Saat kuliah (jurusan manajemen bisnis), beberapa kali kucoret-coret buku pelajaran saat di kelas dengan aliranku dan gayaku saya yang sebenarnya. Bayangan untuk efek 3D aku buat dengan coretan awut-awutan dan tegas. Saya tahu itu gayaku, karena saya merasa lega setelah menggambar, setelah bereskpresi.Â
Apa jadinya kalau master Edvard Munch, El Greco, Georger Seurat, Diego Rivera, William Turner, Jackson Pollock, Kazimir Malevich, dan seniman-seniman aliran surealisme, abstraksionisme, ekspresionisme, fauvisme, atau aliran lain yang dianggap "tidak biasa", lahir di Indonesia? Lebih tepatnya di kurikulum KTSP? Berapa banyak seniman eksentrik Indonesia yang mati karena karyanya dinilai 60 saat SD?
Saya teringat quote Albert Einstein, "Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid". Semua orang adalah seniman. Tetapi, kalau dinilai dari pre-determined parameter, yang berseni hanyalah robot-robot yang berkarya tanpa hati.
Kata orang, seni itu subjektif; tapi sekolah mengajarkan subjektivitas yang sama.
Seminyak, 16 April 2018
Yulia RatnasariÂ
P.S. Saya tetap mendukung sekolah mengajarkan ilmu-ilmu, teori (seperti perspektif, vignette), sejarah, seni rupa negara, dan aplikasi seni; tetapi hanya untuk pengetahuan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H