Mohon tunggu...
yulianto liestiono
yulianto liestiono Mohon Tunggu... Freelancer - perupa

Lahir di Magelang. Pendidikan terakhir ISI (Institut Seni Indonesia )Jogjakarta. Tinggal di Depok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Rupa di Kampoeng Semar

26 Juni 2020   10:37 Diperbarui: 26 Juni 2020   10:38 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Seni rupa Indonesia terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan keadaan, tidak terlalu masalah dengan  berbagai kendalanya. Justru kendala yang ada menumbuhkan berbagai kreatifitas dan terobosan. Lahirnya sebuah "kebaruan" seringkali justru karena masyarakat dihadapkan pada satu kendala besar.  Ini sudah menjadi hukum alam yang harus tetap kita syukuri.

Masih dapat kita lihat dengan jelas bagaimana Affandi, SS Sudjojono dan kawan kawannya menghadapi hegemoni Belanda baik secara politik maupun budaya. Dalam kesenian corak  "Moii Indie" yang dapat disebut sebagai wajah Belanda justru melahirkan atau meledakan semangat perupa perupa "pribumi" dan akhirnya merumuskan Jiwo Kethok sebagai wajah Indonesia. Tidak mudah ini dapat terjadi dan tidak sedikit hambatan yang harus mereka lampaui. Namun justru dengan kondisi seperti itu maka kekuatan mereka menjadi tampak. Nasionalisme menjadi "bubuk mesiu" mereka merangkainya dan meledakan dengan "Jiwo kethok".

Dimasa yang lain tekanan "Nasionalisme" yang dianggap sempit sebagai  upaya menumbuhkan kepribadian bangsa kepada perupa perupa muda tahun 70 -- 80 an. 

Dihadapi dengan berbagai sikap. Ke Indonesiaan yang ditafsirkan sempit dengan hanya menerapkan ikon ikon budaya yang ada sudah dirasakan sebagai barang antik dan tidak menantang. Maka lahirlah GSRB dan kelompok PIPA mereka menerabas berbagai rintangan dari senior mereka. 

Taruhannya sangat besar bahkan sebagian mahasiswa ASRI mendapat hadiah DO dan dikeluarkan dari sekolahnya. Apa yang terjadi kemudian kita dapat melihatnya sekarang. Mereka para aktifis GSRB maupun PIPA seolah menjadi "kompas" seni rupa Indonesia.

Diera berikutnya tekanan juga tetap muncul, namun tekanan bersumber pada sistim politik yang otoriter . Zaman ORBA sempat memenjarakan Hardi dalam arti yang sebenarnya (Hardi masuk sel beberapa hari) karena ia menggambarkan dirinya sebagai alternatif presiden. Namun justru tekanan politik yang super keras ini melahirkan seniman seniman seniman "baru" yang mampu mengolah persoalan poltik menjadi bahasan karyanya.

Persoalan seperti ini barangkali sudah menjadi kodrat dunia seni rupa. Kini "tantangan" barunya adalah virus covid-19  yang otomatis menyekat dan mengikat banyak orang hingga nyaris tak dapat bergerak. Namun seperti pada umumnya hukum alam bahwa setiap kesulitan pasti ada jalannya setiap penyakit ada obatnya. Pandemi korona virus ini justru melahikan kegiatan baru dalam berseni rupa. 

Diskusi daring nyaris tumbuh seperti jamur dimusim hujan demikian juga pameran online juga menjadi "kenyataan" baru sebagai galeri, menggantikan "galeri dinding". 

Demikian juga perkumpulan atau kelompok perupa yang dulunya berbasis lokasi, atau berbasis akademi dan lainnya sekarang kelompok kesenian atau perupa tidak lagi terbatas pada hal yang konvensional tadi. 

Kini kelompok seni rupa bisa jadi hanya berbasis "ideologi" dan kesamaan tujuan atau motivasi. Anggotanya bisa lintas usia, lintas kota dan lintas lainnya. Ini karena adanya komunitas daring yang dapat menggunakan teknologi IT sebagai wadahnya.

Kampoeng Semar adalah satu dari sekian banyak nama dari kelompok seperti itu. Secara teks Kampoeng Semar ber pusat di Borobudur. Kelompok yang dimotori Chryshnanda Dwilaksana, pelukis sekaligus Jendral Polisi ini terus bergiat untuk menumbuhkan, mengembangkan, memasarkan kesenian dengan cara daring maupun konvensional. 

Diskusi seni yang oleh CDL (kependekan nama Chryshnanada Dwilakasana) disebut sebagai KONGSEN atau Kongkow Seni, mulai digalakan sebagai acara mingguan. Ini sebuah upaya menghadapi "kendala" dengan cara yang positif. Tetap gembira tetap semangat, menumbuhkan kreatifitas dan harapan.

 Seni di Kampoeng  Semar diramu dengan sangat egaliter dalam pengertian tidak berdasar pada status akademi, status senioritas, status sosial dan lainnya. 

Seni dimaknai sebagai ekspresi kegembiraan, ekspresi doa, ekspresi harapan yang layak dilakukan dan pantas disyukuri oleh kita semua. Seni justru ditarik menjadi media penyatu dan bukan menjadi media pemisah.

Semoga Kampoeng Semar terus dapat bergerak dan tumbuh mengisi seni rupa Indonesia yang sesungguhnya sangat beragam dan tidak akan dapat disekat sekat atau diikat. Virus korona pasti akan berlalu namun sebaliknya kesenian justru akan menandai virus itu sebagai kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Konsep dasarnya adalah bukan  Memikirkan Apa yang dapat Kita Lakukan, namun Melakukan apa yang Kita Pikirkan. Jadi selama kita masih dapat berpikir maka masih banyak yang dapat kita lakukan. Karena segala kenyataan sesungguhnya adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Kasih.

Yulianto Liestiono , Depok, 260620

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun