Mohon tunggu...
Feby Dwi Sutianto
Feby Dwi Sutianto Mohon Tunggu... -

a learner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Qatar 'Salip' Saudi Hingga Amerika

22 Juni 2017   14:52 Diperbarui: 8 Juli 2017   14:44 4290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 5 Juni 2017, dunia dikejutkan dengan pemutusan hubungan diplomatik 'dadakan' kepada Qatar oleh Arab Saudi dan beberapa negara Timur Tengah seperti Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Yaman, Libya, menyusul kemudian Maladewa. Perselisihan ini cukup unik karena Arab Saudi, UAE, Libya, dan Qatar sebetulnya juga bersahabat sejak lama, apalagi mereka sama-sama berada di organisasi produsen minyak dunia, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sejak 1960-an.

'Perceraian' diplomatik ini dikaitkan tudingan bahwa Qatar mendukung aktivitas teroris, meskipun sangkaan itu belum bisa dibuktikan. Uniknya, Qatar merupakan 'sekutu' Amerika Serikat (AS), bahkan Qatar menjadi markas terbesar bagi Angkatan Udara AS di Timur Tengah dalam peperangan melawan teroris.

Terlepas dari 'ribut-ribut' di kawasan Timur Tengah, sebetulnya bagaimana ekonomi Qatar bila dibandingkan dengan negara-negara yang memusuhinya, termasuk sekutunya Amerika Serikat (AS)?

Saya mencoba memakai indikator Gross Domestic Product (GDP) per capita atau Pendapatan Perkapita. Indikator ini umum dipakai untuk menilai kinerja ekonomi sebuah negara. Secara definisi, Pendapatan Perkapita merupakan output produk akhir barang dan jasa dari sebuah negara (GDP) yang dibagi dengan total penduduk.

Merujuk pada data International Monetary Fund (IMF), Pendapatan Perkapita Qatar tembus US$ 60.787 di 2016. Angka ini sebetulnya jauh lebih kecil bila dibandingkan tahun 2012 yang sebesar US$ 101.724. 

Lantas bagaimana dengan rapor ekonomi AS dan negara-negara yang menghentikan hubungan diplomatik dengan Qatar?

Saudi Arabia, sekutu AS dan juga anggota OPEC, mencatat angka GDP per capita US$ 20.150 di 2016. Ada juga UEA (US$ 37.678), Bahrain (US$ 24.183), Mesir (US$ 3.685), Libya (US$ 5.193), Maladewa (US$ 9.554), Yaman (US$ 938), dan terakhir ada AS. Negara Paman Sam yang tercatat sebagai ekonomi terbesar di dunia (note: GDP) ini, memiliki Pendapatan Perkapita US$ 57.436 di 2016. Bila memakai indikator Pendapatan Perkapita, kinerja ekonomi AS lebih rendah daripada Qatar. 


Harga Minyak Dunia 'Gugur' atau 'Meroket' Pasca Perceraian?

Merujuk pada salah satu patokan harga minyak mentah dunia jenis Brent, pergerakan crude oil justru 'meredup'. Artinya, perselisihan antara Saudi Cs dan Qatar ternyata memberikan sentimen negatif sehingga tidak 'mengerek' naik harga minyak mentah dunia. Sebaliknya, pada hari H atau di awal 'sengketa' diplomatik tanggal 5 Juni (5/6), harga minyak Brent dijual US$ 48.25 per barel, kemudian keesokan harinya (6/6) turun menjadi US$ 48.11 per barel, US$ 47.08 per barel (7/6), US$ 46.30 per barel (8/6), dan US$ 46.64 per barel (9/6). 

Tampaknya, harga minyak dunia dalam beberapa bulan ke depan masih akan berputar pada angka US$ 50-an per barel. Alasannya, produsen minyak dunia dari OPEC dan non OPEC telah bersepakat memangkas produksi minyak sejak Desember 2016. Kesepakatan yang mulai berlaku pada Januari 2017 ini awalnya membawa 'angin segar' bagi industri minyak. Pada awal Desember 2016, harga minyak mentah dunia di pasar internasional dibandrol berkisar US$ 52 per barel, kemudian perlahan merangkak naik pasca kesepakatan anggota OPEC dan non OPEC. OPEC sendiri menguasai supply minyak mentah dunia 32.48 juta barel per hari (36.18%), sedangkan negara non OPEC menguasai supply minyak mentah dunia 57.30 juta barel per hari (63.82%).

Harga minyak Brent tertinggi menyentuh angka US$ 56.34 pada 22 Februari 2017, namun harga ini tidak bertahan lama. Harga minyak kembali turun secara perlahan pada kisaran US$ 50 per barel. Untuk menaikkan harga, anggota OPEC dan non OPEC tampaknya harus 'memutar otak' mencari solusi agar harga minyak bisa kembali menanjak di level US$ 100 per barel.

Foto: Ilustrasi Eksplorasi Minyak dan Gas Lepas Pantai
Foto: Ilustrasi Eksplorasi Minyak dan Gas Lepas Pantai
Ternyata Qatar 'Doyan' Belanja Pesawat dan Bola

Di luar hiruk pikuk perceraian diplomatik ini, Qatar yang tercatat sebagai anggota OPEC, memang bergantung pada sektor migas. Tercatat, sekitar 70% pendapatan Pemerintah Qatar bersumber dari sektor minyak dan gas. 

Negara kecil yang berbatasan langsung dengan Saudi ini juga dikenal 'loyal' terhadap investasi. Qatar melalui perusahaanya juga menjadi sponsor pada klub-klub bola dunia khususnya di Eropa. Pada tahun 2022, Qatar akan menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Tak hanya di olahraga, Qatar juga memiliki perhatian besar terhadap transportasi udara. Untuk bandara, Qatar memiliki Hamad International Airport. Bandara yang memiliki kapasitas daya tampung 50 juta penumpang per tahun ini menjadi titik penting atau 'hub' pergerakan pesawat komersial di dunia.

Sedangkan maskapainya, Qatar Airways dikenal 'doyan' belanja pesawat baru dari pabrikan Boeing dan Airbus. Qatar Airways sebagai maskapai ternama dunia memiliki ratusan pesawat varian terbaru seberti Airbus 350 XWB, Airbus 380, Airbus 320 Neo. Ada juga pesawat buatan pabrikan asal AS seperti Boeing 777 hingga Boeing 787 Dreamliner.

Bahkan menurut berita terkini, Pemerintah Qatar juga membeli pesawat tempur F-15 buatan AS senilai US$ 12 miliar atau setara Rp 158,95 triliun (asumsi US$ 1 = Rp 13.246). Pembelian pesawat tersebut sangat besar untuk sebuah negara yang berpenduduk 2,47 juta jiwa atau seperempat penduduk kota Jakarta.

Foto: Ilustrasi Pesawat Tempur F-15
Foto: Ilustrasi Pesawat Tempur F-15
Dampak 'Kisruh' Qatar ke Indonesia

Di Indonesia, Perusahaan asal Qatar juga menjadi pemegang saham terbesar di Indosat. Namun dari sisi investasi, kisruh Qatar dengan negara tetangganya tampaknya tidak terlalu berdampak signifikan ke investasi di Indonesia.  Alasannya, realisasi investasi (Foreign Direct Investment) Qatar ke Indonesia bila merujuk angka realisasi investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terlihat sangat kecil. 

Pada tahun 2016, investasi asal Qatar hanya menduduki peringkat ke-118 dari 121 negara yang diumumkan oleh BKPM. Begitu pula pada realisasi Kuartal I-2017. Realisasi investasi langsung asal Qatar tidak masuk ke dalam daftar 93 negara yang menanamkan investasi di Indonesia.

Namun perlu dicatat, ada sekitar 43.000 Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja dan tinggal di Qatar. Bila kisruh diplomatik memburuk, maka akan ada pergerakan orang dalam jumlah besar kembali ke Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun