Mohon tunggu...
Yulvia Alika
Yulvia Alika Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya berkuliah di universitas Andalas

saya mahasiswa semster 5 dari jurusan ilmu Politik, fakultas Ilmu sosial dan ilmu politik, universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Politik Desentralisasi dalam Membangun Pemerintahan Daerah yang Mandiri di Indonesia

29 Oktober 2021   21:48 Diperbarui: 29 Oktober 2021   21:48 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan Politik Desentralisasi dalam Membangun Pemerintahan Daerah yang Mandiri di Indonesia

Political Developments of Decentralization in Building Independent Regional Governments in Indonesia


A. Pendahuluan

Desentralisasi secara etimologi berasal dari Bahasa latin De dan Centrum, yang berartika De bemakna lepas dan centrum bermakna pusat dapat disimpulkan bahwa desentralisasi melepaskan diri dari pusat. Maksud pengertian tersebut bukan berarti daerah dapat berdiri sendiri melepasakan diri dari ikatan negara, tetapi dari dusut ketatanegaraan. Menurut Parson, desentralisasi berarti pembagian kekuasaan pemerintah dari pemerintah pusat dengan kelompok lain yang masing-masing mempunyai wewenang ke dalam satu daerah tertentu dari suatu negara. Makna harfiah dari desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat, dalam makna ketetanegaraan desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI.

Dekonsentrasi berarti penyerahan tugas administratif kepada aparat pusat di daerah, dimana kewenangan pengambilan keputusan pada dasarnya tetap dipegang pemerintah pusat, namun lokasi kantornya berada di daerah. Kebijakan otonomi daerah yang merupakan perwujudan politik desentralisasi di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 22/1999 (yang kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32/2004) merupakan salah satu landasan terpenting dalam perubahan sistem tata-kelola pemerintahan. Konsep desentralisasi yang diusung Undang Undang Otonomi Daerah dipandang lebih menjamin cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung pluralitas, transparansi, akuntabilitas, dan berbasis pada kemampuan lokal. Selain itu, konsep otonomi daerah juga merupakan pijakan dasar (platform) bagi pelaksanaan politik pembangunan yang adil dan menyejahterakan melalui pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Melalui otonomi daerah, kerusakan (dan perusakan) sumberdaya alam diharapkan dapat diminimalkan karena pergeseran domain politik-ekonomi pengelolaan sumberdaya alam ke daerah (seharusnya) akan menambah rasa tanggung jawab dan rasa memiliki entitas lokal terhadap sumberdaya alam di wilayahnya.

Desentralisasi bukan merupakan konsep yang populer pada periode awal kemerdekaan karena kepentingan pertahanan keamanan bersama serta adanya pandangan bahwa konsep desentralisasi akan dapat mengancam atau setidaknya melemahkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang Undang Nomor 1/1945 adalah peraturan perundang-undangan pertama yang dikeluarkan pada masa kemerdekaan. Pada masa awal kemerdekaan, otonomi desa hampir tidak ada. Undang Undang Darurat Nomor 1/1951 menyebutkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat dan agama ditangani oleh dua lembaga pengadilan yaitu Pengadilan Desa (Dorp Justitie) dan Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) yang kemudian menjadi pengadilan negeri. Dengan demikian otonomi desa sebagai entitas hukum adat sangat dibatasi. Hal ini dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Agung 8 Januari 1958, yang menyatakan bahwa hakim pengadilan negeri tidak terikat oleh keputusan peraturan adat desa.

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia merupakan salah satu upaya mewujudkan terciptanya poros jalannya pemerintahan dan mempercepat peningkatan kerja, pemberdayaan masyarakat, pelayanan publik dan peningkatan daya saing. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ini ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip, demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan NKRI. Hubungan pemerintah pusat dan daerah, urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan presiden. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantu.

Robert A. Simanjuntak (2001) menyatakan bahwa desentralisasi pada dasarnya dapat dibedakan pada 3 bagian besar yakni desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiscal, yang ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain dan seyogyanya dilaksanakan bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti misalnya peningkatan pelayanan publik dapat dilaksanakan. Desentralisasi biasanya menyerahkan secara sistematis dan rasional pembagian kekuasaan, kewenangan dan tanggung jawab dari pusat kepada pinggiran, dari level bawah, atau dari pemerintah pusat kepada pemerinta daerah.

Tujuan dari desentralisasi yaitu pemerintah daerah memiliki wewenang membangun dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing, daerah mampu bersaing untuk membuktikan kemampuan setiap daerah, mandiri untuk menjadi daerah yang lebih baik lagi tanpa menghilangkan keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dan daeraj juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan pemerintahan, artinya menjaga keutuhan wilayah NKRI demi mencapai tujuan negara.

Sistem desentralisasi bukanlah sebuah konsep magic yang dapat mengubah pola dan perilaku politik pemerintahan dan sosial kemasyarakatan dalam sekejap. Sebagai sebuah konsep yang bertujuan untuk mengoreksi sistem sentralisasi yang dipraktikkan selama lebih dari tigapuluh tahun pemerintahan rejim orde baru dan paruh terakhir rejim orde lama, pelaksanaan politik desentralisasi yang menjadi “ruh” otonomi daerah tidak serta merta dapat menyesuaikan diri dengan realitas sistem sosial kemasyarakatan di Indonesia. Pada kenyataannya, implementasi konsep otonomi daerah sering tidak kompatibel atau bahkan menabrak tatanan struktur politik, ekonomi, sosial, dan kultural yang hidup di tengah masyarakat. Praktik korupsi, kolusi dan nepostisme yang juga ikut “terdesentralisasi” dari pusat ke daerah adalah salah satu realitas pahit dari potret buruk pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Demikian halnya dengan kerusakan sumberdaya alam yang semakin parah adalah konsekuensi dari ideologi pengerukan keuntungan jangka pendek (short-term self interest) dari penguasa daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari setting strategi politik- ekonomi lokal untuk melanggengkan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun