Ditawari berkali-kali menjadi guru melukis mengajarkan murid untuk menggambar, saya selalu menolak.
Kenapa?
Karena saya guru yang buruk: saya tidak akan mengajarkan mereka cara-cara mendapatkan nilai yang bagus.
Kenapa?
Karena saya tidak mau memberi "contoh" karya yang dianggap "cantik" atau "tidak cantik" dan membentuk persepsi estetik jiwa-jiwa bebas.
Saat saya TK, semua murid menggambar hal yang sama: garis horizontal batas dari perspektif sawah dengan jalan setapak, dan matahari terbit atau terbenam di antara dua gunung. Dihiasi dengan burung-burung seperti logo McDonald's.
Saat saya SD, hal yang paling saya ahli adalah mencontoh "gaya seni" guru kesenian. Murid diberi topik "pasar", "Natal", "Ramadhan", atau "buah-buahan", lalu dinilai.
75, 80, 85.
Gradasi warna tercampur degan cara mengaburkan 2-3 warna krayon dengan gerakan memutar, proporsi anatomi mendekati nyata dengan garis konsisten adalah karya yang indah.
Sering gambaran saya diambil dan dipajang; memenangkan kompetisi sekolah, level kecamatan dan provinsi.
Kok bisa?
Karena semua, murid, guru dan juri, punya persepsi yang sama akan "keindahan".
Superior Pattern Processing (SPP), yang menyelamatkan kita dari seleksi alam ribuan tahun, adalah fitur unik otak manusia yang berevolusi seperti learning machine yang sangat pintar mengobservasi pola (Mattson, 2014).
Anak-anak pun, terbiasa melihat dan mencontoh desain dan corak itu-itu saja dan membunuh kreativitas mereka. Dan terbawa sampai mati. Saya tidak setuju dengan pelajaran kesenian yang dinilai dan dikomentari. Apakah seni yang sifatnya kualitatif bisa dikuantitatifkan?
Sejak 4 tahun, saya terbiasa memanipulasi gaya lukisanku sendiri. Sampai-sampai, saya kurang mengeksplorasi art style-ku karena teman-teman dan guru hanya memuji apa yang mereka mengerti: gaya realistis, manga, karikatur, dan ilustrasi dengan warna-warna seimbang. Saya menjual karya-karya gaya mainstream hanya untuk honor dan uang. Karena itu yang pasti laku dan dianggap indah.
Saat kuliah (jurusan manajemen bisnis), beberapa kali kucoret-coret buku pelajaran saat di kelas dengan aliranku dan gayaku saya yang sebenarnya. Bayangan untuk efek 3D aku buat dengan coretan awut-awutan dan tegas. Saya tahu itu gayaku, karena saya merasa lega setelah menggambar, setelah bereskpresi.Â
Apa jadinya kalau master Edvard Munch, El Greco, Georger Seurat, Diego Rivera, William Turner, Jackson Pollock, Kazimir Malevich, dan seniman-seniman aliran surealisme, abstraksionisme, ekspresionisme, fauvisme, atau aliran lain yang dianggap "tidak biasa", lahir di Indonesia? Lebih tepatnya di kurikulum KTSP? Berapa banyak seniman eksentrik Indonesia yang mati karena karyanya dinilai 60 saat SD?
Saya teringat quote Albert Einstein, "Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid". Semua orang adalah seniman. Tetapi, kalau dinilai dari pre-determined parameter, yang berseni hanyalah robot-robot yang berkarya tanpa hati.
Kata orang, seni itu subjektif; tapi sekolah mengajarkan subjektivitas yang sama.
Seminyak, 16 April 2018
Yulia RatnasariÂ
P.S. Saya tetap mendukung sekolah mengajarkan ilmu-ilmu, teori (seperti perspektif, vignette), sejarah, seni rupa negara, dan aplikasi seni; tetapi hanya untuk pengetahuan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H