Mohon tunggu...
Yulika Anastasia
Yulika Anastasia Mohon Tunggu... Karyawan -

Pekerja LSM yang hobinya travelling, fotografi, sinematografi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemerintahan Kampung Adat adalah Ujian Bagi Ondoafi Masa Kini

17 September 2015   08:00 Diperbarui: 17 September 2015   08:05 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Jayapura, yang jatuh pada 24 Oktober mendatang, Pemerintah Kabupaten Jayapura, mencanangkan 4 Kampung sebagai Model Kampung Adat; yakni Kampung Bundru (Distrik Yapsi),  Kampung Ayapo (Distrik Sentani Timur), Kampung Neheibe (Distrik Ravenirara) dan Kampung Keitemung (Distrik Nimboran).

Bupati Jayapura, Mathius Awaitouw, dalam pencanangan Kampung Adat Ayapo (11/9) lalu mengatakan bahwa Keberadaan Kampung Adat, diberi ruang sesuai dengan ketentuan UUD 1945, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. “Berdasarkan undang – undang tersebut negara mengakui dua kewenangan yang diturunkan ke kampung; kewenangan berdasarkan asal – usul komunitas adat untuk mengelola kampung secara adat, dan yang kedua negara memberikan kewenangan pemerintahan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ke kampung.” Lebih lanjut Bupati mewanti – wanti bahwa hal ini merupakan tanggungjawab yang sangat besar masyarakat adat, untuk berperan dalam pembangunan sesuai dengan cita – cita perjuangan Bangsa Indonesia.

Merujuk pada kampung – kampung asli yang ada di Wilayah Kabupaten Jayapura, secara adat masyarakat berada di bawah kepemimpinan seorang Ondoafi/ Ondofolo (untuk Sentani), Deugena (untuk Klesi, Kemtuik) atau Tubwe (untuk Imbhi). Penyebutan istilah bagi Sang Pemimpin boleh berbeda, tetapi ada satu kesamaan prinsip, yakni Tugas seorang Pemimpin Suku/ Kepala Suku/ Ondoafi yakni menjalankan peran sebagai pelindung, pensejahtera dan pelestari setiap anggota komunitasnya dan lingkungan kehidupan dari komunitasnya.

Ondoafi, dalam tradisi Sentani berperan sebagai kepala negara adat. Ia mempunyai rakyat, wilayah, dan sumber daya alam yang terbatas. Bagaikan matahari, ia menjadi pusat kehidupan masyarakatnya; ia adalah sentral kekuasaan. Peran Ondoafi didistribusikan ke dalam bidang – bidang dan urusan – urusan yang dijalankan lebih dari satu orang fungsionaris pemerintahan adat yang dipimpin oleh Kepala Pemerintah Adat berdasarkan wilayah komunitas “mata rumah”. Dalam kehidupan yang sederhana, kewenangan Ondoafi diurai dalam enam bidang strategis; yaitu pertahanan-keamanan, keuangan, pengadilan, hubungan lintas Ondoafi, ekonomi dan perbekalan (Alexander Griapon, 2014). Ondoafi dalam menjalankan pemerintahan adat, ia dibantu oleh hirarki di bawahnya. Misalnya saja, dalam tradisi Sentani, Ondoafi dibantu oleh Abu Afa, Abu Akho dan Khoselo dengan tugas dan tanggungjawabnya masing – masing.

Terkait dengan sistem perekonomian, dimasa lalu, Rumah Ondoafi adalah pusat kegiatan ekonomi adat. Setiap anggota rumah tangga mempunyai fungsi ekonomi “food gathering” dari alam yang kemudian disalurkan dalam suatu mekanisme melalui rumah ondoafi sebagai kepala negara adat atau didelegasikan kepada kepala pemerintahan adat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam norma – norma adat mengenai cara mengumpulkan dan menyalurkan bahan kebutuhan pemenuhan nafkah hidup sehari – hari (Alexander Griapon, 2014).

Peran dan kewibawaan ondoafi mulai tergerus ketika Gereja dengan ajarannya mulai masuk, dan Pemerintah Republik Indonesia dengan sistem pemerintahan modernnya. Jika dimasa lalu, Ondoafi merupakan representasi dari Kekuasaan Sang Pencipta (penyebab kehidupan) dan Perusak (penyebab kematian), dengan adanya agama baru (Kristen Protestan), Ondoafi dipandang sebagai manusia biasa yang tidak mempunyai kekuatan religio magis dari Penguasa Agung.

Dalam sistem ketatanegaraan modern, dimana jaringan sistem pemerintahan dibuat secara bertingkat mulai dari tingkat yang terkecil yakni Pemerintah Kampung, Pemerintah Distrik, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat; Kedudukan Ondoafi diposisikan sebagai Tokoh Adat. Ia berada dalam satu wilayah kampung, dan kedudukannya berada di bawah Kepala Kampung.

Menurut Alexander Griapon & Subandriyo (2014) dalam bukunya yang berjudul Peran Ondoafi yang terapit diantara negara modern, agama baru dan ekonomi liberal, faham ekonomi liberal telah menghantam pusat kekuatan ekonomi keondoafian. Jika dulu Rumah Ondoafi menjadi sentral kegiatan ekonomi, dimana transaksi berlangsung dengan sistem barter hasil alam; kini dengan adanya perubahan ekonomi yang terjadi sepanjang abad XX, yakni pengaruh ekonomi liberal, menyebabkan sentra – sentra ekonomi memencar, di luar wilayah kekuasaan ondoafi. Suku bangsa asli beralih dari lingkungan alam asli kepada jaringan ekonomi dari luar. Masyarakat tidak lagi menggantungkan diri dari Sistem Ekonomi Ondoafi, namun beralih pada sektor – sektor ekonomi baru diluar cara hidup mereka semula, dan uang telah menjadi alat tukar yang utama.

Dampak modernisitas yang datang dari luar, secara masif mempengaruhi eksistensi Ke-Ondoafian. Peran dan fungsi Ondoafi dalam pemerintahan modern pun acapkali terabaikan. Menjadi angin segar bagi Para Ondoafi, ketika Pemerintah Kabupaten Jayapura, melalui Bupati Jayapura Mathius Awaitouw, meniupkan Program Pengembalian Jati Diri Masyarakat Adat dan mencanangkan “Kampung Adat” sebagai aksi nyata-nya. Kampung Adat adalah peluang bagi Ondoafi untuk “menghidupkan kembali” struktur dan fungsi kelembagaannya. Para Ondoafi yang telah sekian lama mengharapkan pengakuan pemerintah negara (modern) terhadap pemerintahan adat (budaya) dengan memberikan peluang kepada Ondoafi untuk menjalankan segala urusan asli berdasarkan kearifan lokalnya, kini terjawab melalui SK Bupati Jayapura No. 319 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Jayapura dan SK Bupati Jayapura No. 320 tentang Pembentukan 36 Kampung Adat di Kabupaten Jayapura.

Pengakuan legal-formal terhadap Kelompok Masyarakat Hukum Adat, telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura, dengan mencanangkan 4 Kampung sebagai Model Kampung Adat, namun Label Kampung Adat saja belumlah cukup untuk menjawab tantangan hidup di jaman globalisasi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun