Pada tahun 2019, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) berada pada posisi surplus. Hal tersebut ditopang oleh kenaikan aliran modal asing, menyebabkan perekonomian domestik memiliki daya saing yang tinggi dalam perekonomian global. Hal tersebut berkebalikan dengan kinerja perekonomian global yang menurun. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang tidak menemukan titik temu menjadi salah satu penyebabnya. Namun perekonomian domestik mampu menopangnya, sehingga pada tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik.
Berdasarkan data dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2019, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2019 mencatat surplus sebesar 4,68 miliar dolar AS.Â
Berbeda dengan tahun 2018 yang berada dalam kondisi defisit sebesar 7,13 miliar dolar AS. Membaiknya iklim investasi yang membuat NPI 2019 berada pada posisi surplus. Iklim investasi yang membaik ini juga diikuti oleh tingginya kepercayaan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia dan prospeknya di masa mendatang.
Namun, pada awal tahun, ketika perekonomian global semakin menunjukkan kondisi yang tidak stabil, maka bukan tidak mungkin perekonomian Indonesia tidak terkena imbasnya. Neraca pembayaran akan menjadi salah satu dari beberapa hal yang terpengaruh atas terjadinya Covid-19, sebuah pandemi yang melukai banyak aspek. Salah satunya perekonomian suatu negara.
Kinerja ekspor menurun, stabilitas rupiah terganggu, aliran modal asing pun menjadi tidak stabil. Hal ini juga mendampak pada investasi, baik investasi portofolio maupun investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI). FDI merupakan salah satu modal asing yang memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara. Â
FDI adalah salah satu bentuk dari investasi untuk membiayai faktor-faktor produksi pada kegiatan industri manufaktur dan ekstraksi sumber daya (Salvatore, 2014). Maka, ketidakstabilan aliran modal asing selama penyebaran Covid-19, tidak hanya memperburuk iklim investasi, akan tetapi juga menyebabkan lambatnya pergerakan sektor riil karena pembiayaan yang berasal dari FDI tidak dilakukan dengan maksimal.
Secara konseptual, FDI dikatakan sebagai pemegang peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, FDI cenderung tidak mendorong pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan spillover effect yang negatif (Carkovic dan Levine, 2002). FDI sebagai bentuk investasi langsung akan menciptakan efek negatif yang ditimbulkan oleh industri multinasional sebagai pemberi FDI kepada para anak industrinya. Hal tersebut merupakan motif dari investasi asing, yaitu adanya tingkat pengembalian dan tingkat risiko yang harus diterima oleh negara-negara yang mendapat aliran modal dari FDI (Salvatore, 2014).
Ditengah memanaskan isu Covid-19, tingkat kepercayaan para pemilik modal pada Indonesia mengalami penurunan. Hal ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja, banyak negara yang terdampak perekonomiannya. Terbukti dari diturunkannya proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 oleh Bank Indonesia menjadi 2,5%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yaitu sebesar 3%.
Meluasnya dampak menyebaran Covid-19 menyebabkan perlambatan terhadap penyesuaian aliran modal asing di Indonesia. Salah satu bentuk penyesuaiannya yaitu banyak terjadi pembalikan modal yang menyebabkan timbulnya berbagai risiko dalam perekonomian. Terutama risiko terhadap nilai tukar Rupiah.Â
Menurut Salvatore (2014), adanya risiko dan tingkat pengembalian yang berbeda pada tiap negara disebabkan oleh industri multinasional sebagai penyalur FDI memiliki kekuatan yang lebih dari industri nasional sebagai penerima aliran FDI. Sehingga, dampak tersebut pada dasarnya disebabkan oleh berbagai faktor eksternal.
Timbulnya Risiko dan tingkat pengembalian modal yang berbeda terhadap pemilik modal atau investor diakibatkan oleh banyak hal. Salah satunya yaitu karena perekonomian masih dalam kondisi yang tidak stabil serta ditetapkannya suku bunga acuan BI7DRR sebesar 4,5%. BI7DRR mengalami penurunan sebesar 25 basis poin, yang awalnya sebesar 4,75%.Â
Secara temporary, kebijakan tersebut akan membuat kepercayaan pemilik modal terhadap Indonesia mengalami penurunan. Sebab ditengah peluang timbulnya berbagai risiko masih terbilang cukup tinggi, tingkat pengembalian modalnya tidak setimpal, sehingga menyebabkan pengembalian modal ke tempat yang lebih aman terjadi secara besar-besaran. Namun di sisi lain, kebijakan penurunan suku BI7DRR akan memberi pelonggaran pada nilai rupiah yang terdepresiasi dan mengalami pergerakan tidak stabil.
Dalam kondisi ini, terjadi trilema dalam penetapan kebijakan moneter. Teori ekonomi yang berpandangan bahwa bank sentral tidak mungkin mencapai tiga tujuan kebijakan moneter sekaligus yang terdiri dari stabilitas nilai tukar, stabilitas harga, dan aliran modal (LPI Bank Indonesia, 2019). Ketidakmungkinan tersebut menimbulkan trilema dalam menetapkan ketiganya secara bersamaan, dan akan ada satu kebijakan yang ditrade-off untuk memaksimalkan dua kebijakan yang lain. Hal tersebut juga berlaku dalam kondisi saat ini.
Dalam memperbaiki iklim investasi, Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka, dapat menetapkan salah satu dari beberapa transmisi kebijakan moneter. Salah satu transmisi yang tepat untuk menanggapi derasnya capital outflow akibat penyebaran Covid-19 yaitu dengan exchange-rate channel.Â
Transmisi melalui exchange-rate channel (saluran pada nilai tukar) pada kebijakan moneter untuk negara dengan perekonomian terbuka akan mengubah tingkat bunga domestik yang kemudian memengaruhi net capital flow pada perekonomian domestik (Handa, 2009). Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam mempertahankan BI7DRR sebagai suku bunga acuan pada 4,5%. Yang sebelumnya berada pada posisi 4,75%, dan diturunkan sebesar 25 basis poin.
Kebijakan tersebut sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang gejolaknya akan mendampak pada seluruh aspek dalam perekonomian. Maka, nilai rupiah perlu dipertahankan stabilitasnya. Bank Indonesia, dalam melakukan hal tersebut mengeluarkan kebijakan triple intervention yang berarti melalui tiga intervensi terhadap nilai tukar Rupiah. I
ntervensi tersebut melalui stabilitas nilai tukar Rupiah di pasar Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), pasar spot, dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. Kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tersebut disesuikan dengan mekanisme pasar dan fundamental perekonomian Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia melakukan pembelian terhadap SBN sebagai salah satu upaya untuk memperkuat stabilitas nilai tukar melalui kebijakan triple interventon dan pembiayaan atas utang pemerintah. Dengan dibelinya SBN oleh Bank Indonesia, maka hal tersebut menjadi  salah satu upaya untuk mengoptimalkan pembiayaan dari domestik serta meningkatkan pendalaman terhadap pasar keuangan di Indonesia. Maka, ketika stabilitas nilai tukar rupiah terjaga, juga pasar keuangan dalam kondisi yang dalam dan likuid, aliran modal asing akan kembali membaik. Hal tersebut akan memperbaiki iklim investasi kondisi perekonomian domestik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H