Mohon tunggu...
Safitri Yulikhah
Safitri Yulikhah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis lepas,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bayang-Bayang Ancaman Politik Identitas

6 Juni 2023   19:26 Diperbarui: 6 Juni 2023   19:29 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels.com/Element5 Digital

Politik identitas menjadi salah satu ancaman dalam gelaran pemilu 2024. Presiden Joko Widodo dalam press release yang dikeluarkan oleh Biro Humas Lemhannas RI Nomor : PR/ 42/VIII/2022 pada 9 Agustus 2022 sudah dengan tegas menolak penggunaan politik identitas dalam kampanye.

Namun, pada kenyataannya politik Identitas sudah digunakan untuk jika melihat labeling yang diterima oleh Surya Paloh dan Partai Nasdem usai mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden yang diberi label Kadrun.

Padahal kontestasi politik lewat pemilu serentak pada tahun 2024 baru saja dimulai. Tapi bayang-bayang ancaman politik identitas sudah mulai menimbulkan keresahan. Terlebih dengan masifnya penggunaan media teknologi, propaganda politik identitas akan semakin meresahkan.

Lantas akankah politik identitas terus menjadi alat yang untuk menjatuhkan lawan? Benarkah akar masalahnya adalah identitas kelompok atau golongan? Padahal jika menilik sejarah, identitas tidak dianggap sebagai ancaman karena tidak dipolitisasi menjadi alat demi keuntungan sebagian golongan.

Politik Identitas Dulu dan Kini

Dulu politik identitas merupakan hal yang fair dalam ajang demokrasi Indonesia. Namun, perlu digaris bawahi bahwa politik identitas dan dan kini memiliki sejumlah perbedaan yang cukup krusial.

Politik identitas pada masa lalu diakui bahkan oleh pendiri bangsa, Ir. Soekarno. Hal itu dapat diketahui dari pidatonya yang disampaikan pada 1 Juni 1945. Lewat pidatonya itu, presiden pertama Indonesia itu mengajak seluruh rakyat untuk berjuang sehebat mungkin agar yang duduk di kursi wakil rakyat sebagai penentu kebijakan dan peraturan negara dari golongan agamanya. Sehingga aturan yang diterbitkan sesuai ajaran agama yang diyakini. Kompetisi demokrasi yang demikian itu menurut Soekarno adalah fair alias adil.

Mengapa identitas agama kala itu tidak menjadi persoalan seperti sekarang? Sebab pada masa itu, Soekarno dan seluruh golongan yang ada yaitu golongan Islam dan golongan kebangsaan memiliki satu pemahaman bersama bahwa kepentingan negara ada di atas kepentingan golongan.

Keberagaman Indonesia saat itu disadari sepenuhnya akan memunculkan kekuatan politik yang dilandasi identitas agama, suku, kedaerahan, kelompok, hingga kebangsaan. Tetapi perbedaan identitas yang terbawa ke ranah politik tidak memicu perpecahan apalagi dimanfaatkan sebagai alat propaganda. 

Sebab realitas keberagamaan Indonesia tadi justru menjadi landasan dan pondasi berdirinya negara ini. Realitas itu, tidak bisa dihindari dalam masyarakat Indonesia. Sehingga jelas tak ada tudingan hingga labeling yang merugikan dalam perdebatan yang muncul dalam kontestasi demokrasi di masa tersebut. 

Hal berbeda jelas terlihat pada era sekarang, perbedaan identitas sengaja diangkat untuk merugikan dan menuding serta melabeli kelompok atau golongan lain demi keuntungan kelompok sendiri. Sehingga pada era sekarang, politik identitas menjadi momok dan ancaman nyata yang bisa mengganggu kelancaran pesta demokrasi. Bahkan identitas dipandang sebagai ancaman nyata yang harus diwaspadai sedemikian rupa.

Padahal jika ditilik dalam pasal 28E Undang Undang Dasar 1945, negara menjamin kebebasan bagi rakyat untuk memeluk dan beribadah sesuai agamanya, memilih tempat tinggal, pekerjaan, hingga kewarganegaraan. Jaminan tadi adalah kelegalan untuk memenuhi hak asasi setiap orang dengan identitas yang dimiliki. 

Oleh karena itu sejatinya politik identitas bukan inti masalah yang menimbulkan perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dalam pemilu. Melainkan kelompok kepentingan yang menjadikan politik identitas sebagai alat propaganda yang sebenarnya harus diwaspadai.

Satukan Tujuan Demi Kesuksesan Pemilu 2024

Pemilu 2024 yang akan menjadi penentu presiden, wakil presiden, hingga wakil rakyat di kursi DPR dan DPRD seharusnya menjadi ajang untuk memilih wakil terbaik yang akan membawa kemajuan dan kesejahteraan di segala bidang.

Sayangnya ambisi untuk menang seringkali menggunakan bermacam cara termasuk politik identitas hingga politik uang. Tak cuma itu para buzzer pun turut terjun memicu kekeruhan dengan menggiring opini publik sesuai dengan kepentingan tokoh di belakang mereka.

Mengapa politisi yang ingin duduk sebagai wakil rakyat harus menggaet para buzzer misalnya demi memenangkan kontestasi demokrasi? Sementara hasil dari pemilu adalah untuk menentukan pemimpin dan wakil rakyat yang akan menyalurkan aspirasi seluruh rakyat.

Hal ini terjadi karena politisi sudah kehilangan tujuan awal dari demokrasi yaitu kedaulatan rakyat. Sehingga kesejahteraan rakyat bukan yang menjadi cita-cita mereka. Inilah yang sebenarnya menjadi musuh bersama dan harus dilawan. Caranya adalah dengan menyatukan tujuan yaitu kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Jika tujuan itu dipegang dan diwujudkan bersama maka pemilu 2024 akan sukses terselenggara dan melahirkan wakil-wakil rakyat yang berhati nurani serta menjalankan fungsinya sebagai perwakilan yang akan berjuang demi kepentingan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun