Hidup membiara berarti status hidup tidak menikah yang kadang dipandang tidak sesuai dengan kodrat alam, karena pada kodratnya manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan untuk saling mencintai dan membangun keluarga. Jadi apakah hidup tidak menikah merupakan pelanggaran atas kodrat itu? Tentunya tidak juga.Â
Karena hidup selibat dalam biara juga memiliki nilai kodrati atau luhur. Maka dimungkinkan orang tidak menikah atas kemauannya sendiri demi Kerajaan Allah (Matius 19:12). Â Hal ini mau mengatakan bahwa kita perlu memandang secara wajar mereka yang hidup selibat atau membiara. Itulah keutamaan hidup mereka yang harus kita hormati pula.Â
Maka inti hidup membiara adalah persatuan atau keakraban dengan Kristus. Oleh karena itu ada semboyan klasik yang ada dalam panggilan hidup membiara yakni mengikuti jejak Kristus (vestigia Christi) atau meniru Kristus (imitantes Christum) (Lumen Gentium, artikel 42).Â
Proses meniru Kristus ini perlu didukung dengan komunikasi yang intens dengan Kristus sendiri yaitu melalui hidup doa. Maka tanpa persatuan dengan Kristus melalui doa, hidup membiara akan rapuh karena tidak memiliki dasar yang kuat.Â
Maka Intisari hidup membiara didasarkan pada cinta Allah sendiri. Pola hidup ini hendaknya dihayati sebagai tanda persatuannya dengan Allah.Â
Di dalam kaul-kaul kehidupan membiara, kaul  kemiskinan berarti melepaskan hak memiliki harta duniawi yaitu dengan hidup sederhana. Kaul ketaatan mau mengatakan bahwa mereka yang mengikrarkannya melepaskan kemerdekaannya untuk mau taat dan patuh kepada pimpinan demi kerajaan surga.Â
Dan kaul kemurnian berarti melepaskan haknya untuk berkeluarga demi kerajaan Allah. Inilah bentuk pengorbanan dan pengabdian hidup mereka. Mereka menyerahkan diri secara tuntas kepada Gereja demi pengembangan Kerajaan Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H