Mohon tunggu...
Feby Dwi Sutianto
Feby Dwi Sutianto Mohon Tunggu... -

a learner

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berkunjung ke Kampung Bali di China

5 Juli 2017   22:22 Diperbarui: 8 Juli 2017   14:37 32671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh dari Indonesia, tepatnya di Negara China, terdapat sebuah perkampungan yang sangat unik. Perkampungan yang berlokasi di Kota Quanzhou, Provinsi Fujian, China ini bernama Kampung Bali.

Perjalanan ke Kampung Bali kali ini, saya ditemani beberapa pelajar Indonesia, salah satunya Refgy, mahasiswa di Huaqiao University, Quanzhou. Refgy mengaku sebetulnya ada perkampungan Indonesia seperti Kampung Jawa hingga Sumatera di Quanzhou, namun Kampung Bali terbilang paling solid di antara perkampungan Indonesia di Quanzhou.

Tak sulit mencapai Kampung Bali. Dari Stasiun Kereta Cepat Quanzhou menuju Kampung Bali, hanya butuh waktu sekitar 20 menit menggunakan bus umum nomor 45. Cukup membayar tiket bus RMB 2 atau sekitar Rp 4.000. Uniknya, halte pemberhentian bus juga bertuliskan 'Kampung Bali Nansan'. Halte bus berada sekitar 20 meter dari pintu utama Kampung Bali.

Sampai di depan perkampungan, suasana Bali sangat terasa. Bangunan berbentuk gapura dan pura menyambut kedatangan kami. Begitu pula terdapat umbul-umbul berwarna-warni yang identik dengan suasana Bali. Menurut informasi, penduduk Kampung Bali mencapai 700 orang.

Di pintu masuk, terpampang jelas tulisan "Selamat Datang di Kampung Bali" dan tulisan "Kampung Bali Indonesia". Penanda itu menambah keyakinan saya bahwa penduduk di sini merupakan keturunan Indonesia.

Foto: Tulisan Selamat Datang di Kampung Bali
Foto: Tulisan Selamat Datang di Kampung Bali
Sambutan Warga Kampung Bali: Tiang Uling Seririt

Perkampungan Bali yang dikelilingi perbukitan terlihat sangat asri dan rapi. Bangunan bertingkat di kiri dan kanan jalan menyambut kedatangan kami usai memasuki gapura. Sekitar 30 meter dari pintu masuk, terdapat beberapa pria dan wanita berusia sekitar 70 -80 tahun duduk di sebuah warung.

"Yang pakai topi bertulisan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) itu, salah satu penduduk Kampung Bali," ucap Refgy yang beberapa kali mengunjungi Kampung Bali.

Sesuai namanya, warga Kampung Bali berkomunikasi menggunakan Bahasa Bali. Untuk membuktikan itu, saya mencoba mengunakan Bahasa Bali sebagai pembuka komunikasi.

Kami menghampiri sekitar 5 pria dan wanita paruh baya. Saya memperkenalkan diri dalam Bahasa Bali.

"Tiang Feby, tiang uling Negara (Saya Feby, saya asli dari Negara)," ucap Saya kepada warga Kampung Bali.

Negara sendiri merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Jembrana, Bali. Tak menunggu lama, percakan semakin ramai dengan dialek Bali.

"Tiang uling Seririt (saya dari Seririt)," ucap wanita paruh baya warga Kampung Bali yang bernama Lim Dji San.

"Lamun tiang uling Buleleng (kalau saya dari Buleleng)," lanjut pria bertopi Korpri yang bernama The Phik Pa.

Seririt merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Buleleng, Bali.

Percakapan nyaris berlangsung dalam Bahasa Bali, namun sesekali diselingi Bahasa Mandarin hingga Bahasa Indonesia.

Lim Dji San mengaku telah tinggal di Kampung Bali sejak tahun 1961 atau saat ia berusia 12 tahun. Saat datang dan menetap di Quanzhou, wanita yang pernah bekerja sebagai guru taman kanak-kanak ini datang bersama ayah dan ibu. Meski berdarah dan berwajah keturunan Tionghoa, Lim Dji San mengaku bila sang ibu merupakan wanita asli Bali yang ikut hijrah ke China bersama suami dan anaknya.

"Waktu itu, enam orang balik ke China, di sini lahir satu orang lagi. Semua orang tua sudah meninggal. Ibu saya orang asli Bali, bapak yang keturunan China," ucap Lim Dji San.

Hal serupa disampaikan Tan Kok Tjian. Pria pensiunan guru di China ini mengaku bila sang ibu merupakan keturunan asli Bali, sedangkan ayahnya berdarah Tionghoa. Ia lahir dan besar di Buleleng Bali, namun hijrah bersama keluarga ke kota pesisir selatan China ini pada tahun 1961.

"Ibu saya juga orang asli Bali. Saya jadi guru di sini tapi sudah pensiun. Saya dari Singaraja, keluarga juga masih banyak di Bali," tambahnya.

The Phik Pa, pensiunan dokter yang lahir di Buleleng Bali, menambahkan bila di Kampung Bali masih ada seorang sesepuh asli Bali yang masih hidup namun usianya sudah sangat tua.

"Sekarang ada orang asli Bali yang masih hidup. Itu namanya Ni Rimpek, semua anaknya dikasih nama Bali kayak Ni Putu," ujar Pria Bertopi Korpri ini.

Foto: Pelajar Indonesia dan Warga Kampung Bali
Foto: Pelajar Indonesia dan Warga Kampung Bali
Meski percakapan para pria dan wanita paruh baya di Kampung Bali menggunakan Bahasa Bali hingga Bahasa Indonesia, namun mereka mengalami kesulitan ketika menuliskan namanya dalam tulisan latin. Hal ini dialami oleh Koh Ho Ting.

"Dulu sekolah di Indonesia, tapi itu 56 tahun lalu, jadi sekarang sudah agak lupa (tulisan latin Bahasa Indonesia). Saya datang ke sini tahun 1961. Istri saya sekarang usia 70 tahun. Saya sendiri usia 72 tahun," ujar Pria yang berprofesi terakhir sebagai tentara di China ini.

Hal serupa juga dialami oleh anak dan cucu mereka yang rata-rata kini hanya mengerti sedikit tentang Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali. Maklum saja, mereka telah terlahir dan bersekolah di China yang sehari-hari menggunakan Bahasa Mandarin.

"Anak dan cucu sudah nggak bisa Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali. Mereka bisa cuma dengar saja, karena orang tuanya sekarang pakai Bahasa Mandarin, di sekolah juga dapat Bahasa Mandarin jadi nggak bisa ngomong Bali dan Indonesia," ucap wanita bernama The Chun Nio.

Foto: halte bus kampung Bali di Quanzhou
Foto: halte bus kampung Bali di Quanzhou
Cuitan Warga Kampung Bali: Saya Kangen Ayam Betutu Gilimanuk

Meski telah menjadi Warga Negara China, mereka tetap menjaga silaturahmi dengan keluarga besar mereka yang ada di Bali. Mereka beberapa kali pulang ke Bali untuk mengunjungi keluarga hingga sekadar berlibur.

"Sudah 5 kali pulang ke Bali. Terakhir tahun 2012. Saya masih punya family di Indonesia, kebetulan saya anak paling besar," ucap Tan Kok Tjian.

Selain menjaga silaturahmi, mereka juga kangen dengan rumah masa kecil. Ada juga yang mengaku rindu mencicipi masakan Bali seperti disampaikan oleh Koh Ho Ting.

"Saya kangen sama Ayam Betutu Gilimanuk sama Babi Guling di Gianyar," ujarnya.

Ketika saya mengunjungi Kampung Bali tanggal 23 Juni 2017, penduduk sedang 'mempercantik' kampungnya untuk menyambut kunjungan perwakilan dari Provinsi Bali pada tanggal 24 Juni 2017.

Lim Dji San yang kini lebih banyak tinggal di Shenzhen, China bersama anak dan cucunya, khusus datang ke Kampung Bali untuk menghadiri pertemuan dengan Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT) Provinsi Bali. Ia juga akan membawakan tarian pada acara penyambutan tersebut.

Foto: Suasana Kampung Bali yang Dikelilingi Perbukitan
Foto: Suasana Kampung Bali yang Dikelilingi Perbukitan
"Terakhir acara 2011. Setiap 6 tahun sekali baru ramai. Sudah di sini ngapain pulang. Lihat ada yang menari. Saya sudah dari Shenzhen saja ke sini. Tinggal di sini aja. Setelah itu baru balik," ujarnya kepada kami.

Selain tarian, warga Kampung Bali akan menyajikan berbagai sajian panganan khas bali seperti lawar, tum, hingga nasi kuning.

Di lokasi acara yang berada di lapangan basket, terlihat beberapa pria paruh baya sedang sibuk mempersiapkan dan menghias panggung pertunjukan. Terlihat jelas, sebuah spanduk ucapan selamat datang untuk rombongan PPIT Provinsi Bali.

Meski acara terbilang jarang, The Phik Pa menutar memori masa lalunya. Ia teringat bila pertemuan dan pertunjukan budaya terbesar di Kampung Bali pernah digelar pada tahun 1990an.

"Tahun 1990an perayaan paling meriah, karena ada yang nyanyi lagu Indonesia, terus joged Bali. Itu perayaan paling meriah. Sekarang sudah banyak yang meninggal," ucap The Phik Pa.

Foto: Hunian di Kampung Bali
Foto: Hunian di Kampung Bali
Datang Tahun 1961, Mereka Kerap Ditolak Warga Lokal

Kampung Bali berdiri di Kota Quanzhou sejak 1961. Mereka datang dari berbagai kabupaten di Provinsi Bali. Kepulangan warga keturunan Tionghoa ke tanah leluhurnya di China karena adanya Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 10 Tahun 1959.

Dalam peraturan itu, menyebutkan larangan bagi orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada Warga Negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari 1960. Mayoritas pedagang besar hingga tinggal eceran saat itu dipegang oleh warga Indonesia keturunan Tionghoa atau warga asli Tiongkok.

Bagi yang tak setuju dengan aturan itu, mereka memilih kembali ke China. Lim Sin Eng mengaku kala itu ia bekerja pada sebuah toko kelontong di Denpasar. Mendapat informasi soal kepulangan ke tanah leluhurnya. Lim Sin Eng yang saat tahun 1961 masih berusia 27 tahun, ikut mendaftar.

Ia dan bersama ribuan warga keturunan Tionghoa dan warga asli Bali yang menikah dengan warga keturunan naik kapal menuju Quanzhou, Fujian.

"Saya waktu itu belum kawin, waktu balik nggak dipungut biaya. Saya naik kapal, cuma nggak boleh bawa barang, termasuk arloji nggak boleh. Itu ada ribuan orang, kapalnya besar sekali. Kita berangkat dari Bali," tuturnya.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu pekan, akhirnya rombongan warga asal Bali tiba di Quanzhou. Bayangan awal soal China yang hidup berkecukupan dan memiliki infrastruktur mumpuni sirna saat awal-awal menginjakkan kaki di dataran China.

"Sampai di sini, saya lihat orang asli China pakai celana dan baju biru tembelan banyak. Semua nggak pakai sepatu. Waktu saya berpikir kok begini Tiongkok, nggak sama kayak di film," ungkap pria berusia 83 tahun ini.

Foto: Seorang Pelajar Indonesia dan Lim Sin Eng
Foto: Seorang Pelajar Indonesia dan Lim Sin Eng
Seperti diketahui, China mengalami kesulitan dari sisi perekonomian sebelum tahun 1978 atau sebelum dimulainya era industrialisasi.

Selain kekecewaan, pria yang lahir dan besar di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan ini, mengaku warga Kampung Bali kerap diolok-olok oleh warga Tiongkok. Meskipun warga Kampung Bali memiliki darah Tiongkok dan wajah mirip penduduk lokal, namun mereka masih dipandang sebelah mata.

Tak jarang, mereka terlibat perkelahian dengan penduduk asli China. Untung saja, warga Kampung Bali memiliki kemampuan bela diri.

"Kita sering pukulan (berkelahi) sama orang totok (lokal) sini. Kita nggak ngerti, apa-apa. Kita dimaki-maki sama orang Tiongkok. Belakangan beberapa bulan di sini, kita baru mengerti artinya, baru kita lawan mereka. Kita nggak takut, biar dikeroyok. Kita di Indonesia sering lihat film koboi, kita di Indonesia juga belajar silat," sebutnya.

Setelah itu, pihak keamanan mendatangi Kampung Bali. Pria dewasa diminta berkumpul untuk mengaku karena ada warga asli Tiongkok yang kalah berkelahi namun mengadu ke pihak Kepolisian. Dengan penuh canda, Lim Sin Eng di depan pihak keamanan memberi komando dalam Bahasa Bali agar tidak mengaku.

"Polisi datang malamnya, kita diminta kumpul untuk rapat. Kita ngomong dalam Bahasa Bali, do nyak ngaku (jangan mau mengaku), biar siapa yang mukul," kelakarnya.

Semenjak itu, warga lokal jarang yang berperilaku aneh terhadap penduduk Kampung Bali.

Selain penolakan, Lim Sin Eng mengaku susahnya kehidupan awal-awal di China. Mereka harus bekerja keras. Lim Sin Eng sendiri bekerja sebagai petani untuk bertahan hidup. Ia bahkan pernah merasakan makan nasi bercampur pasir.

"Tangan saya sampai keluar darah karena nggak pernah pegang pacul di Indonesia. Makan kurang, semua kurang. Memang nangis. Bukan sendiri tapi orang tua juga nangis. Kalau tahu gini di China, saya nggak mau pulang ke Tiongkok," kenangnya.

Selain kendala di sisi ekonomi dan pasokan pangan, warga Kampung Bali yang anak-anak juga mengalami kesulitan dalam penyesuaian bahasa dan belajar.

Hal ini dialami oleh, Lim Dji San. Saat itu, ia baru berusia 12 tahun dan masih duduk di kelas 3 sekolah dasar di Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali.

"Saya masuk di sini, ujian masuk. Saya nggak bisa Bahasa Tionghoa. Semua hitungan, pakai Bahasa Tionghoa, saya satu huruf saja nggak kenal. Saya nangis. Saya umur 12 tahun, saya minta masuk ke kelas satu, tapi gurunya bilang nggak bisa," jelasnya.

Namun berjalannya waktu, Lim Dji San akhirnya bisa mempelajari Bahasa Mandarin. Sebelum pensiun, ia berprofesi sebagai seorang guru.

Foto: Pertunjukan Seni Warga Kampung Bali Pada Sebuah Acara
Foto: Pertunjukan Seni Warga Kampung Bali Pada Sebuah Acara
Perhatian Pemerintah China: Diberi Pensiun sampai Dibangunkan Rusun

Setelah 56 tahun sejak kedatangan pertama kali, kini Tiongkok sudah berubah. Mereka ikut merasakan dampak positif perkembangan pesat dari perekonomian China.

Dahulu, mereka tinggal di tempat sempit, kini Pemerintah Tiongkok membangunkan hunian layak huni bertingkat atau mirip rumah susun. Bagi yang memiliki uang, warga Kampung Bali memilih membangun sendiri rumahnya.

"Ini bangunan yang bangunkan Pemerintah China," ungkap Lim Dji San yang menemami kami melihat rumah susun.

Kami juga sempat diminta mengunjungi salah satu rumah warga yang dibangun sendiri. Hunian pribadi tersebut milik pasangan The Chun Nio dan Koh Ho Ting. Dengan ramah, warga Kampung Bali yang berasal dari Buleleng ini menjamu kami. Di rumah mewah dan bersih ini, mereka tinggal berdua. Sementara, anak dan cucunya memilih tinggal di apartemen di pusat Kota Quanzhou.

Foto: Hunian Bertingkat yang Dibangun Pemerintah China
Foto: Hunian Bertingkat yang Dibangun Pemerintah China
"Saya biasa tinggal sama anak dan cucu di Quanzhou. Mereka tinggal di apartemen. Kalau kepengin, saya balik ke sini," ujar Koh Ho Ting.

Selain mendapat perhatian dari sisi infrastruktur, warga kampung Bali juga memperoleh uang pensiun. Uang pensiun diberikan bagi kaum pria dan wanita. Rata-rata mereka menerima uang pensiun paling sedikit RMB 2.000 atau setara Rp 4 juta per bulan dari Pemerintah China.

Foto: Hunian Awal untuk Warga Kampung Bali
Foto: Hunian Awal untuk Warga Kampung Bali
"Sekarang Pemerintah Tiongkok baik. Di sini paling sedikit dapat RMB 2.000 per bulan. Itu sudah cukup. Besarannya terus naik. Terus ada uang tunjangan di waktu tertentu," ungkap The Phik Pa.

Bahkan, Lim Sin Eng bercerita bahwa saudaranya yang datang dari Indonesia sampai terkejut ketika menyambanginya di Kampung Bali. Mereka terkesan dengan perkembangan China, termasuk Kota Quanzhou. Jalan-jalan dibangun lebar dan bangunan pencakar langit di mana-mana, termasuk juga perkembangan infrastruktur transportasi seperti kereta cepat.

Tak terasa, waktu kunjungan saya bersama teman-teman pelajar Indonesia ke Kampung Bali berlangsung 3 jam. Kami memutuskan segera balik ke Kota Xiamen, Fujian menggunakan kereta cepat. Sebelum berpamintan, kami meminta foto bersama. Mereka juga memberi kami berbagai macam makanan dan minuman sebagai bekal, termasuk sambal terasi.

"Kalau ke Quanzhou, mampir lagi ke sini. Jangan sungkan-sungkan. Saya senang sekali didatangi saudara dari Indonesia," ungkap Lim Sin Eng.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun