Politik identitas menjadi salah satu ancaman dalam gelaran pemilu 2024. Presiden Joko Widodo dalam press release yang dikeluarkan oleh Biro Humas Lemhannas RI Nomor : PR/ 42/VIII/2022 pada 9 Agustus 2022 sudah dengan tegas menolak penggunaan politik identitas dalam kampanye.
Namun, pada kenyataannya politik Identitas sudah digunakan untuk jika melihat labeling yang diterima oleh Surya Paloh dan Partai Nasdem usai mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden yang diberi label Kadrun.
Padahal kontestasi politik lewat pemilu serentak pada tahun 2024 baru saja dimulai. Tapi bayang-bayang ancaman politik identitas sudah mulai menimbulkan keresahan. Terlebih dengan masifnya penggunaan media teknologi, propaganda politik identitas akan semakin meresahkan.
Lantas akankah politik identitas terus menjadi alat yang untuk menjatuhkan lawan? Benarkah akar masalahnya adalah identitas kelompok atau golongan? Padahal jika menilik sejarah, identitas tidak dianggap sebagai ancaman karena tidak dipolitisasi menjadi alat demi keuntungan sebagian golongan.
Politik Identitas Dulu dan Kini
Dulu politik identitas merupakan hal yang fair dalam ajang demokrasi Indonesia. Namun, perlu digaris bawahi bahwa politik identitas dan dan kini memiliki sejumlah perbedaan yang cukup krusial.
Politik identitas pada masa lalu diakui bahkan oleh pendiri bangsa, Ir. Soekarno. Hal itu dapat diketahui dari pidatonya yang disampaikan pada 1 Juni 1945. Lewat pidatonya itu, presiden pertama Indonesia itu mengajak seluruh rakyat untuk berjuang sehebat mungkin agar yang duduk di kursi wakil rakyat sebagai penentu kebijakan dan peraturan negara dari golongan agamanya. Sehingga aturan yang diterbitkan sesuai ajaran agama yang diyakini. Kompetisi demokrasi yang demikian itu menurut Soekarno adalah fair alias adil.
Mengapa identitas agama kala itu tidak menjadi persoalan seperti sekarang? Sebab pada masa itu, Soekarno dan seluruh golongan yang ada yaitu golongan Islam dan golongan kebangsaan memiliki satu pemahaman bersama bahwa kepentingan negara ada di atas kepentingan golongan.
Keberagaman Indonesia saat itu disadari sepenuhnya akan memunculkan kekuatan politik yang dilandasi identitas agama, suku, kedaerahan, kelompok, hingga kebangsaan. Tetapi perbedaan identitas yang terbawa ke ranah politik tidak memicu perpecahan apalagi dimanfaatkan sebagai alat propaganda.Â
Sebab realitas keberagamaan Indonesia tadi justru menjadi landasan dan pondasi berdirinya negara ini. Realitas itu, tidak bisa dihindari dalam masyarakat Indonesia. Sehingga jelas tak ada tudingan hingga labeling yang merugikan dalam perdebatan yang muncul dalam kontestasi demokrasi di masa tersebut.Â