Mohon tunggu...
Yulius Yartono
Yulius Yartono Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Nama:Yartono

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemenuhan Hak Anak Adat di Masa Pandemi

24 Juli 2021   12:40 Diperbarui: 24 Juli 2021   13:10 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Oleh :Yartono dan Fran Sani Lake SVD

Palangka Raya -Pada Hari Anak
Nasional 2021, Lembaga Perlindungan Tunas
Bangsa dan JPIC Kalimantan berkolaborasi
dengan menyelenggarakan webinar seri kedua  mengakat tema yang dibahas adalah Pemenuhan Hak Anak Adat di Masa Pandemi.

Hadir sebagai pembicara, Widyaprada Ahli Utama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris
Iskandar, Co-Direktur VIVAT Internasional New York Pastor Paul Rahmat, SVD, Direktur
LPTB Dr. Sitti Hikmawaty, S.ST.,M.Pd, praktisi kesehatan Dhihram Tenrisau, dan pembicara kunci Asisten Departemen Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Elvi Hendrani.

Dalam penjelasannya, Elvi mengkategorikan anak adat kedalam kelompok minoritas. Menurutnya,
masyarakat hukum adat yang jumlahnya jauh lebih sedikit dan dengan beragam masalah khusus yang dihadapi masuk dalam kelompok minoritas.

Hal itu membuat perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak adat,menurut Elvi,
perlu melalui upaya khusus dari semua pihak. "Menguatkan sistem perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban dan kelompok rentan, juga mengembangkan
sistem pemantauan dan evaluasi dalam pelaksanaannya," kata Elvi,Jumat (23/7/2021) .

Berbeda dengan Elvi, Direktur LPTB Sitti Hikmawaty mengungkapkan,anak adat
maupun masyarakat adat bukan merupakan minoritas. Sehingga pemenuhan hak haknya tidak dibedakan dengan kelompok maupun kategori lainnya.

Sitti mengungkapkan, anak adat memiliki hak penuh untuk hidup, tumbuh dan berkembang, memiliki agamanya, budaya, dan hak-ha lainnya. "Meskipun demikian,
begitu banyak tatangan yang dihadapi anak adat mulai dari diskriminasi hingga menjadikorban konflik agraria," katanya.

Semantara itu, Widyaprada Ahli Utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar
menjelaskan, pandemi membuat semua aspek menjadi sulit. Berbagai ancaman dihadapi generasi saat ini termasuk anak adat.

Istilah musibah generasi, menurut Harris, digunakan untuk menggambarkan hilangnya niat atau keinginan belajar anak karena situasi pandemi yang memaksa mereka tidak ke sekolah dan bertahan di rumah dengan belajar secara daring.

Harris menjelaskan, anak adat sudah memiliki banyak kendala mulai dari akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya di mana pemerintah sedang berupaya maksimal memenuhi itu jauh sebelum pandemi berlangsung.Setelah pandemi melanda, masalah-masalah tersebut menjadi semakin sulit.

"Ini terjadi di seluruh dunia dan kita belum memiliki pengalaman lebih dalam pembelajaran daring atau jarak jauh begini, teknologi juga jadi kendala untuk mereka," ungkap Harris.

Harris menegaskan , anak adat merupakan potensi paling kuat yang dimiliki bangsa Indonesia karena keberagaman suku bangsa juga Bahasa. Banyak negara besar,menurut Harris, memiliki teknologi dan infrastruktur yang luar biasa namun tidak bisa mengalahkan Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya, dan hal itu
tercermin dalam Bhineka Tunggal Ika.

Oleh karenanya,sekolah adat menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi musibah generasi.
Maka dari itu pemerintah berupaya penuh untuk memfasilitasi lembaga manapun untuk bisa membangun dan meyebarluaskan sekolah adat ke seluruh nusantara.

"Sambil berupaya, meski terbatasan, kami berupaya maksimal. Mari ajukan programnya untuk sekolah adat di wilayah-wilayah komunitas adat," kata Harris.

Direktur VIVAT Internasional New York Pastor Paul Rahmat, SVD, mengatakan akan merekomendasikan kepada Indonesia untuk menempuh beberapa level advokasi perlindungan Masyarakat Adat,khususnya masa depan
hak anak-anak suku di Inodnesia, entah di level nasional, regional dan international.

Pada level nasional, Paul mengusulkan agar fokus pada upaya legislasi nasional untuk pengesahan UU Masyarakat Adat mengacu pada UNDRIP (a real battleground).

 Di tingkat regional perlu memperkuat instrument HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights /AICHR) serta konsoldasi
komunitas MA di negara-negara Asia Tenggara. Dan pada level Internasional dapat
menggunakan peluang melakukan kampanye global untuk mengakhiri pekerja anak (2025) dan terus mengangkat issue-issue pekerja anak dan anak adat melalui UPR
Indonesia di tahun 2022 mendatang.(

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun