Meski mereka tak perlu membayar biaya perkuliahan dan asrama namun, Ni'mah dan Rizal tetap harus menanggung biaya hidup. Mereka hanya menerima partial scholarship.
Untuk meringankan beban orang tua dan mensiasati kiriman yang terkadang telat, Ni'mah dan Rizal memutuskan untuk kerja paruh waktu, khususnya saat masa liburan.
Rizal mengaku pernah bekerja sebagai penyebar brosur di sekolahan dan tempat umum. Tak hanya itu, Rizal juga melakoni pekerjaan sebagai buruh pabrik saat liburan musim dingin. Ia juga sempat bekerja paruh waktu sebagai badut.
"Saya pernah sebar brosur, walaupun kerja dilarang. Saya setiap minggu. Di dalam sekolah terus di toko, saya juga pernah jadi badut pada musim panas," kenang Rizal.
Pengalaman berkesan bagi Rizal ketika menjadi guru Bahasa Indonesia untuk seorang profesor China. Ia hanya mengajar satu hari, namun memperoleh bayaran gaji penuh selama 1 bulan.
Kerja paruh waktu sebetulnya dilarang di China, namun pilihan ini diambil untuk meringankan beban orang tua sebab biaya hidup di Xiamen relatif tinggi. Sebagai informasi, Xiamen kini masuk sebagai kota lapis pertama (first tier city) di China sehingga biaya hidup di Xiamen relatif tinggi.
"Biaya hidup di Xiamen mahal. Kehidupan orang tua juga pas-pasan. Jadi saya harus kerja part time," tambahnya.
Ni'mah, yang tak pulang selama 4 tahun ke Indonesia, mengaku juga bekerja paruh waktu.
Ia pernah bekerja sebagai buruh pabrik, pelayan restoran hingga penerjemah. Pekerjaan yang berkesan ialah sebagai penerjemah. Dengan Bahasa Mandarin yang mumpuni, ia mengaku menerima bayaran cukup tinggi untuk standar seorang pelajar.
"Kalau penerjemah, kerja 2 jam bisa hidup 1 minggu. Apalagi kalau klien butuhnya besar. Saya pernah kerja buat pengadilan. Ada kasus di pengadilan, terus bantu orang yang berobat di sini, saya juga diminta bantuan (penerjemah) KJRI tapi bayaran lumayan," sebutnya.
Impian Setelah Lulus: Mau Jadi Polisi