Merauke, Papua Selatan - Proyek pengembangan perkebunan tebu berskala besar yang mencakup lahan seluas 2 juta hektare di wilayah Merauke, Provinsi Papua Selatan, tengah menuai banyak perhatian dan protes dari masyarakat adat serta organisasi lingkungan. Proyek yang melibatkan kerjasama antara perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta ini dikhawatirkan akan menyebabkan dampak sosial dan lingkungan yang serius, terutama terkait pembabatan lahan dan perampasan tanah adat.
Masyarakat adat Merauke, yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidup pada lahan tersebut, menyuarakan kekhawatiran mereka atas hilangnya hak tanah adat yang menjadi sumber mata pencaharian, budaya serta identitas mereka. Pembukaan lahan untuk perkebunan tebu dituding mengancam eksistensi masyarakat adat karena adanya perampasan tanah secara paksa tanpa adanya konsultasi yang memadai dengan warga lokal.
"Tanah adat adalah warisan leluhur kami. Kehilangannya berarti memutus hubungan kami dengan identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun," ujar salah satu tokoh masyarakat adat setempat.
Selain permasalahan sosial, pembabatan lahan dalam skala besar juga dinilai mengancam keberlanjutan ekosistem setempat. Hutan yang menjadi rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati penting, termasuk flora dan fauna endemik Papua Selatan, terancam rusak akibat pembukaan lahan untuk perkebunan tebu. LSM lingkungan lokal menyuarakan kekhawatiran bahwa proyek ini akan mempercepat deforestasi, menurunkan kualitas air, serta mengakibatkan peningkatan emisi karbon.
"Jika 2 juta hektare hutan hilang untuk perkebunan, kita tidak hanya kehilangan pohon, tapi seluruh sistem ekologi yang menghidupi masyarakat setempat juga akan terpengaruh," ungkap perwakilan dari salah satu LSM lingkungan di Papua Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H