Mohon tunggu...
yulianto liestiono
yulianto liestiono Mohon Tunggu... Freelancer - perupa

Lahir di Magelang. Pendidikan terakhir ISI (Institut Seni Indonesia )Jogjakarta. Tinggal di Depok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karya I Nyoman, Cokot dan Cokotisme

10 November 2020   22:16 Diperbarui: 10 November 2020   23:38 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun demikian sebuah budaya atau khususnya karya seni tetap akan memiliki "DNA"  nya sendiri, karena karya seni bukanlah perwujudan dari komposisi bahan yang dapat diperjualbelikan.

Orang bisa saja membuat makanan yang sama rasanya walau ia berada di lokasi yang berbeda, karena bahan yang dibuatnya relatif sama. Namun demikian karya seni tak akan dapat dibuat oleh orang lain untuk menghasilkan karya yang sama, bahkan kalau di teliti lebih tajam, senimannya sendiri nyaris tak dapat membuat karya yang sama.

Mengapa demikian? Tak lain karena karya seni itu membutuhkan rasa untuk mewujudkannya. Rasa yang akan muncul pada saat senimannya berkarya, imajinasinya, ketrampilannya dan juga bahannya selalu berbeda setiap kali seniman berkarya.

Cokotisme sesungguhnya sebuah "menu" atau "rumusan" yang dihasilkan dari perjalanan panjang senimannya, baik perjalanan waktu maupun perjalanan spiritual. Rumusan untuk menghasilkan karya yang kini kita sebut Cokotisme semacam ini sesungguhnya sebuah harta karun. Karena dengan menggunakan rumusan cokotisme maka seseorang lebih mudah untuk menghasilkan karya yang baik dan memiliki nilai jual.

Metoda Cokot merespon kayu secara utuh dan kadang membalik posisinya, dengan menempatkan bagian akar atau bawah pohon menjadi bagian atas, juga sebuah "rumus" yang jitu untuk menghasilkan sensasi unik.

Cara menatah kayu yang kasar tanpa diamplas, juga memungkinkan masyarakat mengikuti gaya Cokot, metode seperti ini sangat efisien dan ekonomis, namun dibalik itu dengan tampilan yang "kasar ini justru ekspresinya bertambah kuat dan magis. Demikian juga finishingnya yang umumnya tidak di varnis (mengkilat) juga menunjukan sesuatu yang alamiah dan malah "bernyawa".

Menghargai karya Cokot dan Cokotisme, menggali data yang terpendam, mempublikasikannya, "menghidupkan" karya kerabat Cokot dan mengurusnya dengan baik, sesungguhnya adalah usaha menjaga dan merawat harta karun yang dapat meningkatkan devisa.

Kesenian atau kebudayaan sebagai produk tentu tak dapat secara langsung diintervensi atau dicampur adukan dengan bisnis. Biarlah seniman berkarya sebebas dan sejujur mereka mengungkapkan perasaan dalam berkesenian. Namun tentu produk kesenian tak dapat dibiarkan begitu saja "menunggu" nasibnya. Marketing, promosi, manajement dan lain lainnya adalah bagian lain dari kegiatan seni rupa. Namun sejatinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa itu sendiri.

Chryshnanda Dwilaksana, menyadari hal ini harus mulai dia lakukan karena dia peduli dengan kesenian dan kehidupan bangsa ini. Penerbitan buku Cokot dan Cokotisme serta berbagai kegiatan menumbuhkembangkan Cokotisme, seperti menyediakan berbagai fasilitas untuk kerabat Cokot berkarya adalah  usaha nyata untuk mewujudkan  imajinasi Chryshnanda Dwilaksana dalam ikut membangun negri ini melalui budaya. Agar manusianya semakin manusiawi.

Semoga semua yang dilakukan dan diimpikan banyak seniman Indonesia untuk dapat berkarya dan menjadi bagian penting dari pertumbuhan dan perkembangan  kehidupan bangsa ini dapat terwujud dengan maksimal.

Yulianto Liestiono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun