"Bu, maafkan Aliya." bisik Aliya pada seorang wanita setengah baya yang duduk di sebelah seorang gadis yang terbaring di atas ranjang besi.Â
Di kening dan pipi gadis itu ada luka lebam dan beberapa luka gores ranting tajam. Tangan dan kaki kiri terlilit kain perban bernoda merah, dan di punggung tangan kanan gadis itu tersemat jarum infus yang menembus pembuluh darah vena.
Tatapan wanita itu sendu melihat putri bungsunya yang sudah dua hari belum juga siuman. Kedua mata tampak bengkak dan kantung mata mulai menghitam, tampak jelas dia tidak bisa tidur memikirkan kondisi anaknya.
"Maafkan ibu , sayang." katanya gemetar sembari terisak
Dua hari yang sebelumnya...
Hari itu sang surya menampakkan keperkasaannya setelah semalam hujan badai. Hembusan angin segar membawa aroma petrichor sisa semalam. Ranting-ranting pinus patah berserakan, namun pohonnya masih gagah rapat tinggi menjulang. Suara beberapa burung pelatuk yang membuat sarang di pohon pinus menambah suasana alam yang mendamaikan. Namun tak sedamai hati Aliya yang berada dalam kekalutan.
Pagi itu Aliya tidak pergi ke sekolah, dia membelokkan laju sepedanya menembus hutan kecil menuju Sungai Zoba. Bayang - bayang Mia masih terlintas jelas dibenaknya.
'Untung kamu sudah masuk gank kita, kalau tidak kamu juga akan tertular sialnya, Mia. Nih lempar! Biar kesialannya nggak nularin kamu.' kata Desty sambil mengulurkan dua butir telur busuk pada Mia.Â
Dengan tangan gemetaran Mia menerimanya dan melemparkan telur itu pada Aliya.Â
Desty, Cika dan Iris tertawa senang setelah telur itu pecah meumuri tubuhnya.