tetapi, karena jarang dirasakan oleh masyarakat Indonesia, makanya kita merasa seperti membawa angin segar perubahan.
Pemimpin yang membawa perubahan ke arah lebih baik pasti akan menghadapi benturan kekuatan kelompok yang telah lama berada di zona nyaman. Ibarat orang yang sedang merenovasi rumah, selalu saja ada yang kelilipan di mata.
Indonesia membutuhkan pemimpin dengan visi jauh kedepan yang mempunyai integritas dan kredibilitas serta mengutamakan kepentingan orang banyak daripada kepentingan kelompok dan perseorangan.
Orang-orang yang seperti ini selalu didukung rakyat, pemimpin yang punya gaya transformational leadership, karena dianggap paling sesuai untuk mencapai perubahan ideal sesuai tujuan dari berbangsa dan bernegara yaitu untuk mensejahterakan rakyat.
Apapun definisi dari kepemimpinan transformasional, intinya adalah sebuah praktek yang dilakukan pemimpin dalam mempengaruhi dan menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Tentu saja, bentuknya ke arah visi yang ideal menurut rakyat.
Sangat mudah untuk memetakan seorang tokoh yang dianggap ideal sebagai pemimpin. Dia punya visi yang jelas, mampu berkomunikasi dengan pengikutnya, memberdayakan serta dapat menyelami persoalan yang aktual di sekitarnya.
Masyarakat juga sudah cerdas dan mampu menilai mana tokoh yang mau menyingsingkan lengan baju dan mana orang yang selalu memandang masalah dari helicopter view.
Memang, jika ada seorang direktur yang doyan turun kebawah mengatasi problem terkesan tidak percaya kepada manajer-manajer menengah. Faktanya, ada masalah-masalah riil di masyarakat yang kerap terdistorsi saat sampai di meja sang pengambil keputusan.
Kita tidak perlu alergi terhadap perubahan. Setiap individu punya keahlian sebagai agent of change. Sejak lahir hingga dewasa, setiap orang mengalami perubahan dalam hidupnya. Dulu menganggur, misalnya, sekarang bekerja di perusahaan swasta. Dulu bujangan, sekarang sudah berkeluarga.
Ini berarti setiap manusia secara tak sadar telah menjadi agen perubahan sepanjang rentang kehidupannya, dengan kata lain tanpa disadari sudah kompeten mengalami dinamika hidup yang penuh tantangan dan terus berubah. Hanya saja kita belum berkesempatan secara sadar duduk merenung untuk memahami rumus dalam perubahan tersebut yakni memiliki tujuan yang jelas, ada proses dan waktu, serta perilaku dan mindset yang baru yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan baru.
Itulah arti kongkrit dari revolusi mental yang sebenarnya harus ada; mindset dan perilaku baru yang sesuai untuk mencapai tujuan baru. Sama seperti masa anak dan masa dewasa, yang merupakan dua kondisi yang berbeda dan pastinya memiliki perilaku berbeda pula.
Pakar manajemen dari Harvard, John P. Kotter mengidentifikasi delapan langkah yang dilakukan agent of change dalam melakukan perubahan. Pertama, membangun keinginan perubahan dalam diri orang lain. Kedua, membentuk kelompok yang mendorong orang lain untuk berubah.
Ketiga, memiliki visi yang dapat memandu orang lain untuk melakukan perubahan. Keempat, mengkomunikasikan visi tersebut berulang kali supaya tertanam di benak setiap orang. Kelima, menghilangkan sistem usang yang menghambat tujuan.
Keenam, merayakan setiap perubahan sekecil apapun. Selanjutnya, mengkonsolidasikan perbaikan dan menghasilkan lebih banyak perubahan. Terakhir, melembagakan pendekatan baru serta menjadikannya bagian dari budaya dan rutinitas.
Nah, biasanya yang menawarkan ide cemerlang untuk melakukan perubahan sosial datangnya dari kawula muda. Pembaru muda ini bersemangat mewujudkan gagasan inovatif dan kreatif yang membedakan dirinya dengan orang-orang tua yang sudah berada di zona nyaman.
Wajar saja jika Ahok banyak melantik anak-anak muda seperti Debby Novita Andriani (26), Lurah Tanjung Barat, Jakarta Selatan, atau Ari Kurnia (31), Lurah Jatipulo, Jakarta Barat. Mereka mungkin dipandang sebelah mata dari sisi pengalaman birokrasi, tapi yang pasti keduanya boleh jadi punya keberanian melakukan perbaikan dan menjadi agen perubahan di dunia birokrasi. (*)
Â
Artikel ini juga dapat dibaca di www.outbounducation.com
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H