Rumah yang selalu tertata rapi seperti majalah interior, hiduplah seorang anak perempuan bernama Raina bersama ibunya, Bu Laras. Dari luar, rumah itu tampak sempurna -- cat dinding yang bersih, tanaman hias yang subur, dan senyum lebar yang selalu ditunjukkan Bu Laras kepada para tetangga. Namun di dalamnya, suasana selalu terasa dingin, seperti ada sesuatu yang tak pernah terucap.
Raina, gadis berusia 14 tahun, tumbuh dengan se-gudang aturan yang ibunya buat. "Raina, jangan lupa pakai pita itu kalau pergi ke sekolah. Kamu kan harus terlihat rapi. Jangan buat Ibu malu," ujar Bu Laras suatu pagi.
"Iya, Bu," jawab Raina sambil memasang pita merah yang tak pernah ia sukai.
Segalanya tentang hidup Raina adalah tentang citra. Nilai rapor nya harus sempurna, sikapnya harus sopan, dan penampilannya harus menarik. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai standar, Bu Laras tak segan melontarkan kritik tajam.
"Kenapa tulisanmu di sini miring-miring begitu? Kamu mau orang pikir anak Ibu malas belajar?" kata Bu Laras sambil menunjuk buku catatan Raina.
Hari itu, Raina menerima kabar baik dari sekolah. Ia memenangkan lomba melukis tingkat kota, sebuah prestasi yang ia capai dengan penuh perjuangan. Pulang dengan membawa piala kecil, ia berharap ibunya akan merasa bangga.
"Bu, lihat! Aku menang lomba melukis!" kata Raina dengan mata berbinar, menyerahkan piala itu kepada ibunya.
Namun, alih-alih tersenyum atau memuji, Bu Laras mengamati piala itu dengan wajah datar. "Kenapa hanya juara tiga? Kamu bisa lebih baik dari ini kalau kamu berusaha lebih keras."
Raina tertegun. Kebahagiaan nya seketika runtuh. Ia mengangguk pelan, menggenggam piala itu kembali, dan membawanya ke kamarnya. Malam itu, ia menatap piala itu lama, bertanya-tanya apa yang salah dengan usahanya.
Seminggu berlalu, hari ulang tahun Raina pun tiba, tapi seperti biasa, tidak ada perayaan besar. Bu Laras tidak suka pesta karena menurutnya, itu hanya buang-buang waktu dan uang. Ketika Raina meniup lilin di kue kecil yang ibunya beli, ia berharap sesuatu di dalam hatinya: kali ini, semoga Ibu memberi ku pelukan.
Namun, setelah lilin padam, Bu Laras hanya berkata, "Jangan lupa cuci piring setelah ini, ya."
Raina tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa kecewa. Setelah ibunya pergi ke kamar, ia membuka kado yang ada di atas meja. Sebuah buku panduan belajar matematika -- sesuatu yang jelas tidak ia inginkan. Namun, ia tahu alasan di baliknya.
"Supaya kamu bisa lebih pintar dan membanggakan Ibu," kata ibunya di suatu ulang tahun sebelumnya.
Semakin besar, Raina semakin sadar bahwa cinta ibunya selalu bersyarat. Kasih sayang hanya datang ketika ia memenuhi ekspektasi, dan bahkan saat itu, rasanya tak pernah cukup.
Satu malam, ketika hujan deras mengguyur, Raina memutuskan untuk berbicara dengan ibunya.
"Bu, kenapa Ibu selalu menuntut aku sempurna? Aku capek," katanya dengan suara bergetar.
Bu Laras mendongak dari buku yang ia baca. "Raina, Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Dunia ini keras. Kalau kamu tidak sempurna, kamu akan kalah."
"Tapi aku juga manusia, Bu. Aku cuma mau Ibu bangga sama aku, apa adanya," ujar Raina, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Ibu sudah bangga, tapi kamu bisa lebih baik lagi. Kamu masih muda, Raina. Jangan sia-siakan potensi kamu," jawab Bu Laras tanpa sedikit pun nada pengertian.
Raina mengangguk pelan. Ia menyadari bahwa ibunya mungkin tidak akan pernah berubah. Namun, ia bertekad bahwa suatu hari nanti, ia akan belajar mencintai dirinya sendiri, bahkan jika ibunya tidak pernah bisa memberikan cinta itu tanpa syarat.
Raina berdiam diri di kamar nya, Dia suka merenung, melamun, merenung lagi, lalu melamun di sudut kamarnya. Raina ingat nasihat Pak guru Sofian hari ini; agar pikiran selalu sehat, salah satunya adalah menulis. Raina segera mengambil pulpen dan buku tulis kosong, dan menulis perasaan nya selama beberapa minggu ini.
Kesedihan nya, perasaan sepi, terabaikan, tidak dicintai. Tidak lupa iya menambah beberapa kalimat nasihat untuk memberi nya harapan akan hidup ini. Raina mengerti bahwa seiring waktu keadaan akan berubah nanti nya. Mungkin tidak besok atau lusa, tapi Tuhan tak akan membiarkan hamba-Nya yang tabah terus dirundung kesedihan dan ketidak-mudahan.
Di akhir malam itu, Raina juga menulis sebuah catatan kecil untuk dirinya sendiri: "Aku cukup. Aku layak dicintai, dengan atau tanpa prestasi."
Malam itu Raina tidur dengan perasaan yang lebih baik. Benar nasihat guru nya; bahwa menulis dapat meluruh kan perasaan tidak nyaman, baik untuk kesehatan mental nya.
                                                                Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H