Dalam acara ''teing hang'' hal yang harus disiapkan adalah ayamnya harus ayam jantan dan berbulu putih. Makna ayam jantan berbulu putih adalah melambangkan ketulusan dan kesucian, sehingga kami menyakini semua permohonan yang di ''tudak''Â dengan penuh ketulusan dan kesucian akan diterima oleh para leluhur.Â
Tudak hanya bisa dilakukan oleh tua-tua adat yang benar-benar memahami ilham dari para leluhur. Tudak tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.Â
Posisi duduk dalam tudak adalah juru tudak memegang ayamnya di tangannya dan menyampaikan permohonan dalam go'et go'et (peribahasa) bahasa Manggarai dengan suara yang lantang, setelah itu ayam dipotong dan dibakar bulunya.Â
Ayam tidak boleh dicelup ke dalam air panas. Ayam harus dibakar agar aromanya bisa tercium oleh para leluhur kami.Â
Hal lain yang menarik dari acara ''teing hang'' adalah juru tudak bisa melihat kehidupan kita lewat darah manuk/ darah dari ayam, dan ada juga lewat hati ampela, dan urat leher ayam yang dipotong tadi.Â
Kalau kebiasaan di dalam keluarga kami sendiri ketika membuat acara "teing hang" adalah jika dalam darah ayam tersebut bermunculan pori-pori, maka hal-hal baik akan selalu terjadi  dan hal itu benar adanya.
Lalu yang terakhir sesajen yang berikan kepada leluhur berupa nasi hangat yang dicampur dengan sedikit ati ampela, potongan sayap, suwiran daging ayam, dan kaki ayam.Â
Namun sebelum diberikan, ada petuah-petuah yang disampaikan oleh tua adat/juru tudak berupa pemanggilan roh leluhur untuk datang memakan sesajen tersebut yang sudah siapkan di dalam piring.Â
Sejatinya adat dan budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang harus tetap dijaga dan dilestarikan dengan baik. Sebuah nilai kehidupan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial dan berbudaya.Â
Jika adat dan budaya tidak dilestarikan atau ditinggalkan, maka bisa mendatangkan malapetaka yang besar.Â
* Â Tudak : permohonan acara "teing hang" yang disampaikan oleh juru tudak/tua adat.