Doakan aku, wahai ayah bunda, bahwa kirana ‘kan menuntunku pada dambaan hati, pinta Tiara suatu hari.
**
Di suatu pagi yang berembun, Tiara memulai perjalanannya menuju alam perawan. Sarwa semesta semenjak awal mengajaknya berdendang, seakan tahu bahwa setelah melewati batas rimba, ia akan mengalami kepedihan dalam mencari kebenaran, akan sesak napasnya dililit kesangsian atas ketidakmatangannya sendiri.
Sesiangan itu, Tiara memerangi hasrat. Melalui jalan tak berakses. Sekelompok kupu-kupu menari gembira, mengelilingi kegelisahan yang dipendamnya. Seekor punai membius dan membawa lari khayalannya.
Malam menjelang.
Dengan wajah sedikit prihatin, Tiara menyalakan sumbu obornya.
Membentuk lingkar hitam, cahaya api di tengah suluhnya pun berpendar.
Sulutan pertama pada pusat unggun, api menjilat dan arang merah kayu terasa tak ingin habis.
Tiara duduk di tepian, cinta itu masih tak ditemukannya.
Ia membiarkan dirinya bertempur sendiri. Kobaran api unggun tak mampu menghangatkan kembali gairah hidupnya.
Tanah perdikan, kelak ia berlabuh.