Raina tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa kecewa. Setelah ibunya pergi ke kamar, ia membuka kado yang ada di atas meja. Sebuah buku panduan belajar matematika -- sesuatu yang jelas tidak ia inginkan. Namun, ia tahu alasan di baliknya.
"Supaya kamu bisa lebih pintar dan membanggakan Ibu," kata ibunya di suatu ulang tahun sebelumnya.
Semakin besar, Raina semakin sadar bahwa cinta ibunya selalu bersyarat. Kasih sayang hanya datang ketika ia memenuhi ekspektasi, dan bahkan saat itu, rasanya tak pernah cukup.
Satu malam, ketika hujan deras mengguyur, Raina memutuskan untuk berbicara dengan ibunya.
"Bu, kenapa Ibu selalu menuntut aku sempurna? Aku capek," katanya dengan suara bergetar.
Bu Laras mendongak dari buku yang ia baca. "Raina, Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Dunia ini keras. Kalau kamu tidak sempurna, kamu akan kalah."
"Tapi aku juga manusia, Bu. Aku cuma mau Ibu bangga sama aku, apa adanya," ujar Raina, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Ibu sudah bangga, tapi kamu bisa lebih baik lagi. Kamu masih muda, Raina. Jangan sia-siakan potensi kamu," jawab Bu Laras tanpa sedikit pun nada pengertian.
Raina mengangguk pelan. Ia menyadari bahwa ibunya mungkin tidak akan pernah berubah. Namun, ia bertekad bahwa suatu hari nanti, ia akan belajar mencintai dirinya sendiri, bahkan jika ibunya tidak pernah bisa memberikan cinta itu tanpa syarat.
Raina berdiam diri di kamar nya, Dia suka merenung, melamun, merenung lagi, lalu melamun di sudut kamarnya. Raina ingat nasihat Pak guru Sofian hari ini; agar pikiran selalu sehat, salah satunya adalah menulis. Raina segera mengambil pulpen dan buku tulis kosong, dan menulis perasaan nya selama beberapa minggu ini.
Kesedihan nya, perasaan sepi, terabaikan, tidak dicintai. Tidak lupa iya menambah beberapa kalimat nasihat untuk memberi nya harapan akan hidup ini. Raina mengerti bahwa seiring waktu keadaan akan berubah nanti nya. Mungkin tidak besok atau lusa, tapi Tuhan tak akan membiarkan hamba-Nya yang tabah terus dirundung kesedihan dan ketidak-mudahan.