Selain kendala di sisi ekonomi dan pasokan pangan, warga Kampung Bali yang anak-anak juga mengalami kesulitan dalam penyesuaian bahasa dan belajar.
Hal ini dialami oleh, Lim Dji San. Saat itu, ia baru berusia 12 tahun dan masih duduk di kelas 3 sekolah dasar di Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali.
"Saya masuk di sini, ujian masuk. Saya nggak bisa Bahasa Tionghoa. Semua hitungan, pakai Bahasa Tionghoa, saya satu huruf saja nggak kenal. Saya nangis. Saya umur 12 tahun, saya minta masuk ke kelas satu, tapi gurunya bilang nggak bisa," jelasnya.
Namun berjalannya waktu, Lim Dji San akhirnya bisa mempelajari Bahasa Mandarin. Sebelum pensiun, ia berprofesi sebagai seorang guru.
Setelah 56 tahun sejak kedatangan pertama kali, kini Tiongkok sudah berubah. Mereka ikut merasakan dampak positif perkembangan pesat dari perekonomian China.
Dahulu, mereka tinggal di tempat sempit, kini Pemerintah Tiongkok membangunkan hunian layak huni bertingkat atau mirip rumah susun. Bagi yang memiliki uang, warga Kampung Bali memilih membangun sendiri rumahnya.
"Ini bangunan yang bangunkan Pemerintah China," ungkap Lim Dji San yang menemami kami melihat rumah susun.
Kami juga sempat diminta mengunjungi salah satu rumah warga yang dibangun sendiri. Hunian pribadi tersebut milik pasangan The Chun Nio dan Koh Ho Ting. Dengan ramah, warga Kampung Bali yang berasal dari Buleleng ini menjamu kami. Di rumah mewah dan bersih ini, mereka tinggal berdua. Sementara, anak dan cucunya memilih tinggal di apartemen di pusat Kota Quanzhou.
Selain mendapat perhatian dari sisi infrastruktur, warga kampung Bali juga memperoleh uang pensiun. Uang pensiun diberikan bagi kaum pria dan wanita. Rata-rata mereka menerima uang pensiun paling sedikit RMB 2.000 atau setara Rp 4 juta per bulan dari Pemerintah China.