Selama Ramadhan, mereka memilih untuk berbuka dan sahur bersama. Mereka masak secara bergantian. Begitu juga saat Salat Tarawih. Rizal mengaku, kamarnya menjadi 'markas' saat Ramadhan. Selama Ramadhan, mereka mengaku mahasiswa dan dosen lokal sangat toleran.
"Biasa mereka ajakin makan kebutulan saya lagi puasa, ya jadi nggak jadi makan, biasa ditawarin makan karena lagi puasa ya nggak ditawarin. Kalau Ramadhan kayak gini, malam ngajakin makan, kalau siang hanya ngobrol saja," tutur Alwi.
Punya Keluarga Angkat dan Sahabat di China
Alwi, Rizal, dan Ni'mah kini memiliki banyak sahabat mahasiswa China. Mereka juga dekat dengan para pengajar lokal. Mereka kerap diminta membantu kegiatan kampus.
Tak hanya sahabat, Ni'mah bahkan memiliki keluarga angkat di China. Awalnya, pelajar asal Banyuwangi ini membantu warga lokal untuk mendaftar di kampusnya. Karena kebaikan Ni'mah dan rutinnya komunikasi yang terjalin, mahasiswa lokal itu memperkenalkan dengan keluarganya. Akhirnya, Ni'mah dianggap sebagai bagian dari keluarganya.
"Karena dia sendiri terbantu terus hubungan baik, main bareng. Summer (liburan) tahun lalu ke Fuzhou (Ibu kota Provinsi Fujian) sama mama, kaka dan papahnya. Sampai sekarang hubungan bagus, waktu imlek saya diminta ke sana cuma saya nggak bisa. Kemarin saya ke sana untuk pamitan," ujarnya.
Meski keluarga angkatnya bukan Muslim, tapi mereka sangat menghargai keyakinan Ni'mah. Saat makan, mereka sama sekali tidak menyajikan babi dan minuman beralkohol.
"Mereka tahu saya Muslim, nggak bisa makan babi, dan nggak bisa minum bir. Mereka tahu kebudayaan saya. Sampai mama angkat saya masakin semuanya dari seafood," tambah Ni'mah.
Rizal dan Alwi mengalami pengalaman serupa. Mereka mengaku persahabatan yang terjalin dengan pelajar lokal sangat tulus. Rizal bahkan pernah main ke rumah sahabatnya pada masa liburan.
"Saya kenal orang China dan saya liburan ke rumah dia. Sampai di sana, saya dianggap kayak keluarga. Makan bareng, pulang dianter dan dikasih uang saku. Ini beneran," sebutnya.