Sembari menunggu dipanggil, aku duduk di ruang itu. Merapalkan doa demi menghilangkan ketakutanku. Takut jika ada berkas yang kurang. Walau kutahu, sebenarnya sudah memenuhi persyaratan. Tapi tak bisa dimungkiri, jantungku tetap saja berdegup kencang. Cemas.
"Hesti Olivia." Namaku dipanggil.
Sejenak kuhirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kemudian menghampiri arah suara.
"Hesti Olivia, ya?"
"Iya, Bu." Aku mengangguk.
"Oh, begini, Hes. Nilai raport-mu lulus. Hesti mau ambil jurusan apa?"
"IPA, Bu," jawabku to the point.
"Oke. Kalau Hesti ambil jurusan IPS, Hesti lewat jalur tanpa tes. Kalau IPA, harus ikut tes tertulis."
Kutatap matanya sejenak setelah tadi fokus pada kertas yang diperlihatkan.
"Iya, Bu. Tidak apa-apa. Saya ambil IPA," jawabku mantap.
Aku ingat pesan Mama sebelum pergi ke tempat ini. Katanya: "Sekolah jauh-jauh kalau mau ambil jurusan IPS, mending sekolah di sini aja. Ada yang dekat, gak perlu jauh-jauh."
Ya, Mama berharap aku sekolah SMA dari jurusan IPA, karena beliau sudah dari jurusan IPS. Aku anak tunggal, sedangkan Papa tidak mengenyam pendidikan SMA. Hanya sampai SMP saja. Maka dari itu, Mama sangat berharap aku yang mewakilinya.
Dulu, Mama ingin mengambil jurusan IPA, tetapi tidak lulus saat pemilihan jurusan. Alhasil, mau tak mau harus jurusan IPS.
Mama juga berharap akulah yang akan melanjutkan mimpinya yang tak sampai. Menjadi seorang dokter. Tapi, aku tak ingin jadi dokter. Sejauh ini, mimpiku masih mengambang. Gambaran masa depanku pun semu.
Kebetulan, aku juga menginginkan jurusan IPA. Jadi, kuturuti kemauan Mama. Dan itu tandanya, aku harus melewati satu rintangan lagi. Tes seleksi dengan sistem tertulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H