Â
 ***
Tiara ialah gadis nan sibuk menyelami hari-harinya. Satu waktu di purnama, entah keberapa ratusnya, ia mulai mempertanyakan masalah pasangan hidup. Itu karena satu demi satu kolega dan teman-temannya mulai menikah, tak sudi membiarkan diri berlama-lama terpatri pada pekerjaan.
Melangkah sendiri di jalanan merupakan hal yang tak selaras dengan norma di desanya yang temaram. Pandangan mengecam tak kentara yang diarahkan padanya setiap kali berpapasan dengan orang-orang sekampung, membuatnya tertunduk tak kuasa menahan malu.
Sebuah kenyataan kacau yang berubah menjadi pertanyaan, nan terus mendera di benaknya, tentang mengapa ia belum juga memperoleh jodoh.
Konon, paras mampu berkisah tentang ini. Benarkah?
Tiara pun bercermin. Seakan tak pernah jera, ia mengamati raut dan sosok yang disodorkan kaca meja riasnya. Namun toh ia tak terlalu yakin dengan media pemantul bayangan tersebut.
Sering juga dirasanya patut untuk bercermin pada orang-orang di sekelilingnya, mencari tahu sikap balik mereka yang resiprokal terhadap dirinya. Refleksi tersebut terasa lebih jujur.
Acap kali ia memasrahkan persoalan tersebut pada sang mentari, pemilik sinar pembias warna alam. Kabarnya, tanpa cahaya, tak kan secuil pun keindahan benda-benda di jagat ini bisa terekspos. Termasuk warna putih salju pada kulitnya. Hitam legam pada rambutnya. Merah jambu pada bibirnya.
Toh, kesemua parameter itu bagai menyodorkan cawan impian kosong pada Tiara.
Lalu apa? Terlalu sungkan ia untuk bertanya pada sesesorang di kampungnya yang remang. Terlalu resah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyepi sejenak di tepi hutan. Itupun setelah ia bertanya kesekian kali pada diri dan keluarga, untuk akhirnya mengukuhkan keyakinannya bahwa alam akan membantunya menemukan kesejatian.
Doakan aku, wahai ayah bunda, bahwa kirana ‘kan menuntunku pada dambaan hati, pinta Tiara suatu hari.
**
Di suatu pagi yang berembun, Tiara memulai perjalanannya menuju alam perawan. Sarwa semesta semenjak awal mengajaknya berdendang, seakan tahu bahwa setelah melewati batas rimba, ia akan mengalami kepedihan dalam mencari kebenaran, akan sesak napasnya dililit kesangsian atas ketidakmatangannya sendiri.
Sesiangan itu, Tiara memerangi hasrat. Melalui jalan tak berakses. Sekelompok kupu-kupu menari gembira, mengelilingi kegelisahan yang dipendamnya. Seekor punai membius dan membawa lari khayalannya.
Malam menjelang.
Dengan wajah sedikit prihatin, Tiara menyalakan sumbu obornya.
Membentuk lingkar hitam, cahaya api di tengah suluhnya pun berpendar.
Sulutan pertama pada pusat unggun, api menjilat dan arang merah kayu terasa tak ingin habis.
Tiara duduk di tepian, cinta itu masih tak ditemukannya.
Ia membiarkan dirinya bertempur sendiri. Kobaran api unggun tak mampu menghangatkan kembali gairah hidupnya.
Tanah perdikan, kelak ia berlabuh.
Ia tahu, seharusnya seseorang di luar sana mencintainya. Tapi siapa, dalam gelap? Ia berharap asap api akan memberi petunjuk samar, entah itu bayangan bentuk wajah calon kekasihnya, walau sekejap saja. Atau dua kejap. Ilusi.
Tiara terus menghitung waktu dan daya untuk tetap hidup.
Tak nampak bayang. Hanya terdengar percik-percik bara meletik, berbaur gumam mantra cara mencari cinta otentik, cinta yang mampu menghapus kejahatan. Asap mengepul, susul-menyusul menjulang ke langit kelam berbintang, menyerupai aurora ketulusan dan kesetiaan.
Tiara tertegun. Tak salah lagi, tadi sesaat ia melihat sebuah gerbang menuju cinta bertaraf kesadaran, yang terkuak lebar, asal tak pedulikan panjang dan sukarnya yang berjenjang.
Selebihnya hanya akan ada angsa hitam.
***
(ITA)
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H