Mohon tunggu...
Yulianita Abu Bakar
Yulianita Abu Bakar Mohon Tunggu... Guru - Guru

There are things more important than happiness (Imam Syamil's son)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa Bersalah Harus Dibawa Pergi

15 Maret 2024   02:42 Diperbarui: 15 Maret 2024   02:44 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masalah adalah tantangan untuk bertemu dengan pengetahuan baru. Untuk memperkaya diri. Untuk menjadikan dirimu berisi dan bijaksana. Menghantar jiwa pada gerbang  kesadaran, bahwa manusia harus menundukkan hati  pada keagungan Tuhan, pemilik ilmu pengetahuan"

Ini masih sangat pagi. Semua orang di rumah masih tidur, kecuali aku. Aku sedang meniru gambar vas bunga pecah yang kemudian di perbaiki. Lalu vas itu di gunakan untuk menanam bunga baru. Yang nantinya, bunga itu tumbuh indah dan berwarna ceria. Gambar ini akan ku tempel di dinding kamar ku. Akan ku jadikan sebagai pengingat dan motivasi, bahwa aku yang telah berbuat kesalahan, bisa memiliki masa depan bila aku berusaha lagi dan lagi.

Tok tok tok, aku terkejut, siapa yang mengetuk pintu kamar se-pagi ini. Aku segera bangkit dan membukanya. Nampak sepupu ku Zalyan berdiri dengan ke-dua tangan nya di sembunyikan di belakang.
"Aku punya sesuatu untuk mu Dwi" Sambil tertawa aneh.
"Apa itu? Jangan main-main, aku sedang sibuk. Dan aku belum memaafkan kamu" 
Jawabku ketus.
"Aku punya hadiah, tapi kau harus maafkan aku "
"Apa hubungannya hadiah dengan memaafkan? Aku tidak bisa di sogok, sudah pergi sana" 


Aku segera menutup pintu kamar kembali. Aku belum bisa menghilangkan rasa kesal ku. Pasalnya tadi sore saat aku sedang mengangkat air dari sumur ke dalam rumah, Zalyan menarik jilbab ku. Nasib baik di lihat oleh paman, dan dia di tegur oleh beliau. Bila tidak aku pasti sudah jatuh dan ter-kilir.
Aku tidak bisa memaki dia. Aku harus menahan ucapan kasar  karena aku tinggal di rumahnya sekarang.

"Dwi, maafkan aku, buka pintunya " Suara Zalyan memelas di luar kamar.
"Pergi sana, jangan ganggu aku"
"Ayo lah, maafkan aku, aku janji tidak akan jahil lagi"
"Kau pembohong, aku tidak percaya, pergi sana"

Siapa yang percaya bahwa omongan atau janji orang jahil bisa di pegang. Di kampung ku, pak Hasan dikenal orang jahil dari dia masih muda, sampai dia punya julukan 'Hasan Jahilun'. Si Umar teman sekelas di bangku SD, sampai hari ini masih usil pada anak perempuan yang lewat di depan rumahnya.
"Ah, ganggu saja si Zalyan, hilang konsentrasi ku" aku meracau di dalam hati. Aku melanjutkan menggambar vas bunga. Aku ingin segera menyelesaikannya sebelum bibi memanggil ku untuk makan sahur.

Pagi ini, setelah paman dan bibi pulang dari pasar. Aku, Ani, Aisyah dan Ayu segera ke dapur untuk membuat kue kering. Bibi sudah 4 tahun menjalankan bisnis kue kering. Hasil kerja keras bibi bisa terlihat dari anak-anaknya yang bisa bersekolah di kota. Anak bibi yang pertama, uni Yati  bisa sekolah di sekolah swasta yang ternama. Zalyan juga di belikan motor untuk berangkat ke sekolah. 

Aku di sini, tinggal dengan bibi ku karena aku harus mencari uang untuk aku kirim ke kampung. Ayahku meminta ku untuk membantunya mencari uang. Ibu ku penderita asma. Beliau lebih banyak sakit dan terbaring di kamar, dari pada sehat. Namun bila beliau sedang sehat, ibu akan memasak, merapikan halaman, atau apa pun yang bisa dikerjakan nya. 

Sementara ayahku buruh kasar, dan beliau juga sudah tua. Uni ku sudah kawin dan tinggal di Palembang dengan suaminya. Dan aku anak ke-dua, yang baru tamat SMA, tidak punya kerja, tidak kuliah juga. Maka ayah memilih ku untuk di kirim ke rumah paman untuk bekerja. 

Aku juga perlu kegiatan untuk menyibukkan diri. Maka saat ayah meminta ku untuk berangkat ke Rokan Hulu ke rumah paman, aku segera menjawab "baik Ayah"
Di kampung aku merasa tertekan. Ibu ku sakit-sakitan, adikku, Kinan dan Firman masih kecil. Aku tidak rajin belajar, nilai-nilai ku biasa-biasa saja. Sehingga aku tidak bisa mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Aku merasa sangat bersalah karena aku tidak berjuang untuk masa depanku. Dan penyesalan itu datang, setelah 2 sahabatku berangkat ke Malang untuk kuliah.

Berhari-hari aku bersedih dan iba pada diriku sendiri. "Aku bodoh, bodoh sekali" Maki ku dalam hati.
Rasa bersalah harus dibawa pergi. Dan inilah yang aku pilih untuk membuat hatiku merasa lebih baik. Bekerja, menghasilkan uang, mengirim untuk keluargaku. 

Tapi di sini, di rumah paman ku. Hidupku tidak juga mudah. Banyak sekali gangguan. 2 hari pertama aku sampai di sini. Bibi memarahi ku karena aku tidak bisa masak gulai ikan gurami. Esok nya, saat aku pergi ke warung, Aku di ganggu oleh anak-anak muda yang sedang duduk di pinggir jalan. Dan kemarin, Zalyan. Entah apa lagi masalah yang akan menghampiri. 

Di sini aku tidak pergi salat Tarawih ke masjid. Aku memilih salat di kamar ku. Aku tidak berani keluar rumah di malam hari. Ini bukan kampung ku. Aku harus menjaga diriku di tempat orang. Itu pikiran ku.

Aku membiasakan diri tidur lebih awal. Di rumah aku biasa tidur jam 11 malam. Tapi semenjak aku sampai di rumah paman. Aku tidur jam 09 malam. Aku bangun jam 3 pagi untuk belajar. Belajar bahasa Inggris selama 1 jam. Membaca Quran 5 lembar, selebihnya aku pakai untuk menggambar atau membaca koran bekas. Dari pagi sampai sore aku akan sibuk di dapur dengan kue-kue kering. Selagi aku masih tinggal di rumah paman, Hanya dini hari waktu yang aku punya untuk diriku sendiri. 

Sering aku teringat pada dua sahabatku, Po-pon dan Sarah. Aku iri pada mereka yang bisa berkuliah dengan beasiswa. Sementara aku yang tertinggal harus berhadapan dengan banyak masalah dan membawa perasaan bersalah. Aku ingin marah. Tapi marah pada siapa? Pada Tuhan kah? Tapi Tuhan pemilik segalanya.... Marah pada orang tua ku? Marah pada uni yang kawin muda dan pindah ke Palembang?  

Ah........otak ku panas bila segala penyesalan dan pertanyaan itu datang. Lebih baik aku menyibukkan diri, menghadapi, menjalani serta menerima keadaan ku saat ini. Ramadan ini akan aku habiskan dengan bekerja di rumah paman. Dan aku akan bertahan di sini sampai aku menguasai bahasa Inggris. Agar nanti aku punya bekal untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik.

Selesai 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun