Mohon tunggu...
Yulio SetyoAji
Yulio SetyoAji Mohon Tunggu... Guru - Profesi saya sebagai seorang guru

Saya adalah orang yang hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cara Menjaga Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Bagi Karyawan

6 Desember 2024   15:01 Diperbarui: 6 Desember 2024   15:17 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kinerja  karyawan  merupakan  elemen  kunci  yang  memengaruhi  berbagai  aspek operasional  organisasi (Sinambela  2021).  Kinerja  karyawan  yang  optimal  secara langsung berkorelasi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas-tugas  organisasional (Akbar  2018).  Penting  bagi  organisasi  untuk  secara  tepat menganalisis  dan  memahami  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  kinerja  guna menciptakan strategi manajemen yang efektif dalam meningkatkan kinerja karyawan.

Melalui  pendekatan  yang  komprehensif  terhadap  pengelolaan  sumber  daya  manusia, organisasi dapat mengoptimalkan potensi karyawan, meningkatkan produktivitas, serta meraih keunggulan kompetitif (Setyawan 2018). Perkembangan  teknologi  yang  sangat  pesat  telah  membawa  dampak  signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dinamika kerja. Inovasi seperti kecerdasan buatan dan komputasi awan telah meningkatkan efisiensi operasional, namun sekaligus  menimbulkan  tantangan  serius  dalam  konteks  pekerjaan.  Selain  itu, transformasi  digital  telah  mengubah  paradigma  kerja  dengan  memperkenalkan fleksibilitas  dan  mobilitas,  menuntut  adaptasi  cepat  dari  individu  dan  organisasi. Perkembangan teknologi yang membuat hampir semua proses menjadi cepat ini juga membuat kinerja karyawan menjadi mengalami penurunan (Kosdianti et al. 2021).

Faktor  yang  memiliki  pengaruh  signifikan  terhadap  kinerja  karyawan  adalah kondisi  kesehatan mental.  Seiring  dengan semakin  meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya aspek psikologis dalam lingkungan kerja, pengakuan terhadap peran mental health  sebagai  determinan  utama  produktivitas  dan  kesejahteraan  karyawan  semakin merasuk  ke  dalam  literatur  akademis  dan  praktik  manajemen  sumber  daya  manusia. Penelitian empiris menunjukkan bahwa kesehatan mental yang baik berkontribusi positif terhadap kebahagiaan dan tingkat produktivitas kerja. Sebaliknya, ketidakseimbangan mental  yang  diakibatkan  oleh  stres,  kecemasan,  dan  depresi  dapat  menyebabkan penurunan performa karyawan (Elrayah and Zakariya 2023; Sun et al. 2022). Oleh karena itu, pemahaman dan penanganan terhadap aspek mental health menjadi esensial dalam strategi  manajemen  yang  berorientasi  pada  peningkatan  kinerja  dan  kesejahteraan karyawan.

Kompensasi  juga  menjadi  aspek  penting  yang  secara  signifikan  memengaruhi kinerja  karyawan (Astarina  2021;  Oetomo  2020).  Keberhasilan  organisasi  dalam menciptakan sistem kompensasi yang adil dan sesuai dengan harapan karyawan dapat menjadi kunci utama dalam meningkatkan kinerja dan motivasi karyawan (Ludin, Mukti, and  Rohman  2023).  Kompensasi  tidak  hanya  mencakup  aspek  finansial,  tetapi  juga melibatkan pengakuan terhadap kontribusi individu serta pemahaman terhadap harapan dan nilai-nilai karyawan. Sebaliknya, ketidaksesuaian antara kompensasi yang diberikan dan  ekspektasi  karyawan  dapat  berpotensi  menciptakan  ketidakpuasan,  yang  pada gilirannya dapat menghambat motivasi dan kinerja karyawan (Sudaryo, Aribowo, and Sofiati 2019).

Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk secara cermat merumuskan dan  mengimplementasikan  kebijakan  kompensasi  yang  memperhatikan  keadilan  dan kepuasan  karyawan  guna  mendukung  pencapaian  tujuan  organisasional  secara berkelanjutan.Disisi lain kepuasan kerja juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi kinerja karyawan dalam lingkungan kerja (Sabrina and Ikhsan 2023). Kepuasan kerja yang tinggi berkontribusi  terhadap  peningkatan  suasana  hati  dan  motivasi  karyawan  yang  dapat menciptakan suatu kondisi di mana karyawan merasa puas dan berkomitmen terhadap tugas-tugas mereka. Sebaliknya, rendahnya tingkat kepuasan kerja dapat menghasilkan dampak  negatif  yang  mencakup  ketidakpuasan  personal,  kurangnya  motivasi,  dan rendahnya  tingkat  komitmen  terhadap  pekerjaan  yang  diemban (Wijaya  2018).  Oleh karena itu, pemahaman dan manajemen aspek-aspek yang mendorong kepuasan kerjamenjadi esensial dalam upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan mendukung perkembangan karyawan secara optimal.

Sementara Motivasi kerja menjadi faktor yang tak kalah penting dalam membentuk kinerja  karyawan.  Hal  ini  disebabkan  tingginya  tingkat  motivasi  dapat  mendorong karyawan  untuk  bekerja  dengan  optimal  demi  mencapai  tujuan  organisasi.  Secara kontrastif,  rendahnya  motivasi  kerja  dapat  mengakibatkan  kurangnya  dorongan  bagi karyawan untuk memberikan kontribusi maksimal dan mencapai target organisasional (Umpung, Pertiwi, and Korompis 2020). Dalam konteks ini, pentingnya motivasi kerja tidak dapat diabaikan, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap produktivitas dan pencapaian tujuan perusahaan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi motivasi kerja menjadi urgentbagi manajemen sumber daya manusia guna memacu karyawan untuk meraih prestasi dan bekerja secara optimal.

Terdapat beberapa masalah yang dihadapi karyawan dalam dunia kerja, salah satunya adalah burnout. Cherniss (1987) mengatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dari orang lain maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat dan keinginan pindah kerja sangat kuat. Freudenberger (dalam Farber, 1991) mendefinisikan burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan oleh seseorang yang beraktivitas terlalu intens, memiliki dedikasi yang tinggi dan berkomitmen, beraktivitas terlalu lama dan banyak serta memandang kebutuhan, dan keinginan mereka sebagai hal kedua yang dapat menyebabkan individu tersebut merasakan adanya tekanan-tekanan yang memberikan sumbangan lebih banyak pada organisasinya.

Seseorang yang menderita burnout secara emosional kelelahan dan memiliki motivasi kerja yang rendah. Pines dan Aronson (Farhati dan Rosyid, 1996) menyatakan bahwa burnout adalah suatu bentuk ketegangan atau tekanan psikis yang berhubungan dengan stres yang kronik, yang dialami seseorang dari hari ke hari ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan emosional. Masclach (2001) menjelaskan bahwa burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosi, depersonalisasi, dan penurunan prestasi pribadi maupun rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri dalam melakukan tugasnya sehari-hari. Ketika inidividu mengalami burnout, maka muncul beberapa respon berupa merasa sinis dan asing terhadap pekerjaannya, merasa tidak efektif dan tidak berprestasi dalam pekerjaanan (Maslach & Leiter, 2016). Burnout merupakan sindrom psikologis yang muncul sebagai respon berkepanjangan terhadap stressor interpersonal yang kronis dari pekerjaan (Maslach & Leiter, 2016). Burnout dapat menjadi masalah yang serius bagi perusahaan ataupun organisasi dan individu yang nantinya akan mempengaruhi produktivitas, kualitas, kepuasan kerja dan kinerja karyawan (Kardiawan, 2018).

Faktor-faktor burnout menurut Maslach & Leiter (1997) yang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:

1. Work overloaded

Kemungkinan terjadi akibat ketidak sesuaian antara karyawan dengan pekerjaannya. Karyawan terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang di kerjakan melebihi kapasitas kemampuan manusia yang memiliki keterbatasan.

2. Look of work control

Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan dalam membuat pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk berfikir dan menyelesaikan masalah, dan meraih prestasi, adanya aturan terkadang membuat karyawan memiliki batasan berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung jawab dengan hasil yang mereka dapat karena adanya kontrol yang terlalu ketat dari atasan.

3. Rewarded for work 

Kurang apresiasi dari lingkungan kerja membuat karyawan merasa tidak bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian bonus (uang), tetapi hubungan yang terjalin baik antara karyawan, karyawan dengan atasan turut memberikan dampak pada karyawan.

4. Breakdown in community 

Karyawanan yang kurang memiliki rasa belongingness terhadap lingkungan kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa ketertarikan positif di tempat kerja. Seseorang akan bekerja dengan maksiamal ketika memiliki kenyamanan, kebahagiaan yang terjalin dengan rasa saling menghargai tetapi terkadang lingkungan kerja melakukan sebaliknya. Ada kesenjangan baik antara karyawan maupun dengan atasan, sibuk dengan diri sendiri tidak memiliki quality time dengan rekan kerja.

5. Treated fairly

Perasaan diperlakukan tidak adil juga merupakan faktor terjadinya burnout. Adil berarti saling mengahargai dan menerima perbedaan. Adanya rasa saling menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan komunitas (lingkungan kerja). Karyawan merasa tidak percaya dengan lingkungan kerjanya ketika tidak ada keadilan.

6. Dealing with Conflict Values 

pekerjaan dapat membuat karyawan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai mereka.

Lalu cara mengatasinya adalah

  • Ciptakan lingkungan kerja atau belajar yang kondusif.

Sebuah penelitian dari Galletta, et. al. (2016) melaporkan bahwa lingkungan dapat menjadi faktor psikososial dalam terjadinya burnout. Kita dapat mengubah design dan layout ruang kita dengan hiasan yang paling kita sukai, contohnya dengan memberi tanaman hias dan memberi parfum beraroma kopi sangrai yang dapat mengurangi ketegangan saat bekerja, sehingga kenyamanan kerja didapat dan kinerja stabil.

  • Bersikap asertif.

Tidak ada orang yang suka bila diberi beban kerja yang berat, apalagi bila sampai tidak bisa beristirahat. Maka dari itu, bersikap asertif dan menyatakan keluhan karena merasa burnout adalah tindakan yang benar. Sikap asertif adalah kemampuan diri dalam berkomunikasi secara jujur, tegas, dan lugas, tetapi tetap mampu menghargai perasaan orang lain, contohnya bila diberi karyawanan atau tugas yang memang membutuhkan banyak orang dan bantuan peralatan, maka kita sebaiknya meminta untuk disediakan apa saja yang dibutuhkan untuk memudahka pelaksanaan kerja atau tugas, hal ini untuk menghindari burnout yang kemungkinan terjadi selama kita bekerja.

  • Quality time.

Meluangkan waktu untuk membuang emosi negative dengan melakukan hobi yang kita miliki atau sejenak bermeditasi dan benar-benar melepaskan beban.

            Untuk menghindari resiko terjadinya burnout selain dari solusi diatas maka kita perlu menyeimbangkan dengan work life balance. Istilah Work Life balance sudah tidak asing diera Milenial ini. Era dengan perkembangan pesat dibidang tekhnologi yang juga menuntut manusia memiliki kompetensi dalam banyak hal. Tak hanya kemampuan eksak tapi juga dituntut memiliki keterampilan dalam berbagai bidang. Kemampuan dalam bidang seni, olahraga, tekhnologi dan banyak lainnya. Beberapa jurnal bahkan mengungkapkan work life balance termasuk juga dalam kehidupan pribadi, teman atau keluarga misalnya.

Worklife balance sendiri memiliki makna kemampuan seseorang dalam menyeimbangkan tanggungjawabnya dalam pekerjaan dan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Menurut Hudson, aspek aspek dalam work life balance dalam kehidupannya antara lain Keseimbangan Waktu. Proporsi waktu yang diluangkan untuk pekerjaan dan hal- hal diluar pekerjaan tentunya sangat menentukan dalam upaya tercapainya work life balance. Waktu untuk kesenangan pribadi, keluarga ataupun orang orang disekitar kita.

Aspek kedua yaitu Keseimbangan keterlibatan yang mengarah pada komitmen atas keikut sertaan dalam suatu kegiatan. Bentuk dari kegiatan itu sendiri tidak hanya diartikan sebuah acara atau event saja, tapi juga kegiatan seperti seni, olahraga maupun kegiatan bersama keluarga. Aspek selanjutnya adalah Keseimbangan Kepuasan. Menurut Hudson (2005) dari kedua aspek teersebut kepuasan dan kenyamanan jadi aspek terakhir work life balance. Sebab factor ini lah yang menentukan tingkat stress seseorang.

Work Life balance juga tidak hanya tergantung dari faktor internal diatas, tapi juga terpengaruh faktor eksternal. Faktor eksternal yang paling berpengaruh tentunya lingkungan kerja. Rekan yang memiliki pemikiran positif tentunya akan sangat mendukung terbentuknya suasana kerja kondusif. Lingkungan kerja juga akan menentukan tingkat efektifitas kerja seorang pegawai. Namun faktor utama tercapainya work life balance adalah internal seorang pegawai, baik dari segi fisik maupun mental.

Beberapa Tips untuk menjadikan work life balance sebagai gaya hidup antara lain:

Skala Priotas langkah pertama adalah menentukan skala prioritas berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing- masing. Orientasi setiap individu tentunya berbeda- beda tergantung pada kondisi dan motivasi masing- masing. Ada yang menjadikan karir sebagai prioritas atau keluarga sebagai prioritas. Dengan menyusun daftar tentunya menjadikan worklife balance lebih mudah tercapai karena proporsi waktu dan keterlibatan dalam suatu kegiatan menjadi terukur.

Langkah selanjutnya adalah bekerja efektif efisien agar pekerjaan dapat selesai dengan maksimal dengan waktu yang singkat. Beberapa studi membuktikan bahwa pegawai dengan worklife balance yang baik akan bekerja lebih efektif dan efisien. Pegawai yang bekerja terlalu keras tanpa menyeimbangkan dengan kesenangan untuk dirinya akan bekerja dengan emosi dan cenderung tidak maksimal.

Lalu manfaat work life balance bagi individu dan perusahaan di antaranya:

  • Kesejahteraan: work life balance dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, sehingga dapat mengurangi risiko stres, kecemasan, dan depresi.
  • Produktivitas: Seseorang yang mencapai work life balance akan lebih produktif dan inovatif dalam bekerja.
  • Hubungan interpersonal: work life balance dapat mempererat hubungan dengan keluarga dan teman.
  • Kualitas hidup: work life balance dapat membuat seseorang lebih bahagia dan puas dengan pekerjaannya.
  • Loyalitas: work life balance dapat meningkatkan loyalitas karyawan.

Ada beberapa program yang sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, Program kesejahteraan bagi pekerja dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas tenaga kerja, serta memastikan mereka mendapatkan dukungan yang layak di tempat kerja. Berikut adalah beberapa contoh program kesejahteraan bagi pekerja yang dapat diterapkan:

1. Program Kesehatan

  • Asuransi Kesehatan: Memberikan akses ke layanan kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.
  • Cek Kesehatan Rutin: Pemeriksaan kesehatan tahunan untuk mendeteksi penyakit sejak dini.
  • Promosi Kesehatan: Penyuluhan tentang gaya hidup sehat, termasuk pola makan, olahraga, dan manajemen stres.

2. Program Keseimbangan Kerja dan Kehidupan (Work-Life Balance)

  • Jam Kerja Fleksibel: Memungkinkan pekerja menyesuaikan jam kerja dengan kebutuhan pribadi.
  • Cuti Tambahan: Seperti cuti melahirkan, cuti ayah, atau cuti sakit yang lebih manusiawi.
  • Kerja Jarak Jauh: Mendukung model kerja hybrid atau remote untuk posisi yang memungkinkan.

3. Program Keuangan

  • Tabungan Pensiun: Memberikan kontribusi untuk dana pensiun pekerja.
  • Pinjaman Tanpa Bunga: Membantu pekerja yang membutuhkan bantuan finansial tanpa beban bunga.
  • Pendidikan Keuangan: Workshop tentang pengelolaan keuangan pribadi dan investasi.

4. Pelatihan dan Pengembangan

  • Pelatihan Profesional: Kursus untuk meningkatkan keterampilan kerja.
  • Program Beasiswa: Mendukung pendidikan lebih lanjut bagi pekerja dan anak-anak mereka.
  • Mentoring dan Coaching: Meningkatkan kapasitas pribadi dan profesional.

5. Fasilitas Tempat Kerja

  • Area Rekreasi: Tempat istirahat atau fasilitas olahraga di kantor.
  • Kantin Sehat: Menyediakan makanan bergizi dengan harga terjangkau.
  • Transportasi: Layanan antar-jemput atau subsidi transportasi.

6. Dukungan Psikologis dan Sosial

  • Layanan Konseling: Akses ke psikolog atau konselor untuk mendukung kesehatan mental.
  • Komunitas Pekerja: Membentuk komunitas untuk mempererat hubungan antarkaryawan.
  • Program Kesejahteraan Keluarga: Dukungan untuk kebutuhan keluarga pekerja, seperti daycare untuk anak.

7. Penghargaan dan Pengakuan

  • Bonus Prestasi: Memberikan bonus berdasarkan kinerja.
  • Penghargaan Loyalitas: Menghargai karyawan yang sudah lama bekerja di perusahaan.
  • Peningkatan Karier: Kesempatan promosi bagi karyawan berprestasi.

Penerapan program-program ini memerlukan analisis kebutuhan pekerja, anggaran, dan komitmen dari manajemen perusahaan. Dengan adanya program kesejahteraan yang baik, diharapkan tercipta lingkungan kerja yang lebih produktif, sehat, dan harmonis

DAFTAR PUSTAKA

 

Akbar, M. (2018). Pengaruh Faktor-Faktor Organisasi terhadap Kinerja Karyawan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Astarina, N. (2021). Kompensasi dan Kesejahteraan Karyawan: Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Alfabeta.

Cherniss, C. (1987). Professional Burnout in Human Service Organizations. New York: Praeger.

Elrayah, H. E., & Zakariya, E. A. (2023). "Mental Health and Workplace Productivity: A Systematic Review." International Journal of Human Resource Studies, 13(1), 45--60.

Farber, B. A. (1991). Crisis in Education: Stress and Burnout in the American Teacher. San Francisco: Jossey-Bass.

Galletta, M., Portoghese, I., & Battistelli, A. (2016). "Psychosocial Predictors of Burnout and Work Engagement among Nurses." Journal of Advanced Nursing, 72(12), 2955--2965.

Hudson, P. (2005). Work-Life Balance: A Practical Guide for Managers and Employees. London: Kogan Page.

Kosdianti, P., Rahmawati, T., & Dewi, A. P. (2021). "Dampak Transformasi Digital terhadap Kinerja Karyawan: Sebuah Kajian Empiris." Jurnal Manajemen Digital, 10(2), 75--88.

Maslach, C., & Leiter, M. P. (1997). The Truth About Burnout: How Organizations Cause Personal Stress and What to Do About It. San Francisco: Jossey-Bass.

Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). "Understanding the Burnout Experience: Recent Research and Its Implications for Psychiatry." World Psychiatry, 15(2), 103--111.

Oetomo, W. (2020). Sistem Kompensasi dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Karyawan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sabrina, D., & Ikhsan, R. (2023). "Kepuasan Kerja sebagai Faktor Penentu Produktivitas Karyawan." Jurnal Psikologi dan Manajemen, 14(1), 22--30.

Setyawan, A. (2018). Strategi Manajemen untuk Keunggulan Kompetitif. Jakarta: Pustaka Ilmu.

Sinambela, L. P. (2021). Manajemen Kinerja: Teori dan Implikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sudaryo, M., Aribowo, S., & Sofiati, A. (2019). "Kompensasi dan Keadilan Organisasi: Perspektif Teori dan Praktik." Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 34(3), 153--165.

Sun, J., Wang, W., & Liu, Q. (2022). "Psychological Well-Being and Employee Performance: An Evidence-Based Analysis." Human Resource Development Quarterly, 33(2), 189--206.

Umpung, S., Pertiwi, L., & Korompis, F. (2020). "Motivasi Kerja dan Hubungannya dengan Kinerja Karyawan." Jurnal Ilmu Administrasi Bisnis, 18(2), 105--112.

Wijaya, T. (2018). Kepuasan Kerja: Teori dan Praktik dalam Konteks Indonesia. Malang: UB Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun