Mohon tunggu...
Yulianita Abu Bakar
Yulianita Abu Bakar Mohon Tunggu... Guru - Guru

There are things more important than happiness (Imam Syamil's son)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Guru Sa'diah

2 Januari 2024   07:37 Diperbarui: 2 Januari 2024   07:42 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama Lisa gelisah dengan beberapa kebiasaannya yang mengganggu perkembangannya.
Guru-guruku mengatakan bahwa aku tidak disiplin ma. Aku tidak mengerti apa yang salah.” dengan muka cemberut Lisa curhat pada mamanya.
Well, apa kamu sudah menanyakannya?”
“ Tidak ma, aku hanya diam dan mematung setiap kali guru mengatakannya. Aku sedih.”
“ Kamu boleh sedih dan kamu boleh kecewa, itu sangat normal. Namun bila kamu tidak menanyakannya, kamu tidak pernah tahu dan kamu juga tidak bisa memperbaiki sikapmu.
Apa kamu perlu bantuan mama untuk bicara pada gurumu?”
“Jangan ma, itu memalukan. Semua anak tidak suka orang tuanya datang ke sekolah karena kesalahan.”
“Baiklah, bila begitu kamu harus melakukannya sendiri. Bagaimana?”
“Akan aku coba ma. Emmm...mungkin tidak besok, aku butuh waktu dan keberanian.”
“Ok, mama menghargainya dan terima kasih kamu mau mencoba. Kamu harus tahu bahwa mama mendukung kamu untuk memperbaiki diri. Dan yang terpenting kamu melakukannya atas keinginanmu sendiri. Mama yakin guru mu akan mengapresiasikan dan membantu kamu juga untuk memperbaiki sikapmu yang merugikan diri mu sendiri.”
“Apa menurut mama, aku tidak disiplin ma?”
Well, I dont have any idea... You are my girl...and  I love you...So I’m not sure for this...but mama akan mulai lebih memperhatiakn dengan seksama and I  will let you know .“
“Ah terima kasih ma...”
Sure beby....with my pleasure.” dengan tersenyum manis.

Percakapan dengan mama telah membuat Lisa merasa lebih baik dan yang terpenting bagi nya, dia menyadari bahwa mama mendukungnya dan tidak berpikir sama seperti guru-gurunya.
Lisa siap untuk melakukan perubahan kecil pada dirinya. Yang harus dilakukan adalah mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan guru dan bertanya apa yang salah dengan dirinya. Selanjutnya akan membicarakannya dengan mama untuk mendapatkan solusi.
‘Hidup memang begini, tidak mudah’. Lisa berkata pada dirinya sendiri, setelah melamun panjang di kamarnya.

Lisa berlari ke sekolah karena sudah sangat terlambat. Sesampai di gerbang sekolah. Pak Nur Cahyadi sedang menarik pintu gerbang untuk ditutup.
Lisa berhenti dengan nafas terengah-engah karena lelah.
“Oh nak Lisa, selamat pagi!, terlambat lagi?  Apa kamu baik-baik saja?”
“Ya Pak. Aku hanya terlambat bangun pagi seperti biasanya.”
“Baiklah, silahkan masuk dan menghadap guru piket. Semoga hari nak Lisa menyenangkan.”
‘Terima kasih Pak.”


Lisa berjalan ke meja piket dengan cepat. Lisa memegang jantungnya, seakan-akan jantung itu akan segera meledak. Entah karena lelah berlari, entah karena takut akan hukuman karena terlambat.
“Maaf Bu saya terlambat.”
“Kamu tidak bosan meminta maaf karena terlambat?” tanya Bu Sa’diah di meja piket.
Lisa menunduk dan tidak menjawab lagi.
“Jadi hari ini kamu ingin apa sebagai hukuman?”
“Maksud Ibu?”
“Hari ini saya mengizinkan kamu untuk memilih sendiri hukumannya. Kamu boleh duduk di kursi ini untuk berpikir. Ibu akan ke kamar mandi sebentar, ibu harap saat ibu kembali, kamu sudah tahu apa yang ingin kamu lakukan hari ini.”
“Baik Bu.” sambil membungkukkan badan sebagai tanda hormat Lisa pada guru.
Bu Guru Sa’diah bangkit dan Lisa tetap berdiri menunggu beliau pergi, kemudian Lisa duduk di kursi sesuai dengan perintah Bu Sa’diah.


Lisa mengeluarkan botol warna merah, hadiah ulang tahunnya yang ke-7. Dia mengusap botol minum itu. Terbayang olehnya wajah neneknya yang sudah lama meninggal. Tertahan senyum di bibirnya,  ingat akan sepotong kalimat yang ditulis pada kertas kecil dengan amplop nya yang berwarna merah “Kamu adalah cucuku, Nenek sayang padamu, tumbuhlah menjadi bunga yang bila dipandang mata, maka sejuklah hati”. Itu kalimat yang membingungkan pada awalnya, namun setelah Lisa berumur 12 tahun. Setelah Nenek pergi. Baru Lisa mengerti arti kalimat tersebut.
Setelah terdiam sesaat, Lisa membuka tutup botol dan minum. Lisa mulai berpikir apa yang akan dia lakukan untuk hukumannya. Bu Sa’diah tidak menawarkan pilihan tugas. Lisa bingung. Ini tidak biasa baginya. Mungkin juga tidak bagi murid lain. Lisa terpaku dengan wajah menunduk. Dia bertanya-tanya...”what i should tell to bu guru Sa’diah?”


“Jadi, Apa jawabanmu Lisa?”
Lisa terkejut dan mulutnya terkunci. “Ma.. ma.. maaf  Bu, aku belum mendapatkan ide apapun.”
“Oh, bagaimana kalau kamu pergi ke meja saya dan merapikannya. Kamu bisa memikirkan apa hukuman yang kamu ingin lakukan selagi kamu merapikan meja saya.”
Itu permintaan yang sedikit aneh, namun Lisa mengangguk.
“Ibu beri  kamu waktu 10 menit dan kembali kemari.”
“Baik Bu.”


Lisa melirik jam tangannya. “Ah sudah jam 08.15. Aku sudah sangat terlambat untuk mata pelajaran Agama. Apa yang akan aku katakan pada papa saat makan malam nanti. Ini sungguh tidak nyaman bagi Lisa. Karena terlambat, dia harus terlibat dengan masalah lainnya.
Lisa sedih, tangannya bekerja merapikan meja Bu Guru Sa’diah. Pikirannya sibuk memikirkan hukuman yang sanggup dia jalankan. Belum pernah ada guru yang memberikan pilihan hukuman. Sudah sering dia dihukum karena terlambat. Tapi mengapa kali ini berbeda? Lisa tenggelam dengan pertanyaan demi pertanyaan. Saat dia meletakkan tas Bu Sa’diah kembali ke tempat semula, beliau sudah berada di belakang Lisa.
“Oh Ibu sudah di sini.”
“Ini sudah 20 menit Lisa.”
“Maaf Bu, saya baru saja selesai merapikan meja Bu Guru.”
“Tidak apa, sekarang kamu boleh duduk di kursi saya dan saya akan duduk di sini.”
Lisa duduk dengan rasa ragu dan tidak nyaman. Dan tetap menunduk seperti sebelumnya.
“Sekarang apa kamu sudah punya jawaban untuk pertanyaan saya?”
“Saya tidak tahu Bu, saya belum punya jawaban.”
“Baik, apa ibu boleh memilih hukuman untuk kamu?”
“Saya tidak punya pilihan Bu.”
“Ok, Ibu menawarkan dua hukuman; kamu datang ke rumah Ibu setiap hari selama seminggu jam 4 sore, atau kamu harus membaca 5 buku yang ibu berikan dan harus selesai dalam 2 minggu.”
Lisa terdiam dan bertambah bingung, untuk apa datang ke rumah Bu Guru Sa’diah?  Membaca 5 buku dalam 2 minggu? Meski lisa rajin membaca, bukan berarti bisa menyelesaikan 5 buku dalam waktu singkat. Lisa terpaku. Tapi harus memilih.
“Saya akan datang ke rumah Ibu selama seminggu.”
Bu Guru Sa’diah tersenyum, “Baiklah Nak. Ibu tunggu hari ini jam 4 sore. Kamu masih tahu jalan ke rumah Ibu kan?” Dengan nada menggoda Bu Sa’diah bertanya ke Lisa.
“Tentu Bu.”
“Tidak ada surat perjanjian resmi dan hari ini, Ibu juga tidak akan memasukkan nama kamu dalam buku merah. Cukup Malaikat saja sebagai saksi atas persetujuan kita. Kamu boleh masuk kelas sekarang. Selamat belajar Lisa.”
Lisa mencium tangan Bu Sa’diah, berterima kasih dan berpamitan.

Lisa mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Tidak sabar untuk menceritakan hukuman yang diberikan Bu Guru Sa’diah. Pikiran Lisa dipenuhi pertanyaan, mengapa harus dia? Mengapa dan mengapa?
Sampai di rumah. Lisa melempar sepedanya begitu saja.  Mbak Lusi yang sedang merapikan tanaman di teras sampai copot jantungnya karena kerasnya suara Lisa membanting sepedanya. Lisa berlari ke dalam rumah tanpa memperdulikan mbak Lusi. Mbak Lusi mematung sebentar, lalu setengah berlari keluar untuk meletakkan sepeda Lisa pada tempatnya.


Di dalam rumah, Lisa segera mencari ibunya. Berlari menaiki tangga menuju lantai dua kemudian ke lantai 3. Ibu Cristia yang sedang duduk merajut. Dengan tenang menyapa Lisa.
(tersenyum), “Hi Baby, how was your day?”
“Mom, aku terlambat lagi dan hari ini aku dihukum Bu Guru Sa’diah.”
“Dan?” tanya mama dengan mata bulat, karena penasaran apa yang akan diceritakan oleh anak gadisnya.
“Bu Guru Sa’diah memberikan hukuman yang tidak biasa. Awalnya beliau memberikan aku opsi untuk memilih hukuman ku sendiri. Karena aku tidak memilih, beliau mengajukan dua hukuman untuk ku pilih; datang setiap sore ke rumah beliau selama seminggu setiap jam 4 sore atau membaca 5 buku dan harus selesai dalam 2 minggu. Dan buku- buku tersebut beliau yang pilihkan.”
“Oh, mana yang kamu pilih sayang?”
“Ke-dua pilihan sulit bagiku, tapi aku tahu aku tidak bisa menyelesaikan 5 buku dalam 2 minggu meski aku suka membaca.”
 Mama terdiam sebentar, “Jadi sore ini kamu akan ke rumah Bu Guru Sa’diah?”
Yes Mom.
Well, kalau begitu mama akan membuat kue untuk kamu makan bersama keluarga Bu Guru nanti sore. Apa kamu mau membantu?”
Lisa terdiam, bertanya dalam hati, mengapa mamanya justru memikirkan kue untuk dibawa ke rumah Bu Sa’diah. Bukan mengkhawatirkan anaknya yang akan dihukum. Bagaimana kalau sampai Lisa dihukum untuk membersihkan halaman atau kerjaan rumah lainnya seperti tadi pagi di kantor guru.
Sure mom, aku akan segera berganti pakaian, makan dan turun ke dapur untuk membantu mama.”
Sound good, selamat menikmati makan siangmu sayang.”


Lisa kembali menuruni tangga dan melempar tasnya sembarangan, dan segera berganti pakaian. Masih berputar-putar dipikirannya pertanyaan demi pertanyaan. Apa yang akan terjadi padanya di rumah Bu Guru  nanti dan mengapa mama sangat tenang. Bukankah seharusnya mama khawatir, (pikiran yang sama muncul kembali).


Jam menunjukkan pukul 2.20 WIB. Lisa membuka pintu dapur agar angin bebas masuk dan dapur menjadi lebih terang tanpa perlu menghidupkan lampu.
“Kue apa yang akan kita buat ma?”
“Bagaimana kalau Samosa?”
“bukannya Samosa bukan kue ma?” Lisa dengan wajah serius melirik mama yang sedang mengambil bahan-bahan kue.
Haha, I guess....should be snacks?
Lisa tersenyum, meski dipenuhi perasaan khawatir, Lisa bersemangat untuk membantu. Satu jam berlalu, Samosa sudah siap digoreng. Lisa menunggu sampai dingin, lalu memasukkan ke kotak kue yang sudah disiapkan mama. Lisa melirik jam. “Oh! Sudah sore, aku sebaiknya bersiap.” bisik Lisa di dalam hati.


Setelah berpamitan kepada mama, Lisa mengambil sepeda, memasukkan Samosa ke keranjang sepeda, menutup dan memastikan tutup keranjang sudah rapat, menguncinya. Lisa mengayuh sepeda ke rumah Bu Guru Sa’diah. Gelisah hatinya, dan terus mengingat kata mamanya “Kamu harus percaya dan yakin, kamu akan baik-baik saja.”
gang Tikungan 01, kemudian berbelok ke gang Tikungan 03, lurus sampai jalan Susah- Senang Bersama, berbelok ke gang Hijau Asri. Tepat di rumah No. 14A. Lisa berhenti. Mematung sejenak di luar pagar, jantungnya deg-deg-an. Lisa membaca Basmalah, Doa memohon pertolongan dirapal penuh rasa takut.
Baru Lisa turun dari sepeda, hendak membuka pintu pagar, Bu Guru Sa’diah keluar dari pintu samping. Berjalan ke arah Lisa. Lisa dengan sedikit membungkuk memberi isyarat hormat sambil tersenyum getir ke Bu Guru.


“Assalamu’alaikum Bu”
“Wa’alaikum salam Lisa. Mari masuk nak.”
“Baik Bu.”
Lisa berjalan dibelakang Bu Sa’diah.
“Silahkan duduk Lisa.”
Sebelum Lisa duduk, Lisa menyerahkan Samosa yang dibawanya serta menyampaikan salam dari mama.
“Terima Kasih Lisa untuk Samosanya, sebentar Ibu pindahkan ke piring agar bisa kita makan bersama”
“Silahkan Bu”
Senyum Bu Guru Sa’diah sedikit menenangkan hati Lisa. Semoga aku baik-baik saja seperti kata mama (Lisa berbicara pada dirinya sendiri).


Sambil meletakkan makanan dan minuman Bu Guru bertanya kabar keluarga Lisa, selanjutkan beliau langsung bertanya apakah Lisa sudah siap dengan hukuman di hari pertama.
Dengan sedikit kaku Lisa menjawab “Sudah Bu.”
“Saya ingin kamu menceritakan apa yang membuat kamu terlambat ke sekolah Lisa?”
“Saya sering terlambat bangun Bu.”
“Coba ceritakan kebiasaanmu dari jam 7 malam ke jam 10”
Lisa terdiam sebentar, berpikir-pikir apa perlu memberitahu semua kegiatannya atau sebagian saja.
“Saya mengerjakan PR sekolah, lalu bermain game serta main handphone Bu.”
“Apa menurut kamu, penting untuk mengurangi pemakaian handphone?
“Sepertinya penting Bu.”
“Bagaimana kalau ibu memberimu tugas menulis untuk kamu kerjakan di jam sebelum tidur?”
“Baik Bu, akan saya kerjakan.”
“Tugas malam ini dengan judul ‘Saya Tidak Pernah Lagi Terlambat Ke Sekolah’, tulis dengan huruf besar Lisa.” Intonasi Bu Sa’diah tegas. Lisa yang duduk di seberang meja, terdiam, lalu buru-buru menulis.
“Waktu untuk mengerjakan tulisan hanya 30 menit. Selesai atau tidak selesai jangan kamu curi-curi waktu Lisa.”
“Baik Bu.”
“Sekarang bagaimana kalau kita ke halaman belakang dan menanam bunga dengan Ibu?”
“Baik Bu.”
Lisa segera bangkit dengan sedikit bingung, mengapa Bu Guru mengajaknya menanam bunga. Tapi Lisa adalah anak yang baik hati sehingga bagi dia tidak sulit untuk mengerjakan permintaan orang yang lebih tua untuk mengerjakan apapun asalkan itu baik.

Tepat jam 5.40 WIB, lisa berpamitan. Dengan semangat dan hati senang Lisa mengayuh sepeda dan sampai ke rumah lebih cepat.
Hari ini selesai. Dan hari-hari selanjutnya Lisa tetap datang tepat waktu dan bersenang-senang di rumah Bu Guru Sa’diah. Bu Guru yang pandai bercerita, setiap hari selalu berbagi satu kisah. Kisah yang ditanam ke dalam pikiran Lisa benar-benar seperti kisah Kacang Ajaib yang tumbuh menembus awan. Cerita – cerita Bu Guru Sa’diah telah menembus kesadaran Lisa. Mereka menjadi akrab. Lisa sangat senang. Bu Sa’diah telah mambantu Lisa untuk menjadi lebih disiplin.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bulan demi Bulan berganti dan kini sudah setahun dari hukuman aneh dari Bu Sa’diah telah mengubah Lisa.
Seperti judul tugas menulis di hari pertama Lisa “Saya Tidak Pernah lagi terlambat Ke Sekolah”. Lisa tidak lagi terlambat.

Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun