Mohon tunggu...
Yuli D A
Yuli D A Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya Aku

Diam tanpa Ekspresi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kupu-Kupu Biru

30 Juli 2022   15:00 Diperbarui: 1 Agustus 2022   20:00 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bu, maafkan Aliya." bisik Aliya pada seorang wanita setengah baya yang duduk di sebelah seorang gadis yang terbaring di atas ranjang besi. 

Di kening dan pipi gadis itu ada luka lebam dan beberapa luka gores ranting tajam. Tangan dan kaki kiri terlilit kain perban bernoda merah, dan di punggung tangan kanan gadis itu tersemat jarum infus yang menembus pembuluh darah vena.

Tatapan wanita itu sendu melihat putri bungsunya yang sudah dua hari belum juga siuman. Kedua mata tampak bengkak dan kantung mata mulai menghitam, tampak jelas dia tidak bisa tidur memikirkan kondisi anaknya.

"Maafkan ibu , sayang." katanya gemetar sembari terisak

Dua hari yang sebelumnya...

Hari itu sang surya menampakkan keperkasaannya setelah semalam hujan badai. Hembusan angin segar membawa aroma petrichor sisa semalam. Ranting-ranting pinus patah berserakan, namun pohonnya masih gagah rapat tinggi menjulang. Suara beberapa burung pelatuk yang membuat sarang di pohon pinus menambah suasana alam yang mendamaikan. Namun tak sedamai hati Aliya yang berada dalam kekalutan.

Pagi itu Aliya tidak pergi ke sekolah, dia membelokkan laju sepedanya menembus hutan kecil menuju Sungai Zoba. Bayang - bayang Mia masih terlintas jelas dibenaknya.

'Untung kamu sudah masuk gank kita, kalau tidak kamu juga akan tertular sialnya, Mia. Nih lempar! Biar kesialannya nggak nularin kamu.' kata Desty sambil mengulurkan dua butir telur busuk pada Mia. 

Dengan tangan gemetaran Mia menerimanya dan melemparkan telur itu pada Aliya. 

Desty, Cika dan Iris tertawa senang setelah telur itu pecah meumuri tubuhnya.

Beberapa kali tangan kanannya mengusap butiran kristal yang meleleh tak terbendung. Kemudian terngiang suara makian ibunya pagi itu makin membuatnya terluka.

"Sial! Kenapa aku punya anak kamu. Andai kamu tidak lahir, aku tidak akan sesial ini!"

Kembali tangan kanannya mengusap  genangan air di matanya. 

"Apa salah ku? kenapa semua orang membenciku? Mungkin benar kata ibu, nggak ada gunanya aku dilahirkan? lebih baik aku mati. Mungkin dengan begitu semua akan senang." 

"Aku akan pergi selamanya jika itu yang membuat kalian senang! Aku benci kalian semua!" teriaknya kencang. Aliya terus mengayuh sepedanya makin cepat meskipun dia tahu jalan yang dilaluinya  menurun tajam dan berkelok-kelok.

Beberapa detik kemudian ...

Aulia tersentak, ketika sebuah truk dari arah berlawanan menghalangi sepertiga jalannya, tangannya reflek membanting stir ke kiri dan menabrak sebuah pohon besar hingga tubuhnya terlempar kurang lebih 5 meter dari jalan aspal.

Sopir truk yang kala itu juga sempat terkejut, tidak berani menghentikan kendaraannya, karena posisinya menanjak dan truk penuh dengan muatan pasir, dalam benaknya berfikir apabila dia berhenti mungkin truk akan oleng mundur dan akan masuk ke jurang. Akhirnya pengemudi truk itu terus melaju membiarkan tubuh Aliya terkapar di sana.

Beberapa menit kemudian mata Aliya terbuka perlahan, dia berusaha mengerakkan badannya, namun terasa sakit yang luar biasa mencengkeram  punggungnya. 

Selarik lumpur tertoreh di pipinya yang memar, ranting-ranting kering menancap di rambutnya yang panjang berombak. Ada beberapa luka tusukan kayu kering di lengan dan kali kirinya, yang mengakibatkan darah keluar dari sela-selanya, mulutnya berdesis menahan sakit namun ujung bibirnya tersungging meratapi nasib.

dok.isitmewa
dok.isitmewa

"Kenapa nggak sekalian mati saja. Hidup susah matipun tak bisa." Gumamnya

Beberapa menit kemudian seberkas cahaya putih melesat turun dari salah satu pohon pinus. Sesosok makhluk bersayap terbang rendah, rambut panjang putih berkilau senada dengan gaun panjang menjuntai. Aliya tertegun menatap makhluk mungil yang saat itu berada satu jengkal dari wajahnya.

"Hai.... Aku Peri  Ananta. Aku tak sengaja mendengar teriakanmu. Sepertinya kamu ada dalam masalah, apa kamu perlu bantuan?" katanya sembari tersenyum hangat.

"Peri, Apa aku tak salah lihat?" gumamnya.

Peri Ananta meyakinkan pada Aliya bahwa dia tidak salah lihat, kemudian merekapun berkenalan. 

Peri Ananta menceritakan tentang obsesinya untuk menjadi anak manusia.

Sepuluh tahun yang lalu dia bertemu dengan seorang gadis kecil yang asyik bermain sendiri di tepi sungai Zoba. Gadis itu seperti tidak mempunyai beban, dia menari, tertawa dan berlari kecil meski hanya ditemani kawanan kupu-kupu hutan. 

Sebagai seorang peri yang mempunyai sayap panjang, dia tidak bisa menggunakan kakinya untuk berjalan dan ingin merasakan apa yang dirasakan gadis kecil itu. 

Sampai suatu ketika gadis itu hanyut di sungai, untungnya pada saat itu dia berhasil menyelamatkannya, namun setelah itu gadis kecil tidak pernah terlihat lagi.

Kepergian gadis kecil membuat hatinya hampa, diapun menghadap ratu peri untuk meminta bantuan agar dirinya bisa menjadi seorang anak manusia karena dia ingin mencari keberadaan gadis kecil dengan tanda lahir kupu-kupu biru di punggung. 

Keinginannya dikabulkan ratu peri dengan syarat dia harus membantu mengabulkan seribu permintaan manusia dan apabila dia berhasil dalam tirakatnya dia akan menjadi manusia seutuhnya, namun dengan resiko ingatan dan kekuatan perinya akan hilang selamanya. 

Dan saat itu pertemuannya degan Aliya menyisakan dua permintaan saja dan setelah itu dia akan menjadi manusia. Peri Ananta berharap Aliya terbantu olehnya dan diapun mendapatkan apa yang dia inginkan.

 "Jadi manusia tidak seindah yang kamu bayangkan. Kalau aku bisa memilih aku tak ingin dilahirkan." Gumamnya sembari mengusap air matanya yang meleleh di pipinya.

Peri Ananta tersenyum, dia pun berkata, "Aku tidak akan menyesal, karena sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Katakanlah apa yang bisa aku bantu?"

"Baiklah,aku harap kamu bisa melakukannya. Aku ingin mati."

Peri Ananta terkejut, kemudian dia berfikir  dan berkata, "Maaf Aliya, aku tidak bisa melakukannya. Tapi aku bisa mengeluarkan jiwa dari ragamu, bagaimana apakah kamu bersedia?" tawar Peri Ananta.

"Mengeluarkan jiwa dari ragaku, itu sama saja mati?" gumam Aliya.

"Tidak, saat jiwa keluar, ragamu akan tetap hidup hanya saja tak bisa bergerak. Seandainya nanti kamu ingin kembali ke ragamu, kamu bisa menggunakan permintaan yang terakhir. Bagaimana?" jelas Peri Ananta.

"Aku tak ingin kembali. Kau lakukan saja, segera keluarkan aku dari raga ini!" pintanya

Peri Ananta tersenyum kemudian mulutnya berkomat-kamit dan mengibaskan tangan mungilnya kearah Aliya dan seketika itu juga jiwanya keluar dari raga. 

Aliya mendapati tubuhnya diam terpaku dengan kedua mata tertutup, namun masih terlihat nafas yang teratur, seperti sedang tertidur pulas. 

Wajah Aliya berseri ketika merasakan seluruh tubuhnya ringan, tangan dan kakinya putih seperti kapas. Dia berlari, menari berputar-putar kegirangan, senyumnya merekah seakan baru terbebas dari belenggu. 

Peri Ananta merasa senang namun tiba-tiba sekelebat wajah gadis kecil yang pernah ditemuinya sepuluh tahun yang lalu muncul. Senyum Aliya mengingatkannya pada gadis kecil itu.

Peri Ananta terkejut kembali, ketika Aliya menarik tangannya mengajak berdansa, ternyata dari seluruh orang yang pernah dibantu, hanya Aliya yang bisa menyentuh dirinya. Hatinya berdesir 'Apakah ini tanda kekuatan Periku akan segera musnah?'

Mereka berdua menyusuri sungai kecil Zoba sambil berbincang-bincang tentang impian masing-masing, keakraban yang baru terjalin beberapa jam saja, seakan sudah puluhan tahun saling mengenal. Langkah Aliya berhenti ketika pandangannya terpaku pada seorang gadis yang dianiaya 3 temannya di atas jembatan. Gadis itu adalah Mia.

"Ada apa Aliya, kenapa kamu berhenti?" tanya Peri Ananta.

"Mereka teman-temanku. Dia, Mia sahabatku yang aku ceritakan tadi." Aliya menunjuk empat orang yang berada di tengah jembatan. Beberapa saat kemudian seorang dari mereka tanpa sengaja mendorong Mia hingga jatuh terjun ke sungai, beberapa kali tubuh itu menyembul dan beberapa kali tenggelam lagi. Mia tidak bisa berenang. ketiga anak itu ketakutan dan bergegas pergi dari tempat itu.

"Miaa..." teriak Aliya sambil berlari mendekati jembatan.

"Tolong...tolong..." teriak Mia.

"Peri tolong Mia, selamatkan dia! Cepat Peri tolong Mia dia tidak bisa berenang, dia akan mati kalau tidak ditolong, cepat lakukan aku mohon!"

"Tapi Aliya, permintaanmu tinggal sekali untuk kembali ke ragamu!"

"Apa aku pantas hidup, ketika temanku diambang kematian? Meskipun dia pernah berbuat jahat padaku, tapi aku yakin dia tidak benar-benar ingin menyakitiku? Permintaan kedua ku adalah selamatkan hidup Mia, sekarang!"

 "Aliya maafkan aku." air mata Peri Ananta menetes tatkala dia mulai membaca mantra, suaranya bergetar parau. Hatinya menjerit tak rela atas permintaan terakhir Aliya. Aliya tersenyum dan mengangguk perlahan seakan berkata aku baik-baik saja.

Dua hari kemudian di Rumah Sakit Kasih Bunda...

"Aliyaaa..."

"Aliya, kamu sudah sadar nak?" wajah Ibu Aliya merekah melihat Aliya sadar.

"Aliya, maafkan aku. Maafkan aku," gadis itu menangis dan terus menyebut nama Aliya.

"Ada apa nak? kamu Aliya." Ibu Aliya bingung dengan perkataan Aliya, apa yang sebenarnya terjadi? mengapa Aliya memanggil namanya sendiri.

"Peri akhirnya keinginanmu terwujud, kamu sudah menemukannya, dan dia akan selalu ada di manapun kau berada." Aliya tersenyum, berbalik dan pergi menghilang.

Gadis kecil yang ditemui peri Ananta sepuluh tahun yang lalu adalah Aliya kecil dan dia sudah menyadari ketika Peri Ananta menyebutkan tanda lahir yang ada di punggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun