Mohon tunggu...
Yulyani Dewi
Yulyani Dewi Mohon Tunggu... -

just ordinary woman, but love art and writing very much. And crazy writer, everyday full of inspiration for me...this is my full note at FB Yulyani Dewi Satu Full ^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

DAYA JUANG PART IV

25 Januari 2014   22:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Artikel : Pendidikan
By. Iwed, 25 Januari 2014

" Tidak ada satupun ibu yang mampu melihat anak-anak mereka menderita.
Dan dari jutaan ibu, banyak yang sampai saat ini berjuang untuk perbaikan kehidupan bagi anak-anak mereka, dengan segala cara salah satunya adalah mencarikan tempat yang tepat bagi anak-anak mereka untuk bisa mengenyam pendidikan yang layak dan manusiawi ".

Terinspirasi sebuah film yang baru saya tonton berjudul "Won't Back Down" yang di buat 2012 lalu.

Kisah ini diawali dari kehidupan 2 perempuan yang berbeda latar belakang dan karakter dan tinggal di Amerika.

Yang pertama bernama Jamie Fitzpatrick seorang penderita disleksia yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis dengan baik.
Selalu salah menulis ejaan atau terbalik menulis angka.
Memiliki anak gadis belia yang bersekolah di "Adam's junior school".
Bukan sekolah pilihan memang karena kondisi sekolah yang memprihatinkan.
Tapi ini merupakan satu-satunya sekolah yang mampu dibayar Jamie untuk anak manis semata wayangnya mengingat kemampuan ekonominya dibawah standard atau miskin.
Jamie sangat menyayangi "Melia" buah hatinya, sebagai seorang Single Mom. Dia berusaha memberikan yang terbaik untuk puteri semata wayangnya meski ditengah keterbatasannya :) .
Siang dia bekerja di sebuah agen pemasaran sedang malamnya dia membanting tulang untuk jadi bartender di sebuah bar dekat rumahnya.

Sementara itu Nona Alberts perempuan Single Mom yang lain. Harus menghadapi kenyataan menjadi guru di sekolah "Adam's" dengan menggantungkan penghasilan dan kesejahterahannya pada "Serikat Guru".
Suatu organisasi yang mengelola jaminan kesejahterahan untuk guru-guru. Mereka memberikan jaminan gaji yang layak, fasilitas kesehatan, termasuk perlindungan atau advokasi untuk guru-guru dibawah lembaga yang mereka kelola.
Nona Alberts awalnya merasa jenuh dengan model pendidikan di "Adams" yang di nilai datar-datar saja. Dia tidak mampu memberikan nilai "pengabdian" sebagai seorang pendidik disana.

Datang ke sekolah mengajar, dan tidak peduli dengan kemampuan murid-muridnya untuk bisa mencerna pendidikan yang diberikan.

Toh dia sudah berada di "zona nyaman" seorang guru.
Memenuhi jam mengajar dan apapun yang dilakukannya, toh finansialnya tetap terjamin melalui Serikat Guru.

Lagipula sebagai "Single Mom" kehidupan keras kerap mewarnai, dan dia beranggapan harus di syukuri bisa bertahan sampai dengan sekarang untuk bisa memberikan kehidupan yang layak bagi anak semata wayangnya "Charles" yang juga bersekolah sama dengan Melia.

Sampai kemudian dia bertemu "Melia"

Melihat anak gadis ini, hati nuraninya tergugah untuk merubah mindsetnya.

Melia, gadis mungil yang manis ini sering jadi bulan-bulanan atau di bully, di sekolahnya gara-gara ketidakmampuan membacanya hingga kelas 3 SD, akibat penyakit turunan (kerusakan otak dan memori) yang diwariskan ibunya.

Gadis kecil ini sering diganggu bahkan di hukum oleh guru kelasnya gara-gara tidak mampu berkonsentrasi saat diajar didalam kelas atau menangis karena selesai "dikerjai" teman-teman kelasnya.

Padahal Melia tidaklah bodoh, hanya saja ketidakmampuannya membaca membuat julukan "si bodoh" melekat padanya.

Dan sekolah "Adam" menimbun kesalahan dengan banyak meluluskan siswa-siswa tanpa bisa membaca dan menulis.

Akibatnya banyak diantara mereka harus terpuruk dengan kehidupan jalanan atau tidak mampu "hidup dengan layak" dalam masyarakat hingga lebih banyak yang memiliki masa depan suram berakhir di penjara "Pennsylvania" ketimbang di "University of Pittsburgh".

Singkat Cerita, Ketidak mampuan Jamie untuk bisa menyekolahkan anaknya di tempat yang layak dan ketidaknyamanan Nona Alberts ditempatnya mengajar karena bertentangan dengan hati nurani dan idealismenya sebagai tenaga pengajar.

Membawanya pada untaian benang merah bagi mereka berdua.

Dengan ide gila untuk bisa "mengambil alih kepengurusan sekolah Adam"

Dengan dibekali semangat marketing Jamie yang tidak kenal padam, dan kecerdasannya membaca kebutuhan pelanggan.
Mereka pun ber "jibaku" untuk bisa mewujudkan impian mereka agar bisa memberikan "Sekolah yang layak bagi anak-anak mereka, meski dalam keterbatasan".

Pertama-tama mereka mendatangi "Dewan Sekolah" yang berjumlah 8 orang, satu persatu untuk tahu persyaratan apa yang harus dipenuhi sebagai syarat pengambil alihan kepengurusan sekolah.

Salah satunya mereka harus mengumpulkan "petisi" penolakan kepengurusan sekolah lama minimal 100 petisi dan menyetujui pengelolaan sekolah baru. Disamping itu mereka juga harus memperoleh dukungan minimal lebih dari 75 % guru yang mengajar. Dan diprediksi dewan membutuhkan waktu 3 sd 5 tahun.

Sedangkan Nona Alberts dan terutama Jimie tidak punya waktu begitu lama hanya untuk membiarkan putera dan puteri mereka lulus dari sekolah yang gagal.

Dengan konsekuensi bahwa mereka harus bisa menjamin kesejahterahan untuk para guru dengan sistem yang sama sekali baru yang akan mereka terapkan di sekolah mereka nanti.

Berbagai langkah perjuangan mereka wujudkan. Terutama Jamie, hingga harus menghadapi tekanan dari anaknya sendiri yang semakin sering di"bully" di sekolahnya karena dia makin dibenci oleh sebagian besar guru dan teman-teman sekolahnya.

Termasuk juga Nona Alberts yang dikucilkan di dalam komunitas guru dan difitnah dengan kejam karena peristiwa kecelakaan yang hampir menewaskan dia dan anaknya dalam kondisi dia mabuk.

Sehingga dinilai dia tidak akan mampu menjadi kepala sekolah di sekolah baru jika membesarkan anaknya saja Dia tidak mampu.

Namun rupanya Tuhan tidak tinggal diam berbagai ujian demi meraih impian mereka lalui dengan baik dan tabah hingga kemudian seluruh petisi dan dukungan guru dapat dikumpulkan tidak lebih dari 2 bulan.

Menjelang sidang "dewan sekolah" untuk memutuskan apakah mereka menerima pengambil alihan sekolah atau tidak. Kembali ujian datang. Dewan sekolah menolak proposal yang ditulis Jamie dengan beberapa ejaan yang salah dan nominal uang yang terbalik karena dia menderita disleksia.

Tapi lagi-lagi Jamie yang tak kenal menyerah berjuang dan ingin mengajukan pemungutan suara di dewan sekolah.

Dengan susah payah dia menjelaskan "Bahwa sebagai orang tua dia tidak mau anaknya mengalami kegagalan yang sama seperti dirinya, lulus dengan ketidakmampuan membaca, sehingga harus menghadapi kenyataan hidup yang pahit diluar, dia tidak mau sejarah suramnya berulang, jadi bahan cemoohan, miskin, dan bodoh". Akhirnya dengan kegigihan perjuangannya. Jamie mampu meluluhkan hati anggota dewan, dari hasil "voting" anggota dewan menyetujui pengambilalihan sekolah oleh mereka berdua, sambil melihat hasilnya 2 tahun lagi.

Kesempatan ini tak di sia-siakan Jamie dan Alberts mereka bahu membahu membenahi sistem pendidikan. Alhasil di akhir kelulusan Melia. Dia bisa membaca dan menulis sebuah karya sastra meski harus terbata-bata.

Nah, dari cerita diatas bisa kita lihat betapa daya juang seseorang selalu bisa mewujudkan impian. Walau dengan cara yang sulit sekalipun. Kuncinya tidak kenal menyerah, pantang surut, dan tidak boleh mengeluh.

Di Indonesia saya pikir juta'an wali murid juga kadang dihadapkan pilihan yang nyaris tanpa pilihan karena keterbatasan ekonomi mereka, sekalipun sekolah mereka memiliki kualitas pendidikan jauh lebih layak.

Banyak hal yang harus digaris bawahi pemerintah tentang pendidikan.
Sesuai dengan amanah UUD 45 bahwa negara harus bisa memberikan pendidikan yang layak bagi warga negaranya untuk kemanusiaan.

Gaji guru kini sudah semakin tinggi dan layak. Sekolah-sekolahpun mulai berbenah fasilitas. Sekarang tinggal menunggu adanya nona alberts-nona alberts di dunia pendidik di Indonesia.
Yang punya dedikasi, loyalitas, dan juga idealismenya sebagai pengajar.
Bahwa mendidik tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau untuk mendapat penghasilan saja melainkan juga untuk mendapatkan kepuasan yang tidak bisa diukur oleh harta dan benda yaitu "Kepuasan Batin" :).

Dari Jamie kita belajar daya juang bahwa tidak ada yang tidak mungkin kita bisa wujudkan asal kita mampu memperjuangkannya dengan semangat dan tak kenal menyerah.
Dan dari Alberts kita banyak belajar bagaimana sebuah profesi harusnya dijalankan dengan profesionalitas tanpa batas. :)

Selamat bersinar Indonesiaku dan selamat malam ^^.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun